FAISAL BASRI
Sudah berminggu-minggu harga minyak goreng bertengger tinggi. Rapat telah berkali-kali digelar. Presiden dan Wakil Presiden pun ikut turun tangan bergantian memimpin rapat. Sudah barang tentu sejumlah menteri telah berulang kali bertemu untuk melakukan koordinasi.
Operasi pasar juga telah dilakukan. Namun, harga minyak goreng tak kunjung turun. Bahkan, di beberapa daerah masih saja terus merangkak naik. Menteri Perdagangan berdalih, penyebab harga belum juga turun walau telah dilakukan operasi pasar adalah penjual masih memegang stok lama dengan harga pembelian yang masih tinggi.
Semula pemerintah tampaknya memandang kenaikan harga minyak goreng hanya bersifat sementara. Bertolak dari keyakinan ini, pemerintah merasa yakin harga minyak goreng akan cepat turun jika dilakukan operasi pasar.
Pemerintah mungkin lupa bahwa minyak goreng berbeda dengan beras. Untuk kasus beras saja pemerintah banyak menghadapi kendala. Padahal, pemerintah punya Bulog sebagai instrumen stabilisasi pasar yang ditugaskan untuk membeli gabah dari petani, menjual ke masyarakat dengan harga lebih rendah dari harga pasar, dan mengimpor beras.
Karena dalam kasus minyak goreng pemerintah tak punya perangkat langsung, maka pemerintah "menginjak kaki" para produsen minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO). Mereka diimbau dengan setengah dipaksa untuk memasok CPO ke pabrik minyak goreng. Unsur pemaksaan tercermin dari "kewajiban" produsen untuk menjual CPO dengan harga di bawah harga internasional.
Serba tak jelas
Ketidakjelasan langkah pemerintah sejak awal sudah tampak tatkala meminta komitmen produsen CPO menambah pasokan ke pabrik minyak goreng secara sukarela. Tak tanggung-tanggung, Presiden dan Wapres sendiri yang meminta komitmen tersebut ketika bertatap muka langsung dengan para produsen. Sebagian produsen merealisasikan komitmennya, sedangkan sebagian yang lain, termasuk PT Perkebunan Nusantara, berkilah menunggu payung hukum.
Karena tak berjalan sebagaimana diharapkan, pemerintah meningkatkan tekanan. Jika harga minyak goreng tak juga turun, pemerintah "mengancam" akan menaikkan pungutan ekspor (dalam istilah Undang- Undang Kepabeanan Tahun 2006 disebut Bea Keluar) atas CPO dan beberapa turunannya. Para produsen, termasuk petani kecil, tentu saja berketar-ketar karena kalau pungutan ekspor jadi dinaikkan, harga tandan buah segar (TBS) di dalam negeri serta-merta akan melorot.
Untuk meredam rencana kenaikan pungutan ekspor, para petani mendukung rencana pemerintah mewajibkan produsen minyak sawit mentah dan produsen minyak goreng mengutamakan pasokan ke pasar domestik (domestic market obligation/ DMO) (Kompas, 30 Mei 2007, hal 18).
Pejabat Departemen Pertanian mengatakan, transaksi DMO berdasarkan harga pasar. Kalau memang demikian, apa gunanya DMO? Bukankah kalau harga bebas bergerak sesuai dengan perkembangan harga di pasar internasional, para produsen dengan sukacita memasok berapa pun jumlah CPO ataupun minyak goreng yang diminta di pasar dalam negeri?
Struktur pasar
Penanganan yang dilakukan secara gegabah akan menambah kisruh, tak hanya di pasar minyak goreng, tetapi juga terhadap pasar CPO dan turunannya. Dengan demikian, piuh atau distorsi yang terjadi menimbulkan biaya bagi perekonomian yang lebih besar ketimbang manfaat yang dipetik dari penurunan harga minyak goreng.
Transaksi CPO pada umumnya terjadi di pasar berjangka (future market) sehingga harga yang terbentuk adalah harga untuk penyerahan kemudian, misalnya tiga bulan ke depan. Kebijakan pemerintah yang dilakukan secara mendadak sudah barang tentu mengganggu mekanisme ini. Bagi Indonesia yang menjual sebagian besar CPO ke pasar internasional, tentu saja perubahan mendadak akan lebih berdampak negatif ketimbang bagi Malaysia yang mengolah sebagian besar CPO mereka di dalam negeri.
Muncul juga masalah di Indonesia karena ada dua kelompok pengusaha. Kelompok pertama adalah yang memiliki usaha terintegrasi dari kebun hingga minyak goreng dan produk-produk turunan lainnya. Kelompok ini tentu saja tanpa harus dipaksa akan mengalokasikan CPO sebanyak yang mereka butuhkan untuk memproduksi minyak goreng sesuai dengan permintaan pasar. Namun, wajar jika mereka menurunkan produksi minyak goreng seandainya mereka dipaksa menjual lebih rendah daripada harga pasar. Mereka akan lebih senang mengekspor CPO jika menghasilkan laba yang jauh lebih besar ketimbang mengolahnya menjadi minyak goreng. Kelompok ini tak bisa dijerat karena hampir bisa dipastikan memenuhi DMO sebesar 15 persen dari total CPO yang dihasilkan.
Kelompok pengusaha kedua adalah yang lebih menonjol sebagai pedagang. Mereka menghasilkan TBS yang sedikit atau jauh lebih kecil ketimbang CPO dan produk-produk turunannya. Kelompok kedua inilah yang menguasai ekspor CPO dan turunan sawit. Tiga perusahaan di kelompok ini pada triwulan keempat 2006 menguasai 62 persen ekspor CPO dan produk- produk turunan sawit lainnya. Peran ketiga perusahaan ini terus naik dan mencapai 65 persen pada triwulan pertama 2007. Adalah wajar bagi pengusaha kelompok kedua untuk menolak secara halus penerapan DMO, apalagi kalau harga yang diberlakukan lebih rendah daripada harga internasional atau harga ekspor. Jenis pengusaha ini juga sangat senang apabila pemerintah menaikkan pungutan ekspor.
Belajar dari minyak goreng
Penanganan terhadap minyak goreng hanyalah salah satu contoh dari sejumlah tindakan pemerintah yang lebih bersifat reaktif ketimbang menyelesaikan akar masalah. Kebijakan yang tambal sulam tak hanya memperluas masalah, melainkan juga menimbulkan preseden buruk dan ketakpastian bagi pelaku usaha. Di tengah ketakpastian dan ketiadaan aturan yang jelas, para petualang mengambil kesempatan untuk meraup keuntungan.
Model penanganan minyak goreng yang tak sampai ke akar masalah akan menyebabkan persoalan timbul-tenggelam dan berulang-ulang. Tak hanya akan menimpa minyak goreng, tetapi juga komoditas-komoditas yang rentan terhadap gejolak eksternal, seperti gula, beras, gas, dan bahan bakar minyak.
Bagaimana mungkin pemerintah menyelesaikan persoalan minyak goreng secara tuntas dengan cara-cara yang ad hoc jika harga CPO diprediksi akan terus naik selama tahun 2007 ini. Bank Dunia memperkirakan harga CPO di pasar dunia tahun ini akan meningkat 12,9 persen. Komoditas pertanian yang juga diperkirakan harganya akan naik adalah minyak kelapa (15,3 persen) dan beras (5 persen).
Sebaliknya, untuk gula diperkirakan akan turun cukup tajam sebesar 21,7 persen. Andaikan tak diantisipasi sejak dini, kemungkinan besar akan kembali menimbulkan gejolak yang diakibatkan oleh melebarnya disparitas harga gula di dalam negeri dan di luar negeri, apalagi seandainya muncul tuntutan di dalam negeri untuk menaikkan harga "pedoman" atas nama kepentingan petani.
Kesemrawutan akan bertambah parah karena perlakuan terhadap industri gula oleh pemerintah tak lebih baik, kalau tak hendak dikatakan lebih parah, ketimbang minyak goreng. Di industri gula bercokol pula segelintir pengusaha yang memanfaatkan "kebodohan" pemerintah. Segelintir pengusaha yang menghasilkan gula rafinasi memperoleh perlindungan, jauh lebih besar ketimbang perlindungan bagi petani tebu.
Akibatnya, ribuan industri makanan dan minuman harus membeli gula sebagai bahan baku dengan harga yang lebih tinggi dari harga yang sepatutnya, baik dari impor maupun dari produsen gula rafinasi di dalam negeri. Pemerintah tampaknya lebih membela segelintir pengusaha yang menyerap segelintir pekerja ketimbang petani tebu dan ribuan industri makanan dan minuman yang menyerap jutaan pekerja.
Indonesia mungkin satu-satunya negara di dunia yang membedakan antara gula konsumsi dan gula rafinasi, padahal dalam kenyataan tak ada perbedaan tegas di antara keduanya. Gula rafinasi adalah juga gula yang kita konsumsi sehari-hari, bedanya hanya pada kadar keputihannya.
Menjelang pemilu kelihatannya praktik-praktik pemburuan rente seperti contoh di atas akan semakin marak. Lalu, buat apa pemilu kalau ujung-ujungnya menambah kesengsaraan rakyat?
No comments:
Post a Comment