Saturday, February 2, 2008

Keluar dari Jebakan Kemiskinan


Selasa, 22 Januari 2008 - 10:49 wib



Bila kita berpikir positif, polemik mengenai besarnya angka kemiskinan antara Presiden SBY dan Jenderal (Purn) Wiranto baru-baru ini mestinya kita maknai sebagai wujud kepedulian para pemimpin bangsa untuk mengatasi permasalahan kemiskinan yang kian kronis di negeri tercinta ini.

Keduanya mempunyai argumentasi yang sahih. Mengacu pada standar garis kemiskinan BPS (2007), Rp 156.000/orang/bulan, Presiden menegaskan jumlah penduduk miskin dewasa ini hanya 16,5 persen atau 37,2 juta orang. Sementara jumlah penduduk miskin 49 persen (109 juta orang) yang dilansir Pak Wiranto dasarnya standar garis kemiskinan versi Bank Dunia, 2 dolar AS/orang/hari atau Rp550.000/orang/ bulan. Karena rakyat kita sudah semakin pintar, biarlah mereka yang menilai. Mana yang lebih realistis, seorang dianggap tidak miskin, apakah yang hidup dengan Rp156.000 per bulan atau Rp550.000 per bulan.

Yang pasti, kalaupun kita sepakat dengan BPS, jumlah penduduk miskin 37,2 juta jiwa masih terlalu besar bagi kita untuk bangkit menjadi bangsa maju dan makmur. Hal yang mendesak setelah sebuah polemik mengemuka adalah bagaimana kita menemukan jawaban dari persoalan yang menjadi perdebatan. Sekarang saatnya seluruh komponen bangsa bersatu, bekerja keras, cerdas, dan ikhlas untuk memerangi kemiskinan dengan mendayagunakan segenap potensi dan peluang yang kita miliki.

Akar Masalah Kemiskinan

Dalam khazanah teori ekonomi pembangunan, kemiskinan dapat disebabkan oleh faktor alam (kemiskinan alamiah), budaya (kemiskinan kultural), atau struktural (kemiskinan struktural). Sementara Islam memandang kemiskinan sepenuhnya sebagai masalah struktural dan kultural. Pasalnya, Allah menciptakan alam semesta dengan segenap isinya tak lain untuk menjamin keberlangsungan hidup dan rezeki bagi setiap makhluk-Nya (QS Hud: 6 dan QS Ar-Rum: 40).

Apalagi hidup di Nusantara yang alamnya subur makmur, bak zamrud di khatulistiwa, rasanya kemiskinan karena kekurangan sumber daya alam adalah hal yang tidak masuk akal. Karena itu, faktor dominan yang menyebabkan kemiskinan di Tanah Air adalah bersifat kultural dan struktural.

Kebijakan Terobosan

Upaya memerangi kemiskinan mesti dilakukan dengan membongkar problem struktural dan kultural yang menjerat kebanyakan rakyat kita hidup dalam kesengsaraan. Segenap kebijakan dan program juga harus dikemas demi meningkatkan daya saing ekonomi nasional untuk mewujudkan Indonesia yang maju, adil, makmur, dan berdaulat. Untuk itu, yang pertama harus dilakukan adalah mempercepat realisasi pertumbuhan ekonomi berkualitas yang memberikan manfaat luas bagi rakyat. Ini dapat kita tempuh melalui penguatan dan pengembangan investasi sektor riil.

Lebih dari 60 persen rakyat kita bekerja pada sektor pertanian, kelautan dan perikanan, kehutanan. Karena mayoritas petani dan nelayan masih miskin, maka penguatan dan pengembangan investasi sektor riil mestinya difokuskan pada tiga sektor ini. Penguatan dan pengembangan sektor usaha kecil dan menengah (UKM) dan koperasi juga harus digalakkan untuk memacu produktivitas, efisiensi, dan daya saing sektor ini. Dengan begitu, para pelaku UKM dapat lebih maju dan sejahtera.

Dalam hal ini, pemerintah mesti membuka akses selebar lebarnya bagi para pelaku UKM untuk mendapatkan aset ekonomi produktif, seperti selama ini dinikmati oleh kelompok usaha besar (konglomerat). Berikutnya adalah revitalisasi industri-industri yang sebelum krisis ekonomi menjadi unggulan nasional,seperti tekstil dan produk tekstil, elektronik, otomotif, pupuk, semen, alat transportasi, besi dan baja, dan industri perkapalan. Kita bisa meneladani Malaysia, Australia, Kanada, dan Bolivia yang mampu menjadikan sektor ESDM sebagai sumber kemajuan, kemakmuran, dan kemandirian bangsa mereka.

Guna mendukung kinerja sektor riil secara efisien dan berkelanjutan, pembangunan infrastruktur dan pemenuhan kebutuhan energi nasional yang mampu meningkatkan kapasitas dan efisiensi perekonomian serta memberi manfaat luas bagi masyarakat tidak bisa ditunda lagi. Sudah saatnya pembangunan infrastruktur di wilayah-wilayah padat penduduk atau industri seperti Jawa, Bali, dan Pantai Timur Sumatera diserahkan kepada swasta.

Sementara dana APBN diprioritaskan untuk membangun wilayah-wilayah tertinggal di luar Jawa dan Bali, pulau-pulau kecil, serta daerah perbatasan. Pembiayaan kegiatan sektor ekonomi riil dan pembangunan infrastruktur di atas, selain dari APBN, yang lebih utama adalah dari dana masyarakat yang banyak ngendon di bank-bank nasional maupun asing. Fungsi intermediasi perbankan harus segera ditingkatkan dan akumulasi kelebihan likuiditas keuangan yang mencapai Rp270 triliun dalam SBI dan Rp470 triliun dalam surat utang negara (SUN) harus segera dimanfaatkan untuk membiayai sejumlah kegiatan sektor ekonomi riil.

Mestinya kita meneladani China dan India yang berhasil membuat kesepakatan dengan lembaga perbankan, bahwa 40 persen kredit bank nasional dan 32 persen kredit bank asing harus dialokasikan untuk membiayai investasi dan usaha di sektor pertanian dan industri kecil-menengah. Selanjutnya, kebijakan makroekonomi harus dirancang untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi berkualitas secara berkelanjutan.

Mari kita tinggalkan ukuran keberhasilan ekonomi yang hanya mendasarkan pada inflasi rendah, nilai tukar rupiah, indeks harga saham gabungan (IHSG), dan rendahnya defisit anggaran yang acap tidak nyambung dengan tujuan utama dari pembangunan ekonomi itu sendiri, yaitu meningkatnya kapasitas dan kesejahteraan rakyat. Agar jangan menjadi "bangsa pemadam kebakaran", selalu ketinggalan kereta kemajuan, sejak sekarang kita harus mengalokasikan SDM dan anggaran secara signifikan untuk membangun pusat-pusat sains dan teknologi dalam rangka menguasai dan menerapkan teknologi di semua bidang kehidupan.

Dengan mengimplementasikan sejumlah kebijakan terobosan tersebut secara konsisten, permasalahan-permasalahan seperti pengangguran dan kemiskinan akan dapat diatasi secara tuntas. Pada saat bersamaan, bakal berkembang sumber-sumber pertumbuhan ekonomi dan pusat kemakmuran di seluruh Nusantara yang membentuk sistem perekonomian nasional yang produktif, berdaya saing, berkeadilan, dan berkelanjutan. (*)

Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri, MS
Ketua Program Studi Pengelolaan Pesisir dan Lautan

No comments: