Monday, July 23, 2007

Negara Dinilai Berstandar Ganda
CSR untuk Membangun Hubungan Batin

Jakarta, Kompas - Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Indonesia Arif Siregar mempertanyakan penerapan secara wajib tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility hanya bagi perusahaan yang mengelola sumber daya alam.

"Mengapa Undang-Undang Perseroan Terbatas (UU PT) hanya menyatakan eksplisit kewajiban CSR bagi perusahaan yang mengelola sumber daya alam. Apa industri lain tidak perlu? Kalau begitu, berarti negara menerapkan standar ganda dong," ujar Arif, Minggu (22/7) di Jakarta.

Adanya kewajiban itu, lanjut Arif, justru berpotensi mengerdilkan maksud dan tujuan diadakannya CSR. Ia khawatir justru perusahaan tambang akan memperkecil anggaran CSR sekadar memenuhi ketentuan.

"Sebenarnya selama ini tanpa disuruh pun perusahaan tambang sudah melakukan CSR karena kami masuk ke wilayah terpencil yang infrastrukturnya minim. Jadi, seluruh fasilitas umum harus dibangun," kata Arif.

Ketua Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia Jeffrey Mulyono menyayangkan kewajiban CSR yang dibuat tanpa perencanaan. "Apa sudah dilakukan kajian akademis? Terus terang kami sudah minta agar CSR itu jangan jadi kewajiban, tetapi usul itu cuma ditampung," ujar Jeffrey.

Kalaupun CSR telanjur dimasukkan sebagai kewajiban dalam UU PT, kata dia, tidak perlu memasukkan ukuran kuantitatif. "Cukup dinyatakan bahwa perusahaan diwajibkan menganggarkan CSR," ujar Jeffrey.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Andi Mattalatta mengemukakan, kewajiban CSR dibuat untuk membangun hubungan batin yang saling membantu antara perusahaan dan masyarakat sekitar. "Karena itu, banyak rambu-rambu yang harus diatur dalam peraturan pelaksanaannya nanti," ujar Andi di sela-sela kunjungan kerja Wakil Presiden Jusuf Kalla di Malaysia, Sabtu.

Andi mengemukakan, meskipun dana CSR harus masuk sebagai biaya perusahaan, perhitungan biaya itu harus layak. "Jangan semua dihitung sebagai biaya, akhirnya seolah-olah untungnya tidak ada sehingga tidak ada pajak ke negara," ujarnya.

Dalam peraturan pemerintah yang akan dibuat untuk aturan pelaksanaan UU, menurut Andi, tidak akan ada penegasan aturan mengenai besaran (persentase). Patokannya kelayakan dan kepantasanya dibandingkan keuntungan perusahaan.

"Ukuran kelayakannya ada dua. Pertama, kebutuhan masyarakat di lingkungan sekitarnya. Kedua, keuntungan yang diperoleh dari usahanya di sekitar wilayah itu," ujarnya.

Mengenai sanksi jika CSR tidak dilaksanakan, takkan diatur dalam PP karena sudah diatur dalam UU Lingkungan Hidup dan UU Tenaga Kerja.

Akan tetapi, Pasal 74 Ayat 3 UU PT yang baru, disebutkan bahwa perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban CSR dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan. (DOT/INU)

No comments: