Penanaman Modal
Investor Masih Dibayangi Ketidakpastian Berusaha
Jakarta, Kompas - Ketidakpastian berusaha dirasakan masih membayangi calon investor di Indonesia. Perubahan aturan dan perdebatan publik yang dimunculkan oleh pejabat pemerintah dinilai kerap memunculkan ketidakpastian itu.
Pandangan tersebut dikemukakan oleh pemimpin Gemala Group Sofjan Wanandi dan pemimpin lembaga konsultan bisnis Castle Asia James Castle, dalam diskusi "To Revitalize Economy: Boosting the Real Sector" di Jakarta, Rabu (30/5).
Castle menjelaskan, ketidakpastian berusaha yang kini dirasakan calon investor muncul karena beberapa bentuk intervensi pasar yang dilakukan pemerintah. Bentuk intervensi pasar yang tidak sehat itu, dicontohkan antara lain tampak pada tingginya bea masuk impor beras dan gula serta rencana pemerintah menaikkan pajak ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO).
"CPO sebagai komoditas ekspor yang bagus akan dikenai pajak ekspor, sebaliknya gula dikenai pajak impor tinggi untuk memproteksi industri yang tidak efisien. Ini tidak ubahnya menghukum yang sukses dan melindungi yang gagal," ujar Castle.
Perubahan regulasi periklanan juga dinilai memunculkan ketidakpastian baru bagi calon investor. Awal Mei lalu, pemerintah menerbitkan pelarangan iklan televisi yang bermateri asing atau dibuat oleh perusahaan asing.
"Ada asumsi bahwa aturan bisa sewaktu-waktu diubah. Banyak tindakan birokratik seperti itu yang bisa memunculkan ketidakpastian bagi calon investor," kata Castle.
Investasi di sektor riil, menurut Castle, juga tidak akan membaik selama infrastruktur tidak ditingkatkan secara signifikan. Pengembangan infrastruktur terkait erat dengan kinerja badan usaha milik negara (BUMN), misalnya pada bidang kelistrikan dan pelabuhan. BUMN selama ini dinilai lamban merespon tuntutan pasar.
Oleh karena itu, pemerintah pun dipandang perlu mendorong BUMN menjadi lebih efisien dan transparan. Dengan begitu, diharapkan investasi di bidang infrastruktur lebih berkembang.
Penyerapan Kredit Rendah
Sofjan Wanandi menyarankan pemerintah tidak menghabiskan terlalu banyak energi berkutat dengan isu politik dan persoalan masa lalu, sementara dunia usaha masih dibayangi ketidakpastian berusaha.
Rendahnya penyerapan kredit pada sektor manufaktur, disebutkan Sofjan, sebagai salah satu bukti belum kuatnya keyakinan untuk berinvestasi.
Menurut Data Bank Indonesia, 26,8 persen dari Rp 167,4 triliun total kredit yang tidak terserap hingga triwulan I 2007 berada di sektor manufaktur. "Pelaku sektor manufaktur merasa tidak cukup kompetitif mengembangkan usaha. Itu karena struktur biaya (produksi) dan ketidakpastian berusaha masih tinggi," ujar Sofjan. (DAY)
No comments:
Post a Comment