Wednesday, February 20, 2008

Sektor Riil Mandek


Didik J Rachbini

Meski pemerintah dapat mengklaim pertumbuhan ekonomi sudah di atas 6,0 persen, selama ini sektor riil tetap tidak bergerak lincah. Sektor yang paling luas menyerap tenaga kerja, yakni sektor industri, mengalami kemacetan tidak hanya dalam pertumbuhan, tetapi juga survival-nya.

Perekonomian tertolong sektor agribisnis, yang mampu mendongkrak cukup tinggi nilai ekspor. Namun, dinamika ini bukan karena kebijakan dan program yang baik, melainkan karena faktor eksternal harga komoditas meningkat terus. Jadi, sektor riil industri berbasis pertanian menolong kondisi sektor riil yang kini mandek.

Namun, sebenarnya kinerja produksi dan volume ekspor tidak mengalami perbaikan signifikan. Kinerja ekspor bukan berhasil dicapai karena strategi dan kebijakan, melainkan karena faktor fluktuasi harga yang sedang membaik. Dan sektor industri secara keseluruhan mengalami masalah berat, bahkan tidak sedikit analis yang menilai adanya jebakan proses deindustrialisasi pada saat ini.

Di luar Jawa pertumbuhan ekonomi lebih tinggi karena ekspor sektor agribisnis. Kesejahteraan di luar Jawa tertolong karena pasar, yakni harga komoditas agribisnis yang merangkak naik. Faktor negara juga berperan karena desentralisasi mengalirkan anggaran publik yang besar ke daerah-daerah.

Industri rapuh

Permasalahan struktural dalam industri manufaktur terutama yang berbasis ekspor lumayan berantakan, seperti sepatu, tekstil, dan garmen. Bahkan, perkembangan industri manufaktur ini amat menyedihkan. Sebagian besar industri manufaktur mengalami pertumbuhan mendekati nol persen, bahkan ada sebagian mengalami pertumbuhan negatif. Bila hal ini terus dibiarkan, tidak menutup kemungkinan industri manufaktur di Indonesia akan mengalami kebangkrutan dan Indonesia tidak menjadi negara tujuan investasi manufaktur lagi.

Pertumbuhan industri tekstil, alas kaki, kulit, dan sejenisnya pernah mencapai kejayaan karena pertumbuhan ekspornya tinggi. Hal yang sama terjadi pada industri kayu dan berbagai industri lain, yang dulu ekspansif dalam ekspor. Kini industri itu mengalami pertumbuhan negatif dan sudah berlangsung beberapa tahun. Tampaknya situasi ini akan berlanjut dalam waktu panjang jika tidak ada terobosan dalam strategi dan kebijakan.

Sebenarnya siklus industri itu sudah bisa diperkirakan sebelumnya. Namun, selama ini tidak diantisipasi sehingga tidak naik kelas dan tidak ada penggantinya dalam ekspor. Tidak ada kebijakan industri manufaktur yang kuat dan komprehensif yang mendorong atau menstimulasi industri manufaktur baru dan berbasis ekspor sehingga bisa menjadi sumber devisa baru dan keuntungan bagi negara.

Kebanyakan nilai ekspor yang sekarang tumbuh lebih disebabkan harga produk itu naik, bukan karena peningkatan produktivitas. Peningkatan harga pasar internasional terjadi pada industri agro. Jadi, bisa dikatakan, kenaikan ekspor bukan disebabkan oleh restrukturisasi industri, bahkan ada beberapa industri yang sudah sun set dibiarkan sehingga tidak mengalami peningkatan.

Ketika sektor riil mandek seperti sekarang, khususnya industri, dampaknya sudah pasti terlihat pada angka pengangguran, yang tidak beranjak turun dan tidak membaik. Hal yang sama terlihat pada kasus kemiskinan yang masih cukup luas di berbagai daerah.

Jadi, pertumbuhan ekonomi yang kini terjadi bisa disebut pertumbuhan yang tidak berkualitas karena tidak memecahkan masalah paling mendasar dalam perekonomian. Sektor riil tidak bergerak dinamis, stabilitas moneter lebih menonjol tanpa efek kuat terhadap sektor riil.

Masalah ke depan

Pertumbuhan beberapa subsektor industri yang penting itu sudah terjadi dan belum dipengaruhi faktor harga minyak dunia sekarang ini. Ke depan tantangannya lebih berat lagi karena faktor-faktor eksternal lebih tidak pasti. Faktor-faktor eksternal yang krusial akan memengaruhi perkembangan industri dan sektor riil di Indonesia pada masa mendatang.

Setidaknya ada dua faktor utama yang amat berperan dalam perkembangan industri Indonesia. Pertama harga minyak dan yang kedua adalah kondisi ekonomi Amerika Serikat. Kondisi Amerika Serikat yang sedang dilanda masalah finansial menyebabkan penyerapan produk- produk pasar dari negara berkembang berkurang dan menghantam perkembangan industri negara-negara berkembang tersebut.

Kedua kondisi ini tidak akan berpengaruh fatal jika pemerintah punya kebijakan kuat, yang bisa mengantisipasi kedua masalah itu dan bisa mendorong pertumbuhan industri manufaktur. Semua negara industri kuat memiliki strategi kebijakan yang kuat, terutama fokus pada ekspor dan daya saing. Selama ini kebijakan industri masih samar- samar jika tidak hendak dikatakan tidak ada. Tanpa strategi kebijakan itu, industri yang sudah rapuh seperti sekarang akan lebih krusial lagi pada masa mendatang.

Kebijakan dan regulasi harus dipakai sebagai instrumen untuk mengatasi masalah di sektor riil selama ini, khususnya sektor industri. Pada saat yang sama, ada pula kebijakan kolektif di lapangan untuk meningkatkan produktivitas, daya saing, dan menemukan industri baru yang menjadi pilar ekspor. Regulasi bisa dipakai untuk menjadi benteng pertahanan industri manufaktur dalam menghadapi kondisi dan berbagai permasalahan eksternal.

Didik J Rachbini Ekonom

No comments: