Menakar Kinerja Menteri Kabinet
Oleh Sri Hartati Samhadi
Perombakan kabinet kemungkinan akan segera diumumkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam beberapa hari ini. Perombakan kabinet yang kedua ini diharapkan bisa memperbaiki kinerja dan efektivitas pemerintah, sekaligus mendongkrak popularitas SBY-JK yang terus menurun, karena dianggap tidak mampu memenuhi janji-janji di awal pemerintahan.
ikap maju mundur yang sempat ditunjukkan SBY terkait dengan perombakan ini sempat membuat banyak menteri meriang, bahkan menurut Wakil Presiden Jusuf Kalla tidak sedikit yang jantungan.
Akan menjadi antiklimaks bagi pasar, dunia usaha, serta kepercayaan masyarakat yang sudah telanjur apriori jika perombakan yang dilakukan Presiden nantinya ternyata tidak banyak mengubah tampilan kabinet, baik dari kapasitas profesionalitas maupun sosok moral integritas para menterinya.
Yang juga menjadi teka-teki sekarang ini adalah apakah perombakan ini nanti bersifat terbatas dengan hanya mengganti atau mereposisi sejumlah kecil menteri ataukah perombakan total dengan mengganti atau mereposisi sejumlah besar menteri.
Pertanyaan ini muncul karena tantangan pada paruh kedua masa pemerintahan dipastikan akan jauh lebih berat. Bukan hanya karena bangsa ini akan memasuki tahun persiapan pemilu, tetapi ini sekaligus pertaruhan terakhir bagi SBY-JK untuk membuktikan apakah pemerintahan di bawah kepemimpinan mereka akan benar-benar mampu mewujudkan janji-janji memperbaiki kesejahteraan rakyat dan mengubah keadaan.
Kondisi dan tantangan sulit ini menuntut masuknya figur-figur menteri baru yang jauh lebih profesional, menguasai masalah, memiliki track record yang baik, mampu bekerja dalam tim, dan bisa bekerja di bawah tekanan berat.
Kalangan pengamat politik dan ekonomi umumnya melihat, yang dibutuhkan negara sekarang ini adalah perombakan kabinet total, bukan reshuffle (perombakan kabinet) yang bersifat terbatas yang tidak akan mampu menjawab persoalan yang dihadapi bangsa ini sekarang.
Tidak sedikit dari pengamat ini menilai separuh lebih kabinet sekarang ini tidak perform atau "cacat". Beberapa bermasalah dengan integritas dan memiliki track record yang kurang baik, beberapa pernah tersandung kasus korupsi, beberapa lainnya tidak layak karena alasan kesehatan, serta sebagian lainnya memang tidak memiliki kapabilitas dan kompetensi yang memadai sebagai menteri.
Tidak sedikit menteri yang sampai sekarang pun tidak jelas kerja dan program-programnya serta tidak benar-benar paham pekerjaan atau persoalan yang dihadapi departemennya. Mereka inilah yang semestinya ada dalam urutan pertama untuk dievaluasi dan ditendang.
Menteri ekonomi
Sorotan paling banyak sekarang ini memang diarahkan pada tim ekonomi kabinet yang dinilai tidak cukup perform. Dari sisi kualitas dan kapasitas personal, beberapa menteri diakui memang tak bercacat.
Menko Perekonomian Boediono pernah ditulis sebuah majalah internasional sebagai salah satu menteri terbaik yang pernah ada di dunia saat ia masih menjabat menkeu pada era pemerintahan Megawati Soekarnoputri-Hamzah Haz. Ia juga dikenal memiliki integritas dan track record tak tercela.
Demikian pula Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, pernah dinobatkan sebagai menteri keuangan terbaik di Asia oleh sebuah majalah lain. Dua orang ini dianggap mampu mengawal dan mengembalikan stabilitas ekonomi dalam kondisi perekonomian yang sangat sulit.
Menteri Perdagangan Mari E Pangestu dianggap mampu membuat terobosan dengan jaringan lobi internasional dan lobi pengusaha etnis keturunan yang dimilikinya.
Namun, itu saja tidak cukup. Seorang pengamat dalam sebuah diskusi di televisi mengibaratkan tim ekonomi kabinet sekarang ini seperti kesebelasan Arsenal yang memiliki sejumlah materi pemain bagus, tetapi mandul, karena tak mampu mencetak gol. Tim ini juga tidak solid karena kinerja sejumlah menteri yang berhasil tak cukup diimbangi oleh menteri-menteri bidang ekonomi lainnya.
Dalam hal ini, makroekonomi yang stabil tidak akan ada artinya jika capaian-capaian spektakuler dalam indikator makroekonomi, keuangan, dan pasar modal itu tidak mampu ditransmisikan dalam perbaikan kinerja di sektor riil.
Kinerja menteri tidak hanya diukur dari kemampuan mereka menerjemahkan visi misi Presiden dalam matriks kebijakan departemen dan kemampuan mengimplementasikan program, tetapi juga bagaimana dampak dari program tersebut di lapangan dan apa yang dirasakan oleh masyarakat, dunia usaha, dan juga pasar.
Di sinilah kesenjangan yang tajam antara klaim keberhasilan yang diungkapkan pemerintah dan yang dirasakan masyarakat serta dunia usaha terjadi. Salah satu indikatornya adalah hingga sekarang persepsi bisnis terhadap iklim investasi tetap negatif, sektor riil tidak bergerak, angka pengangguran dan kemiskinan juga tidak banyak berubah, bahkan memburuk.
Untuk pertama kalinya, ekspor memang menembus level 100 miliar dollar AS pada pemerintahan ini. Namun, itu sebagian besar bukan hasil keringat pemerintah, tetapi lebih karena nasib baik, yakni melonjaknya permintaan dan harga ekspor komoditas di pasar dunia.
Industri padat karya, terutama tekstil dan produk tekstil (TPT), sepatu, dan kayu, sebagian besar rontok, dan deindustrialisasi masih terus berlanjut di sektor manufaktur, baik karena tutupnya industri manufaktur yang ada maupun relokasi industri ke negara lain. Lompatan ke level teknologi yang lebih tinggi juga tidak terjadi.
Di bidang pertanian, kebijakan Departemen Pertanian tidak berhasil mengangkat kesejahteraan petani dan menyediakan pangan yang cukup dan terjangkau untuk semua. Yang terjadi, impor beras justru semakin menjadi tradisi. Beberapa program landmark Deptan seperti revitalisasi pertanian dan swasembada sejumlah komoditas pangan penting juga tidak jelas kabarnya.
Di beberapa sektor lain, kebijakan yang ada memperlihatkan tidak cukup seriusnya komitmen pemerintah untuk menjalankan kebijakan pertumbuhan yang berpihak kepada kelompok miskin (pro-poor) atau penciptaan lapangan kerja (pro-job creation).
Di sektor kesehatan, meskipun kematian anak balita berhasil ditekan, angkanya masih sangat tinggi dibandingkan dengan rata-rata Asia. Alokasi anggaran untuk kesehatan juga jauh lebih kecil dibandingkan dengan negara-negara berkembang lain.
Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah belum memprioritaskan sektor kesehatan atau berkomitmen mencapai target yang ditetapkan dalam Sasaran Pembangunan Milenium (MDGs). Pemerintah juga terlihat kewalahan dan keteteran dalam menangani wabah penyakit menular yang kembali muncul dan berkembang menjadi pandemik.
Kasus malnutrisi pada anak balita juga terus merebak di berbagai daerah, bahkan juga di wilayah Ibu Kota yang langsung berada di bawah jangkauan pemerintah pusat. Hal serupa juga terjadi di sektor pendidikan yang justru mencatat penurunan angka partisipasi sekolah anak usia SMP dan SMA.
Di sektor infrastruktur, pemerintahan ini juga gagal membuat kemajuan dibandingkan dengan kondisi awal yang diwariskan pemerintahan sebelumnya.
Indeks kepercayaan
Kegagalan memperbaiki keadaan ini pula antara lain yang membuat popularitas SBY-JK terpuruk ke titik terendah berdasarkan survei terakhir yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI).
Hilangnya kepercayaan masyarakat dan keresahan masyarakat akibat lambannya penciptaan lapangan kerja juga tercermin pada turunnya Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) berdasarkan survei Danareksa Research Institute (DRI), ke titik terendah sejak Februari 2006, yakni 80,7 pada April 2007.
Ini penurunan IKK keenam bulan berturut-turut. Pemerintah dinilai tak menunjukkan kinerja baik dalam memulihkan perekonomian, menyediakan infrastruktur publik, dan menjamin penegakan hukum.
Masyarakat juga semakin kehilangan kepercayaan pada kemampuan pemerintah mendorong pertumbuhan ekonomi dan mengatasi masalah pengangguran. Masyarakat bukan hanya merasa ketersediaan lapangan kerja semakin memburuk, tetapi mereka juga terpukul oleh melonjaknya harga-harga barang kebutuhan pokok, terutama beras.
Para ekonom yang tergabung dalam Tim Indonesia Bangkit bahkan mengingatkan potensi besar Indonesia kembali terpuruk dalam krisis baru, padahal baru beberapa bulan lalu Presiden mengklaim perekonomian sudah keluar dari krisis.
Krisis baru itu dipicu oleh ekses likuiditas di pasar uang dan banjir uang panas jangka pendek yang eksodus mendadaknya bisa berpotensi menyebabkan rupiah gonjang-ganjing, dunia usaha ambruk, dan perbankan kolaps seperti terjadi pada krisis 1997.
Ekses likuiditas di pasar uang, pasar modal, dan perbankan yang tidak bisa dimanfaatkan untuk menggerakkan sektor riil itu menjadi bukti lain pemerintahan yang tak efektif atau setidaknya koordinasi yang tidak jalan.
Salah satu kegagalan pemerintah di sini adalah kegagalan memperbaiki iklim investasi. Ini antara lain tercermin dalam peringkat Doing Business yang memburuk, sementara pada saat yang sama negara-negara pesaing justru mengalami peningkatan dramatis. Masih berbelitnya proses perizinan, misalnya, menunjukkan proses reformasi birokrasi yang tidak jalan.
Tanda-tanda menjurus ke krisis tidak hanya ditunjukkan oleh ekses likuiditas di pasar keuangan. Ekonom Faisal Basri menyebut munculnya beberapa gejala mirip seperti yang ada sebelum krisis 1997. Misalnya, gejala bubble economy. Beberapa bank besar mulai serampangan menyalurkan kredit, bukan pada sektor riil, tetapi pada proyek- proyek infrastruktur jangka panjang yang berisiko.
Sektor dunia usaha, baik swasta maupun BUMN, juga sudah mulai berlomba-lomba membuat utang luar negeri. Dan yang lebih mencemaskan, perilaku bangsa ini juga tidak pernah berubah karena memang tidak ada pembelajaran dalam krisis.
Gambaran buruk ini hanya bisa dibalikkan jika SBY memilih orang-orang profesional yang mampu memperbaiki keadaan. Namun, potret kabinet yang compang-camping dan "banyak janji miskin prestasi" ini sebenarnya tidak berdiri sendiri. Sebagian pengamat melihat persoalannya mungkin bukan hanya ada pada menteri, tetapi juga pada kepemimpinan nasional.
Seperti, apakah sinergi yang terjadi antara SBY-JK selama ini mampu memberikan iklim kondusif bagi para menteri untuk bekerja dengan baik atau sebaliknya mereka justru bagian atau sumber masalah?
Sudah bukan rahasia lagi, bagaimana SBY->small 2
Persoalan berebut pengaruh dan kredit ini menjadi semakin intensif mendekati Pemilu 2009. Belum lagi kalau kita bicara kepentingan politik partai-partai politik yang juga menuntut diakomodasi dalam perombakan kali ini sehingga muncul kekhawatiran reshuffle akan kembali menjadi ajang bagi-bagi kekuasaan.
Jika sudah begini, sulit berharap kabinet ini akan mampu memperbaiki keadaan kecuali SBY dengan hak prerogatifnya bisa bersikap tegas dengan lebih mengedepankan pada profesionalisme ketimbang mengakomodasi kepentingan partai.
Jika tidak, bukan hanya eforia kabinet baru akan cepat menguap dan direspons buruk oleh pasar, pelaku usaha, dan masyarakat, tetapi reshuffle justru jadi bumerang dan bunuh diri politik SBY.
No comments:
Post a Comment