Monday, May 28, 2007

Perekonomian Dua Wajah?

Ada dua pertanyaan dalam tiga minggu terakhir cukup menggelitik. Pertama, apakah krisis keuangan atau krisis ekonomi akan segera menghampiri kita kembali? Kedua, apakah perkembangan ekonomi sedemikian suram sebagaimana tercermin dari sektor riil yang mandeg atau mengalami stagnasi?

Keyakinan yang tinggi bahwa kita akan mengalami kembali krisis seperti 1997-1998 dilontarkan beberapa pemerhati atau analis. Hujah utama yang melandasi keyakinan mereka ialah arus modal jangka pendek atau "uang panas" yang masuk deras ke Indonesia sudah mencapai jumlah dan porsi yang mengkhawatirkan. Krisis bakal meledak jika suatu waktu arus modal jangka pendek itu tiba-tiba hengkang dari Indonesia.

Kekhawatiran itu beralasan? Bagaimanapun kita harus selalu mewaspadai gerak-gerik arus modal "tak berkaki" ini. Namun, untuk mengatakan kondisi sekarang sangat mirip dengan keadaan menjelang krisis sepuluh tahun lalu, rasanya amat berlebihan, masih jauh api dari panggang.

Sepuluh tahun lalu, utang luar negeri pemerintah dan swasta yang jatuh tempo kurang dari setahun ditambah klaim jangka pendek lainnya lebih besar dari cadangan devisa kita kala itu. Kini, jumlah dana yang sewaktu-waktu dengan cepat berpotensi dialihkan ke luar negeri tak sampai separuh dari cadangan devisa. Dana jangka pendek itu di antaranya dalam bentuk Surat Utang Negara (SUN) sekitar Rp 80 triliun dan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) sekitar Rp 40 triliun. Katakanlah dana asing yang tertanam di pasar saham sebesar Rp 10 triliun, maka seluruh dana portofolio yang bisa dikategorikan sebagai hot money berjumlah Rp 130 triliun atau setara 15 miliar dollar AS.

Jika pun kita tambahkan dengan utang pemerintah dan swasta yang jatuh tempo yang keseluruhannya, katakanlah, berjumlah 5 miliar dollar AS, maka total klaim jangka pendek masih belum mencapai separuh dari cadangan devisa yang dewasa ini telah mencapai lebih dari 50 miliar dollar. Jangan lupa masih akan ada tambahan pasokan valuta asing dari utang baru pemerintah, baik dari negara dan lembaga donor maupun dari penerbitan obligasi di pasar modal internasional.

Tak bisa dipungkiri pula bahwa struktur cadangan devisa kita kian hari bertambah kuat. Ambil contoh tahun 2006, sebesar 64 persen pertambahan cadangan devisa berasal dari surplus akun semasa (current account), yang tak lain merupakan selisih positif antara ekspor barang dan jasa dengan impor barang dan jasa. Ini menandakan surplus senilai 9,6 miliar dollar AS pada tahun 2006 ini merupakan sumbangan riil dari kegiatan ekonomi produktif dan kucuran keringat seluruh pelaku ekonomi.

Kita menyadari, peningkatan ekspor yang cukup tinggi pada tahun 2006 terutama ditopang kenaikan tajam sejumlah komoditas berbasis sumber daya alam. Bagaimanapun, kenaikan ini nyata-nyata telah memperkokoh struktur cadangan devisa.

Peningkatan cadangan devisa sebesar 15 miliar dollar AS tahun lalu selebihnya disumbangkan oleh akun modal dan keuangan (capital & financial account) sebanyak 16,3 persen dan selisih perhitungan (errors and omissions) sebesar 19,7 persen. Item terakhir patut ditengarai sebagai murni hot money, karena penggunaannya tak terlacak oleh otoritas moneter (Bank Indonesia) atau tergolong sebagai non-underlying transactions.

Jika kita telusuri lebih rinci, tak seluruh capital & financial acount merupakan dana jangka pendek. Bahkan, ternyata pada tahun 2006 investasi langsung, diyakini bermotif jangka panjang, melampaui investasi portofolio, masing-masing 7,5 miliar dollar AS dan 5,7 miliar dollar AS. Kecenderungan perbaikan dalam transaksi modal sudah berlangsung sejak 2005.

Kinerja transaksi modal yang membaik secara kuantitas maupun kualitas ditambah peningkatan surplus akun semasa inilah yang menjelaskan mengapa cadangan devisa meningkat pesat dalam satu tahun terakhir, sekalipun 2006 kita telah mempercepat pelunasan utang kepada Dana Moneter Internasional dalam jumlah yang tergolong besar, sekitar 7 miliar dollar AS.

Sektor Riil Mandeg?

Secara sederhana perekonomian bisa dikelompokkan ke dalam dua sektor, yakni sektor riil dan keuangan. Sangat menyesatkan kalau dikatakan sektor riil mandeg atau mengalami stagnasi, sementara sektor keuangan melaju pesat.

Jika bepergian dengan moda angkutan udara, dengan kasat mata kita menyaksikan di hampir semua bandara penuh sesak penumbang, dan hampir semua tempat duduk pesawat terisi. Industri penerbangan, sektor riil.

Tengok pula peningkatan jumlah pelanggan telepon seluler yang spektakuler. Pertumbuhan triwulanan sektor telekomunikasi sudah cukup lama selalu di atas 20 persen per tahun. Industri telekomunikasi juga sektor riil. Saksikan pula pertumbuhan gedung perkantoran dan pusat perbelanjaan di berbagai kota besar. Ini pun pertanda geliat sektor riil.

Jadi perkembangan sektor riil jauh dari kesan mandeg, terutama kalau kita hanya membatasi pada jenis-jenis kegiatan atau sektor-sektor jasa di atas. Selama kurun waktu 2001-2006, keseluruhan sektor jasa (sektor non-tradable) -- yang merupakan bagian dari sektor riil -- tumbuh rata-rata di atas 6 persen. Bahkan tahun 2005 pertumbuhan sektor jasa mencapai 8 persen. Walau setahun berikutnya sedikit turun menjadi 7,4 persen, namun pada triwulan pertama 2007 kembali naik menjadi 8,3 persen. Bukankah pencapaian tersebut secara nominal cukup mengesankan?

Kita tentu tak boleh cepat puas. Kegiatan-kegiatan di sektor non-tradable yang maju cukup pesat, sayangnya, tak bisa menjawab tantangan besar kita, penciptaan lapangan kerja baru dan pengurangan jumlah penduduk miskin.

Tantangan ini akan lebih bisa dijawab kalau sisi lain dari sektor riil -- yakni sektor tradable, lebih khusus lagi sektor pertanian dan sektor industri manufaktur -- melaju lebih cepat. Selama periode 2001-2006, pertumbuhan rata-rata sektor tradable hanya di bawah empat persen. Memasuki tahun 2007 ini, sektor tradable masih belum menunjukkan geliat sebagaimana terlihat dari pertumbuhan pada triwulan pertama hanya 3,9 persen. Seraya mulai muncul tanda cukup menggembirakan pada kinerja industri manufaktur yang tumbuh 5,6 persen pada triwulan I-2007, sektor pertanian justru mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif) sebesar 0,5 persen.

Makna di Balik Data

Apakah perkembangan cukup positif sebagaimana ditunjukkan data resmi Badan Pusat Statistik (BPS) maupun Bank Indonesia mencerminkan realitas kehidupan masyarakat dalam keseharian? Apakah ada konspirasi pemerintah dan BPS dengan merekayasa data yang kebetulan belakangan ini menunjukkan kecenderungan membaik?

Punulis sama sekali tak punya informasi tentang pemanipulasian data tersebut. Sebatas pengetahuan dan informasi yang sedikit penulis miliki, rasanya data-data yang belakangan ini dikeluarkan BPS masih bisa dijelaskan dengan akal sehat dan bisa dikonfirmasikan lewat observasi langsung. Ikhwal perbaikan yang terjadi masih belum menyentuh lapisan terbesar masyarakat, agaknya kita juga sepakat.

Tinggal sekarang bagaimana agar perbaikan yang telah terjadi bisa terus dipertahankan untuk menggapai perbaikan yang lebih berarti lagi. Dalam kaitan ini, sepatutnya para penentu kebijakan tak berkomentar dengan seleranya sendiri. Seperti, misalnya, komentar Gubernur Bank Indonesia yang mengatakan bahwa nilai tukar yang paling tepat adalah Rp 9.000 per dollar AS (Kompas, 23 Mei 2007, hal.17). Tak ayal, sehabis komentar tersebut, nilai tukar rupiah mendadak melorot kembali.

No comments: