Thursday, May 31, 2007

Menggerakkan Sektor Riil

Bank Indonesia telah menurunkan kembali SBI menjadi 9 persen dengan harapan bahwa sektor riil mulai dapat berkembang. Namun penurunan SBI tidak dengan sendirinya menggerakkan sektor riil karena masih harus menunggu penurunan bunga pinjaman dan keadaan dari sektor riil yang bersangkutan. Biasanya penurunan SBI segera diikuti oleh penurunan bunga deposito, namun penurunan bunga pinjaman membutuhkan waktu karena bank cenderung mempertahankan perbedaan bunga deposito dan pinjaman untuk mendapatkan keuntungan optimal. Setelah beberapa waktu baru bunga pinjaman akan menurun sekalipun biasanya tidak setinggi penurunan bunga deposito.

Penurunan bunga pinjaman juga tidak berarti terbuka luasnya akses kredit bagi sektor riil, karena hanya sektor riil yang memenuhi persyaratan tertentu, terutama dalam aspek keuangan, yang mempunyai akses pada kredit perbankan. Dengan kata lain, penurunan suku bunga tidak dengan sendirinya menggerakkan sektor riil secara optimal. Bagi suatu perusahaan, untuk mendapatkan akses kredit perbankan paling tidak membutuhkan persyaratan kondisi keuangan yang cukup baik. Hal ini dipersyaratkan oleh supervisi Bank Indonesia. Karena itu perusahaan baru atau yang kondisi keuangannya tidak baik, tidak mempunyai akses pada kredit perbankan.

Bagi perusahaan yang memiliki akses pada kredit perbankan, pada umumnya akses yang relatif terbuka adalah kredit modal kerja yang sifatnya untuk menutupi kesenjangan waktu dalam aliran kas perusahaan. Jangka waktunya biasanya lebih pendek daripada satu tahun. Sedangkan untuk mendapatkan kredit investasi untuk pengembangan kegiatan perusahaan atau kegiatan baru dengan jangka waktu lebih panjang, semakin sulit diperoleh dari perbankan, karena bagi bank risikonya tinggi. Hal ini menjadi salah satu sebab relatif rendahnya investasi dalam negeri, selain tentunya juga lingkungan investasi yang masih kurang kondusif.

Belakangan ini, atas desakan pemerintah, bank BUMN mulai menandatangani kesepakatan untuk membiayai pembangunan jalan tol. Namun, dalam realisasinya masih sangat bergantung pada sejauh mana penghambat utama pembangunan jalan tol yaitu pembebasan tanah dapat dipercepat, kembali hal ini merupakan tanggung jawab pemerintah. Selain itu pembangunan jalan tol yang merupakan investasi jangka panjang juga tidak dapat bergantung pada kredit perbankan, karena sumber utama kredit perbankan adalah dana jangka pendek dalam bentuk deposito. Investasi infrastruktur semestinya lebih bergantung pada ekuitas bukan pada kredit bank.

Keadaannya berbeda dengan kredit konsumsi, terutama kartu kredit dan kendaraan bernmotor. Hanya dengan keterangan mengenai besarnya gaji dan fotokopi KTP, seseorang dapat memperoleh kartu kredit dan kredit kendaraan bermotor. Bahkan untuk kredit pemilikan sepeda motor, keterangan gaji terkadang tidak diperlukan karena perusahaan keuangan yang menyalurkan kredit sepeda motor memberikan persyaratan lain yang lebih mudah. Kredit pemilikan rumah juga relatif mudah daripada mendapatkan kredit untuk perusahaan, tentunya dengan tingkat pendapatan yang bersangkutan yang memadai.

Menyimak hal tersebut, maka pertumbuhan ekonomi pada tahun 2007 yang diperkirakan sekitar 7 persen akan banyak bergantung pada konsumsi masyarakat. Namun, dengan tingkat pengangguran yang tinggi dan juga tingkat kemiskinan yang tinggi, maka pertumbuhan konsumsi akan lebih banyak ditentukan oleh bagian masyarakat yang berpendapatan tinggi. Konsumsi pemerintah turut memperkuat sumbangan konsumsi bagi pertumbuhan ekonomi.

Sumber pertumbuhan lain adalah ekspor, terutama dari hasil sumber daya alam, seperti karet, CPO, dan batu bara. Selama harga komoditas tersebut masih tinggi di pasar dunia, maka pertumbuhan ekspor Indonesia relatif tinggi. Ekspor produk padat karya seperti tekstil dan garmen juga masih cukup baik, karena importir tidak mau terlalu bergantung pada Cina. Pada umumnya eksportir mendapatkan pembiayaan dari sumber di luar negeri, dengan bunga yang relatif rendah dan persyaratan yang terkadang lebih mudah, terutama untuk perusahaan dengan pasar ekspor yang jelas. Namun konsekuensinya dana yang diperoleh tidak masuk ke dalam negeri.

Sedangkan investasi asing, sekalipun minat tetap tinggi sebagaimana terlihat dari cukup tingginya tingkat persetujuan PMA, realisasinya rendah karena investor menganggap belum terjadinya perbaikan yang berarti dalam lingkungan investasi. Dari realisasi yang relatif rendah tersebut pada umumnya investasi asing mengarah juga pada kegiatan konsumsi seperti kendaraan bermotor dan perdagangan ritel berskala besar.

Jelaslah bahwa perkembangan sektor riil membutuhkan usaha lebih besar dari sekadar penurunan bunga dan kesepakatan bank BUMN untuk membiayai infrastruktur. Dibutuhkan proses saling mendekati antara sektor riil dan keuangan yang membuat kegiatan perusahaan sektor riil dapat dibiayai oleh bank dan sumber pendanaan lainnya. Dengan tidak adanya bank investasi di Indonesia, maka tumpuan menjadi pada bank BUMN. Namun ini tidak berarti bahwa bank BUMN dapat dengan leluasa membiayai investasi, karena mereka juga terikat pada persyaratan kehati-hatian perbankan.

Jika pemerintah dan bank BUMN berusaha untuk menstimulasi perkembangan sektor riil, maka pilihan proyek yang dibiayai haruslah mempunyai kemungkinan yang cukup tinggi untuk berhasil dan menjauhkan dari penyakit lama mark up nilai proyek untuk kepentingan pihak tertentu. Selanjutnya proyek yang dibiayai juga cukup menarik secara bisnis, sehingga dapat melibatkan peranan perbankan swasta, paling tidak dalam memberikan kredit modal kerja. Selain itu perlu pula diperjelas mengenai aspek akuntabilitas, jangan sampai proyek yang dimaksudkan sebagai pendorong perkembangan sektor riil kemudian terbelenggu oleh permasalahan audit dan investigasi anti-korupsi yang bertele-tele.

(Umar Juoro )

No comments: