Thursday, May 31, 2007

Kebijakan Relaksasi Perbankan

Seakan gemas dengan kinerja perbankan konvensional dalam menyalurkan kredit, Bank Indonesia (BI) mengeluarkan kebijakan yang memberikan insentif tambahan untuk mendorong fungsi intermesiasi perbankan.

Memang kemampuan perbankan konvensional dalam menghimpun dana masyarakat tidak diragukan lagi, namun dana masyarakat yang begitu besar terkumpul di perbankan konvensional sebagian besar tidak dapat disalurkan dalam bentuk kredit.

Hanya sekitar 40 persen dari dana masyarakat tersebut yang dapat disalurkan ke sektor rill dalam bentuk kredit, sedangkan selebihnya diinvestasikan dalam bentuk surat berharga. Salah satu surat berharga yang menjadi favorit kalangan perbankan karena risikonya yang nihil adalah Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Hal ini tetntu menambah gemas BI karena semakin besar dana perbankan yang dipakai membeli SBI berarti semakin besar pula bunga yang harus dibayar BI.

Hebatnya lagi lemahnya kemampuan menyalurkan kredit, masih ditambah dengan lemahnya kemampuan menjaga kualitas kredit. Dari 40 persen dana masyarakat yang disalurkan kembali ke masyarakat dalam bentuk kredit, sekitar tujuh persennya tergolong bermasalah. Angka ini jauh lebih besar bila diperhitungkan pula kredit bermasalah yang telah dipindahkan dan ditangani BPPN beberapa tahun yang lalu.

Sebagian pengamat optimistis kebijakan relaksasi akan efektif mendorong berjalannya fungsi intermediasi perbankan. Namun sebagian yang lain meragukan efektivitasnya, mengingat belum bergeraknya sektor riil. Rendahnya kemampuan menyalurkan kredit ini sebenarnya juga meresahkan sebagian kalangan perbankan. Risk adjusted return dalam menyalurkan kredit untuk membiayai bisnis nasabah, dipandang masih terlalu besar, sehingga sebagian kalangan perbankan memilih menyalurkan dalam bentuk kredit konsumen semisal kredit pemilikan motor.

Itu sebabnya, meski BI terus mendorong perbankan untuk menyalurkan kredit untuk usaha produktif, namun kredit konsumen masih dipandang lebih cocok oleh kalangan perbankan. Dengan nominal kredit konsumen yang relatif kecil, tidak heran bila secara keseluruhan kemampuan perbankan konvensional hanya berkisar 40 persen.

Sebagian kalangan perbankan berpendapat masalahnya bukan pada perbankan, tapi dunia usaha yang memang tidak mampu menyerap kredit. Benarkah dunia usaha tidak mampu menyerap kredit? Kinerja perbankan syariah membantah hal ini. Fungsi intermediasi berjalan secara optimal. Seluruh dana masyarakat yang dihimpun perbankan syariah disalurkan kembali ke masyarakat dalam bentuk pembiayaan. Hebatnya lagi, hanya 4,5 persen dari pembiayaan itu yang bermasalah.

Begitu hebatkah prinsip syariah sehingga kinerja perbankan syariah sangat berbeda dengan perbankan konvensional? Ternyata fungsi intermediasi perbankan syariah di Malaysia tidak sehebat di Indonesia. Industri perbankan syariah di Malaysia hanya mampu menyalurkan 50 persen dalam bentuk pembiayaan dari dana yang dapat dihimpun dari masyarakat. Bagaimana kita dapat menjelaskan hal ini?

Ternyata kebijakan bank sentrallah yang mendorong perbedaan itu. Bank Negara Malaysia membayar return yang sama untuk setiap kelebihan dana yang ditempatkan perbankan baik konvensional maupun syariah, sehingga perbankan syariah berperilaku sama dengan perbankan konvensional dalam hal memiliki kelebihan likuiditas.

Sedangkan BI membayar return yang sangat kecil untuk kelebihan dana perbankan syariah yang ditempatkan dalam bentuk Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI), dan membayar return yang tinggi dua kali lipat atau lebih dibanding perbankan konvensional yang membeli SBI.

Return yang rendah bagi perbankan syariah inilah yang mendorong perbankan syariah untuk menyalurkan seluruh dana masyarakat kembali ke dunia usaha dalam bentuk pembiayaan. Alhamdulillah, hanya sedikit yang bermasalah.

Sepintas memang terasa unik. Untuk mendorong perbankan syariah menyalurkan pembiayaan agar fungsi intermediasinya optimal, BI memberikan disinsentif berupa return yang kecil. Sedangkan untuk mendorong perbankan konvensional menyalurkan kredit, BI memberikna insentif berupa program relaksasi.

Perbankan syariah tentu tidak perlu meminta perlakuan yang sama dengan perbankan konvensional, karena memang masing-masing sistem mempunyai mekanisme kerja yang berbeda. BI pun tidak menganut equal treatment dalam mengembangkan kedua sistem perbankan ini, namun yang digunakan adalah fair treatment.

Pertanyaannya, fair-kah memberikan disinsentif untuk mendorong perbankan syariah menyalurkan kelebihan dananya, dan di pihak lain memberikan insentif untuk mendorong perbankan konvensional menyalurkan kelebihan dananya? Dalam hal kebijakan relaksasi yang memberi insentif itu juga diberlakukan untuk perbankan syariah, apakah kebijakan itu yang diperlukan perbankan syariah? Bukankah fungsi intermediasi perbankan syariah telah berjalan dengan baik?

Yang diperlukan perbankan syariah adalah kemudahan memperluas akses agar masyarakat dapat mempunyai pilihan bahkan di setiap outlet perbankan konvensional. Akses inilah yang akan mendorong naiknya penghimpunan dana masyarakat, dan sebagaimana telah terbukti disalurkan seluruhnya kembali ke masyarakat. Ini pula yang mendorong BI memulai program akselerasi perbankan syariah.

Bila akses dibuka demikian luasnya, yang diperlukan adalah pengaturan dan pengawasan syariah untuk menjaga kepatuhan syariah. Di sinilah peran Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI dan Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang ditempatkan di masing-masing lembaga keuangan syariah menjadi sangat penting. Kerja keras BI, DSN MUI, dan tentunya kalangan perbankan syariah telah menjadikan Indonesia sebagai pemain penting dalam industri ini. Patut dicatat, hal itu semua terjadi sejak 1992 tanpa adanya UU Perbankan Syariah.

(Adiwarman A Karim )

No comments: