Wednesday, May 30, 2007

ekonomi
Cara Lain Membaca MDGs

Maria Hartiningsih

Target waktu tahun 2015 yang ditentukan untuk mencapai delapan Tujuan Pembangunan Millenium atau MDGs sudah separuh terlewati. Pemasyarakatan tentang MDGs kian gencar dilakukan, termasuk melalui iklan pelayanan masyarakat. Namun, pemahaman tentang MDGs masih terbatas pada pemahaman literal, dan tujuan-tujuannya dipahami hanya sebagai target riil.

Banyak ahli, termasuk Michael Clements dan Todd Moss dari Centre for Global Development, mengingatkan, MDGs seharusnya lebih dipandang sebagai tools atau sarana, bukan semata-mata target praktis. Tujuan-tujuan MDGs diharapkan mendorong diskusi, perhatian yang lebih terfokus, dan membantu mendorong akuntabilitas.

Dengan demikian, tahun 2015 sebaiknya tidak dilihat sebagai angka mati, dan target-targetnya tak hanya dipahami sebagai angka. Hal itu mengandung banyak bahaya. Di antaranya seperti yang dikemukakan Wahyu Susilo dari Forum Internasional NGO mengenai Pembangunan Indonesia (Infid), "Kalau ini terjadi, maka MDGs dipandang tak lebih dari proyek."

Komitmen negara maju membantu negara berkembang pun tak bisa dibaca sebagai ketulusan tanpa kepentingan. Pandangan Jeffrey Sachs dalam bukunya, The End of Poverty (2005), yang terkesan menimpakan penghapusan kemiskinan sebagai tanggung jawab negara maju, menurut Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Chalid Muhammad, dapat dibaca sebaliknya, yakni melegitimasi mazhab pembangunanisme yang sudah bangkrut itu.

Yang dibutuhkan oleh negara miskin dan warga yang terpinggirkan di berbagai negara, seperti dikemukakan Clements dan Todd (2004), bukanlah tindakan yang bersifat emosional dan moralistik, tetapi suatu tindakan yang lebih moderat dan berkelanjutan. Inovasi seperti Dana Kesehatan Global atau Millenium Challenge Account merupakan awal yang baik, tetapi dibutuhkan lebih banyak eksperimentasi dan evaluasi.

Upaya untuk memperbaiki situasi kesejahteraan manusia di berbagai penjuru dunia sebenarnya jauh melintasi bantuan atau utang, melainkan sesuatu yang lebih substansial akan mengubah keadaan, seperti alih teknologi (untuk pembuatan vaksin, misalnya), mekanisme perdagangan yang lebih adil untuk negara berkembang dan miskin, serta pendekatan win-win untuk mobilitas tenaga kerja. Ini artinya, tujuan delapan MDGs sangat penting dan harus mendapat perhatian.

Di luar itu adalah berbagai cara lain untuk mendukung negara miskin dan negara berkembang, termasuk kebijakan nasional dan lokal yang mendorong warga yang terpinggirkan di berbagai negara agar dapat memperbaiki nasibnya sendiri.

Chalid Muhammad menambahkan, "Belakangan ini istilah MDGs banyak dipandang sebagai obat mujarab untuk menjawab persoalan dunia yang kian ruwet sehingga seluruh rancangan tahun 2015 tidak disertai perombakan fundamental terhadap praktik-praktik ketidakadilan. Yang kuat tetap saja mendominasi yang lemah, dari tingkat internasional sampai ke yang paling lokal."

Ia mempertanyakan, bagaimana mungkin Indonesia terlepas dari kemiskinan kalau eksploitasi sumber daya alam yang terjadi sebelumnya terus berlangsung sampai sekarang. "Tidak ada upaya fundamental yang dilakukan untuk mengubah arah pembangunan," ujarnya.

Maka, laju perusakan hutan di Indonesia, yang ditengarai sebagai yang paling tinggi di dunia, tidak membutuhkan tanggapan pro atau kontra, tetapi membutuhkan tindakan untuk mengubahnya.

Tak ada yang baru

Pembangunan merupakan tindakan, tak hanya dalam spirit. Di negara demokrasi, salah satu cara untuk mengembangkan dukungan jangka panjang adalah menunjukkan hal-hal yang terbaik untuk kesejahteraan warga dalam arti luas, melintasi sekat-sekat yang dibuat untuk kepentingan politik sekelompok orang, seperti agama, ras, etnis, jender, golongan, dan lain-lain.

Tak kurang dari Wakil Sekretaris Jenderal PBB dan Sekretaris Eksekutif Komisi Ekonomi dan Sosial untuk wilayah Asia Pasifik Kim Hak-su dan Duta Besar Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk MDGs di wilayah Asia-Pasifik Erna Witoelar mengingatkan, tidak ada yang baru dengan sasaran-sasaran MDGs.

Barangkali perlu diingatkan lagi kesepakatan-kesepakatan internasional pada waktu lalu. Pada tahun 1960-an, PBB menentukan target pendidikan dasar untuk semua pada tahun 1980. Pada tahun 1980, ada berbagai kesepakatan, di antaranya pertumbuhan ekonomi 6,5 persen di seluruh negara berkembang.

Antara tahun 1980-1990 dibuat kesepakatan untuk pertumbuhan ekonomi, mengurangi angka kemiskinan, meningkatkan jumlah anak di sekolah, dan banyak lagi target yang menyasar negara berkembang. Lebih jauh lagi, pada tahun 1992 ditandatangani Deklarasi Rio untuk Lingkungan dan Pembangunan dengan cetak biru Agenda-21 guna mencapai Pembangunan Berkelanjutan.

Di Cairo tahun 1994 ditandatangani Deklarasi Cairo untuk Kependudukan dan Pembangunan. Setahun kemudian dibuat komitmen Copenhagen untuk Pembangunan Sosial. Tahun yang sama ditandatangani Deklarasi Beijing dengan Beijing Platform for Action yang dihasilkan dalam Konferensi IV mengenai Perempuan dan Pembangunan.

Laporan dunia lima tahun setelah Rio menyatakan bahwa degradasi lingkungan justru kian parah. Dalam Konferensi Internasional mengenai Pembangunan Berkelanjutan (WSSD) di Johannesburg, Afrika Selatan, 10 tahun setelah Rio, situasinya justru memburuk.

Kenaikan temperatur akibat perubahan iklim yang disebabkan meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer bumi menyebabkan meruyaknya penyakit infeksi di dunia dan bencana alam di berbagai negara.

Gelombang pasang pada 17 dan 18 Mei 2007, misalnya, seperti dicatat Walhi, berdampak pada 38 kabupaten dan kota pesisir dari 11 provinsi di Indonesia, dengan korban langsung sekurangnya 203.623 kepala keluarga yang menggantungkan hidupnya pada kegiatan perikanan.

Berbagai kesepakatan Organisasi Perdagangan Dunia dan berbagai mekanisme internasional lainnya, seperti program-program yang diprakarsai oleh Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia dalam kurun waktu 10 tahun setelah Rio, justru memperburuk situasi lingkungan di banyak negara.

Peran PBB pun dipertanyakan karena lemahnya posisi organisasi itu di hadapan organisasi dan lembaga-lembaga internasional yang didominasi oleh kepentingan negara maju.

Sepuluh tahun setelah ICPD Cairo, kemiskinan dan konservatisme agama membuat pencapaian di bidang kependudukan pada akhir tahun 1990-an bergerak ke belakang.

Sepuluh tahun setelah Konferensi Internasional mengenai Pembangunan Sosial di Copenhagen pada tahun 1995, situasi dunia kian karut-marut akibat perang, bencana alam, dan berbagai bencana lainnya.

Dana militer

Dana militer untuk persenjataan yang pada tahun 1995 diharapkan dapat dikurangi dari 900 miliar dollar AS tidak terwujud. Pupus pula harapan menggunakan 125 miliar dollar AS untuk meningkatkan kesejahteraan di dunia. Malah dana persenjataan bertambah. Perang besar justru terjadi pada awal abad ke-21, khususnya setelah AS memberikan definisi sepihak tentang terorisme.

Berbagai organisasi pemerhati utang mencatat, utang dunia yang sekitar 1.800 miliar dollar AS 10-15 tahun lalu saat ini membengkak menjadi sekitar 2.200 miliar dollar, sekitar 90 persen merupakan utang negara berkembang dan negara miskin.

Pemenang Nobel Ekonomi tahun 2003, Joseph Stiglitz, mencatat, tidak ada program penghapusan kemiskinan yang sungguh-sungguh mampu menghapus utang.

Contoh di Afrika adalah yang paling jelas. Zambia, misalnya, setelah program "penghapusan kemiskinan" yang didukung oleh Bank Dunia dan IMF, angka kematian bayi yang 19 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1990 naik menjadi 90 pada tahun 2002. Di Senegal angka kemiskinan naik dari 60 persen menjadi 80 persen pada tahun 1994-2003.

Semua ini adalah catatan untuk mengingatkan betapa pentingnya jejak di belakang supaya kita tidak terjebak pada jargon dan target-target.

No comments: