Pertautan Ekonomi dan Demokrasi
A Tony Prasetiantono
Setelah sejak Mei 1998, jalan reformasi kita lalui hampir sembilan tahun, kita acap digelisahkan pertanyaan, apakah jalan yang kita tempuh sudah "benar"?
Kalau "ya", mengapa pertumbuhan ekonomi tak beranjak cepat sehingga tak cukup mengenyahkan pengangguran? Jangan-jangan eforia reformasi dan demokrasi tidak cocok untuk karakteristik negara berkembang seperti Indonesia? Jangan-jangan yang cocok bagi kita adalah gaya pemerintahan otoriter dan sentralistik? Bukankah Singapura, misalnya, juga bisa makmur tanpa perlu menempuh jalan reformasi dan demokrasi?
Pertanyaan inilah yang ingin dijawab Menteri Koordinator Perekonomian Boediono melalui pidato pengukuhan guru besarnya di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (Dimensi Ekonomi-Politik Pembangunan Indonesia, 24/2/2007).
"Public choice"
Kesadaran bahwa ada pertautan antara disiplin ilmu ekonomi dan ilmu politik sudah lama dikemukakan oleh ekonom. Perbedaan keduanya adalah politisi pada dasarnya lebih mengedepankan kepentingan umum (public interests), sedangkan pelaku ekonomi umumnya lebih mendahulukan kepentingan pribadi (private interests). Namun keduanya tidak selalu menjadi dikotomi, bisa dikombinasikan.
Inilah awal mula lahirnya cabang ilmu ekonomi yang disebut public choice, yang di era modern digagas Duncan Black (1948), James Buchanan (1949), dan Kenneth Arrow (1950, 1951), Anthony Downs (1957), James Buchanan dan Gordon Tullock (1962), serta Mancur Olson (1965). Namun, jauh sebelumnya, sebenarnya sudah ada John Stuart Mill (Considerations on Representative Government, 1861).
Lebih spesifik, Downs (1957) mengajukan teori dan analisis ekonomi tentang demokrasi (An Economic Theory of Democracy), sedangkan Arrow (1951) terkenal karena aksiomanya, tak ada institusi yang bisa menghasilkan Pareto optimal dan nondiktatorial. Pareto optimal adalah situasi di mana tidak seorang pun mendapat manfaat lebih banyak tanpa pengorbanan orang lain. Inilah esensi realokasi.
Dalam kasus Indonesia kini, kita menemukan fakta, betapa eforia demokrasi bisa menjadi kerikil sandungan dalam pembangunan ekonomi. Dewasa ini persoalan terbesar perekonomian Indonesia adalah sulitnya mendorong sektor riil karena adanya sejumlah kendala. Meski suku bunga perbankan sudah meluncur turun, sektor riil tidak juga bisa bergerak. Masih ada banyak kendala, mulai dari keterbatasan infrastruktur, hambatan birokrasi, struktur pasar monopolistik, hingga eforia demokrasi.
Dalam tesis Profesor Boediono, eforia demokrasi akan mengikuti lekuk kurva J. Artinya, dalam jangka pendek, eforia demokrasi akan memanen dampak negatif, seperti tergambar dalam lekuk di awal kurva J. Namun, pada titik tertentu, kurva ini menjulang ke atas. Mengutip Zakaria (2003), studi empiris 1950–1990 menunjukkan, batas kritis bagi demokrasi adalah pendapatan per kapita 6.600 dollar AS berdasar purchasing power parity (PPP).
Metode PPP merupakan perhitungan pendapatan yang sudah menghilangkan bias harga setempat. Kini, pendapatan per kapita Indonesia secara nominal adalah 1.300 dollar AS. Namun, karena harga barang dan jasa di Indonesia relatif lebih murah dibandingkan dengan di Amerika Serikat, secara PPP pendapatan per kapita Indonesia terkoreksi ke atas menjadi sekitar 4.000 dollar AS.
Artinya, benih demokrasi baru akan bersemai dengan baik jika suatu negara mencapai pendapatan per kapita PPP sebesar 6.600 dollar AS. Karena pendapatan per kapita PPP kita baru sekitar 4.000 dollar AS, diperlukan sekitar sembilan tahun untuk mencapai "zona aman". Asumsinya, kita mencapai pertumbuhan ekonomi rata-rata tujuh persen, sedangkan pertumbuhan penduduk 1,2 persen.
Implikasinya, selama sembilan tahun ke depan, kita akan menghadapi berbagai kerawanan demi kerawanan. Inilah hal yang mungkin bisa membantu pemahaman kita terhadap adanya berbagai dinamika (persisnya kerawanan-kerawanan), yang kita alami dalam sembilan tahun terakhir sesudah kita memasuki era reformasi.
Profesor Boediono berpendapat, bangsa kita sudah di jalur yang benar (on the right track) dalam menjatuhkan pilihan jalan demokrasi. Namun, ibarat tanaman, benih demokrasi ini merupakan jenis tanaman jangka panjang. Pada tingkat pendapatan per kapita rendah, kemungkinan kegagalan demokrasi amat tinggi, dan secara progresif menurun seiring dengan kenaikan pendapatan. Tanaman demokrasi akan kita panen hasilnya secara ekonomis dalam jangka panjang.
Menuju "zona aman"?
Agenda mendesak kita adalah mendorong pertumbuhan ekonomi agar bisa segera mencapai "zona aman" 6.600 dollar AS. Sesudah itu, menurut Boediono, demokrasi dan ekonomi akan menjalin hubungan timbal balik yang positif, saling memperkuat, dan menjadi penentu keberlanjutan (sustainability) peningkatan kemakmuran. Di sinilah kita mulai memanen "lingkaran surga" (virtuous circle).
Namun, justru di sinilah masalahnya. Belum ada indikasi perekonomian kita tumbuh tujuh persen per tahun karena investasi belum bergerak. Tahun ini paling-paling pertumbuhan enam persen. Sementara itu, karakteristik pertumbuhan ekonomi juga berubah. Lima tahun lalu setiap persen pertumbuhan ekonomi bisa menyerap 300.000 angkatan kerja baru. Kini, daya serap itu tinggal 200.000. Itu sebabnya, pertumbuhan ekonomi 5,5 persen (2006) hanya menyerap 1,1 juta orang. Padahal, angkatan kerja baru mencapai dua juta orang sehingga pengangguran terbuka meningkat dari 10 juta menjadi 10,9 juta. Penyebabnya, industri kita kian capital intensive daripada labor intensive.
Dengan demikian, meningkatnya pengangguran terbuka akan menciptakan jurang perbedaan pendapatan. Pada titik ini agaknya kita kembali ke isu klasik trade off antara pertumbuhan dan ketimpangan pendapatan. Kurva yang kita hadapi pun mirip, yakni kurva U, sebagaimana tesis Simon Kusnetz (1955).
Profesor Boediono telah membuka ruang diskusi isu strategis baru, tentang pertautan antara ekonomi dan demokrasi. Sambil terus mendorong kerja keras untuk mencapai pertumbuhan ekonomi rata-rata tujuh persen—yang tampaknya seperti jalan terjal—barangkali kita perlu melonggarkan waktu tunggu, tidak sembilan tahun untuk menuju "zona aman", tetapi lebih panjang. Bukannya pesimistis, tetapi bertambahnya angka pengangguran kita akhir-akhir ini cukup rawan menciptakan dampak negatif eforia demokrasi, yang pasti berpotensi menghambat laju pertumbuhan ekonomi.
Tony Prasetiantono Peneliti Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik (PSEKP) UGM; Chief Economist BNI
No comments:
Post a Comment