Wednesday, May 23, 2007

Mewaspadai Aliran Utang Swasta dari Mancanegara


Agar Tak Alami Krisis Kedua
Ketika suku bunga dalam negeri masih tinggi, swasta lebih suka mencari utang dari luar negeri. Dananya lebih murah, begitu alasan mereka. Namun Bank Indonesia (BI) mulai mengkhawatirkannya. Sebab, berpotensi memicu krisis finansial jilid dua.
------------

Dalam beberapa waktu terakhir, utang dalam bentuk valas terus mengguyur swasta. Khawatir memengaruhi neraca pembayaran, bank sentral berjanji mengawasi secara ketat dana-dana tersebut. Gubernur BI Burhanuddin Abdullah mengatakan aliran dana dari negeri seberang perlu disesuaikan dengan kemampuan ekonomi dalam negeri. "Jangan sampai over-exposure," kata Burhanuddin.

Data bank sentral menunjukkan, utang dari mancanegara yang masuk ke sektor swasta pada Maret 2006 mencapai USD 51,227 miliar. Jumlah tersebut bergeser pada Juni menjadi USD 51,095 miliar, dan Desember 2006 menjadi USD 51,131 miliar.

Namanya juga utang. Terasa ringan ketika menadah, tapi menjadi berat saat mengembalikan. Sepertinya, otoritas moneter khawatir kebutuhan valas tak mencukupi saat utang-utang tersebut jatuh tempo. Jika suatu saat swasta memborong dolar demi melunasi utang, cadangan devisa bisa tergerus untuk bercampur-mawur ke pasar.

Cadangan devisa saat ini memang cukup mantap. Namun, menjadi rentan jika penopangnya adalah dana-dana jangka pendek. Pekan-pekan ini, mandala pasar modal dan keuangan tanah air memang sedang diserbu uang panas (hot money) dari luar negeri. Asing meringsek masuk ke Surat Utang Negara (SUN), Sertifikat Bank Indonesia (SBI), dan saham.

Data bank sentral menunjukkan, pembelian SUN oleh asing mencapai 15,3 persen atau Rp 67,8 triliun. Asing juga parkir di SBI dengan dana masuk 10,9 persen atau Rp 23,9 triliun. Investor mancanegara juga mengoleksi saham dengan pembelian bersih sejak Januari hingga April sejumlah Rp 6 triliun. Artinya, cadangan devisa yang saat ini menembus USD 49,4 miliar masih cukup rentan. Sebab, dicurigai banyak ditopang uang panas. Dalam hitungan detik, uang-uang panas tersebut bisa keluar masuk kapan saja.

Di sinilah hulu masalahnya. Karena itu, sejumlah kalangan mendukung upaya bank sentral memonitor utang luar negeri swasta. Jika tak terkendali, utang swasta bisa membikin rupiah ambruk. "Pengalaman sebelum krisis 1997-1998, utang swasta yang tidak terkendali menjadi salah satu kontributor utama anjloknya kurs rupiah saat itu," kenang anggota Komisi XI DPR (Keuangan dan Perbankan) Dradjad H. Wibowo kepada Jawa Pos kemarin.

Selain tak terkendali, swasta juga tidak melakukan hedging (lindung nilai) terhadap utang-utangnya, sehingga punya risiko nilai tukar yang tinggi. Akibatnya, ketika rupiah merosot sedikit, mereka berlomba-lomba menubruk dolar di pasar spot untuk amankan pembayaran kembali utangnya dalam valas. Dradjad berpendapat, monitoring utang swasta mesti segera dilakukan. Mekanisme lindung nilai juga harus lebih kerap digunakan.

Tumbangnya rupiah ini lah yang dikhawatirkan. "Ketika rupiahnya anjlok, krisisnya menjalar ke mana-mana," sahut Direktur Inter-CAFE (International Centre for Applied Finance and Economic) Iman Sugema. Kepada koran ini, Direktur Utama Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Fadhil Hasan berpendapat senada.

Perilaku swasta yang agresif mengail dana dari luar, perlu dibarengi skema monitoring yang jelas. Selain itu, mesti ada upaya memastikan pinjaman tersebut digunakan sebagai mana harusnya. "Jadi tidak digunakan untuk spekulasi, misalnya," kata dia. Pilihan monitoring dinilai sudah maksimal, sebab BI tidak bisa membatasi aliran dana tersebut.

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi berpendapat kredit dari luar negeri memang bisa lebih murah, meski dalam bentuk valas yang rentan risiko nilai tukar. Jika bunga kredit domestik masih memberatkan dan prosedur di perbankan masih rumit, sektor swasta tetap mencari alternatif pendanaan dari mancanegara.

"Kita pinjam ke asing karena lebih murah dan tidak berbelit-belit syaratnya," kata Sofjan. Dia mengatakan, selisih bunga dalam negeri dengan mancanegara masih terlalu lebar. Bunga di luar negeri hanya 5 persen, sedangkan di dalam negeri paling rendah 10-12 persen. Artinya, perilaku swasta yang mengutang dolar dari mancanegara lebih disebabkan pertimbangan bisnis semata.

Dengan sistem devisa bebas, tak ada yang bisa melarang aliran dana yang masuk dari luar negeri. Pengusaha tentu akan mencari dana paling murah untuk mengguritakan bisnisnya. Namun, semuanya tentu tetap perlu diawasi ketika sudah menyentuh kepentingan nasional. Tentu pula kita tak ingin terjerembab ke lubang krisis untuk kali kedua. (sofyan hendra)


No comments: