Thursday, June 21, 2007

Inpres Kosong

Oleh : Iman Sugema

Pada hari Selasa yang lalu (12/6/07), pemerintah menerbitkan Inpres 6/2007 tentang Kebijakan Percepatan Pembangunan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Yang mengumumkan adalah Menko Perekonomian yang dalam satu setengah tahun terakhir ini sangat rajin mengeluarkan berbagai macam paket kebijakan sehingga kalangan pers sering menyebutnya sebagai Mr Paket. Tak ada yang salah dengan itu karena tugas Menko adalah mengkoordinasikan semua kebijakan di bidang perekonomian.

Inpres 6/2007 itu terdiri dari empat paket kebijakan, yaitu (1) perbaikan iklim investasi, (2) reformasi sektor keuangan, (3) percepatan pembangunan infrastruktur, dan (4) pemberdayaan UMKM. Ada sekitar 141 langkah kebijakan yang diinstruksikan kepada 19 kementerian dan empat LPND. Sungguh merupakan inpres yang berskala bongsor. Di waktu-waktu yang lalu, sebuah inpres biasanya merupakan perintah dari presiden yang sangat spesifik. Tapi, tak ada salahnya toh, kalau presiden memberi instruksi secara borongan?

Tapi, yang paling mengejutkan adalah isi dari inpres tersebut ternyata semuanya mengenai daftar yang akan dikerjakan oleh pemerintah dalam beberapa bulan mendatang. Hal tersebut mengingatkan kita pada Letter of Intent yang sering kita serahkan pada IMF. Inpres tersebut bisa kita kategorikan sebagai LoI juga tapi dengan kepanjangan yang berbeda yaitu List of Intent atau daftar niat pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan dalam beberapa bulan yang akan datang.

Karena sifatnya baru sebuah niat saja, maka kandungan instruksinya menjadi tidak ada alias kosong. Maka, Inpres 6/2007 tersebut layak disebut sebagai inpres kosong. Dalam lampiran matriks kegiatan --dulu kita sering menyerahkan policy matrix kepada IMF-- ternyata isinya adalah rencana untuk membuat kebijakan titik-titik, mengkaji titik-titik, menyiapkan insentif titik-titik, atau membuat daftar titik-titik. Yang saya maksud dengan ''titik-titik'' tentu bukan tidak berisi, tapi banyak ragamnya mulai dari kebijakan industri nasional sampai dengan peningkatan efektivitas konsultan keuangan mitra bank. Dari yang paling umum sampai dengan yang paling spesifik pun ada. Cuma, ya itu tadi, isinya ternyata tak ada.

Coba kita lihat contohnya. Pertama, dalam inpres tersebut disebutkan bahwa Menteri Perindustrian diperintahkan untuk menyusun Kebijakan Industri Nasional yang harus rampung pada bulan Oktober 2007. Tak ada kejelasan kebijakan industri macam apa yang kelak akan dikeluarkan. Apa tujuannya, bagaimana prioritasnya, langkah kebijakan macam apa yang akan ditempuh, dan bagaimana pendanaannya. Instruksinya jelas, yaitu membuat kebijakan industri nasional, tapi apa isi di dalamnya tidak jelas seratus persen. Itulah yang saya maksud dengan inpres kosong.

Kedua, yang paling tragis adalah dalam bidang percepatan pembangunan infrastruktur. Ketika kita bicara mengenai ''percepatan'', kita membayangkan akan adanya langkah konkret untuk menyelesaikan berbagai masalah yang telah menyebabkan lambannya pengerjaan proyek-proyek di bidang infrastruktur.

Tapi, apa yang akan ditargetkan dalam inpres tersebut sungguh mengejutkan dan jauh dari harapan. Lampiran 3 yang diberi judul ''Percepatan Pembangunan Infrastruktur'' isinya mayoritas adalah pembuatan RUU di bidang infrastruktur, pembuatan PP, surat keputusan menteri atau lembaga terkait, membuat policy paper, membuat cetak biru, membuat master plan, dan sejenisnya. Singkatnya isi dari lampiran itu adalah membuat konsep peraturan, rencana, dan studi kebijakan. Mana langkah operasionalnya? Kita harus menunggu sampai peraturan baru keluar, dan kita masih harus menanti apa rencana pemerintah yang akan diterbitkan serta bagaimana hasil studinya. Pertanyaannya, apakah hal-hal tersebut akan mampu mempercepat pembangunan sektor ril? Saya kira tidak.

Yang jadi persoalan kita sekarang bukan tiadanya payung hukum dan regulasi atau kurang memadai perangkat pengaturan. Inti persoalannya adalah di level implementasi. Contohnya, Presiden telah menerbitkan peraturan mengenai pembebasan lahan untuk kepentingan umum. Implementasinya bagaimana? Nol besar. Kita sudah memiliki berbagai undang-undang mengenai transportasi darat, laut, dan udara. Hasilnya, kecelakan transportasi tetap tinggi dan mengerikan sampai-sampai negara lain mengeluarkan larangan bepergian menggunakan pesawat terbang maskapai Indonesia. Sekali lagi, yang jadi problem adalah implementasi.

Yang ditunggu oleh masyarakat dan dunia usaha adalah langkah nyata apa yang akan dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi lemahnya daya saing usaha dan mengurangi kemiskinan dan pengangguran. Rasanya terlalu bosan kita harus menunggu terus-menerus mengenai kejelasan langkah pemerintah. Mestinya yang dibuat oleh pemerintah adalah: Dengan kerangka peraturan yang ada dan dengan permasalahan yang semakin bertumpuk, langkah optimal apa yang bisa dilakukan oleh pemerintah? Langkah optimal tersebut harus betul-betul dirasakan oleh masyarakat.

Contoh dari hal tersebut adalah pembangunan sekolah dasar inpres di tahun 70-an sebagai langkah awal bagi pemerataan pendidikan dan memperbaiki kualitas SDM. Hasilnya bisa dirasakan sekarang. Mayoritas dari kita adalah lulusan SD inpres.

Contoh lainnya adalah Inpres Desa Tertinggal (IDT) yang memuat program aksi pengentasan kemiskinan secara terstruktur dan terencana serta didukung dengan pembiayaan yang jelas. Walaupun IDT kini tinggal nama dan kurang berhasil, tetapi namanya tetap bergaung sebagai sebuah keseriusan pemerintah dalam memecahkan masalah kemiskinan.
Sekali lagi: Action, please.

No comments: