Kemiskinan di Ibu Kota
Hak Warga Negara Vs "Kedermawanan"
Maria Hartiningsih
"Rumah" Dewi dengan keempat anaknya adalah sebuah ruangan berukuran 1,5 meter x 3 meter, serta beralas dan berdinding kayu bekas. Tinggi ruangan itu sekitar 150 sentimeter. Pemandangannya langsung ke Sungai Ciliwung yang airnya mengalir deras berwarna coklat tua.
Dua pertiga bagian dari ruangan itu disangga konstruksi bambu yang menjorok ke sungai. "Waktu banjir besar, airnya sampai ke atap," kata Dewi. "Semuanya ditinggal waktu ngungsi," lanjutnya.
"Rumah" yang disewa Rp 150.000 per bulan sejak setahun lalu itu berhadapan dengan ruangan lain berukuran lebih kurang sama, dipisahkan lorong yang lebarnya tak lebih dari setengah meter persegi.
Untuk mencapainya harus melewati lorong panjang, diterangi cahaya yang datang dari mulut lorong yang terbuka langsung ke sungai. Rumah Dewi berada di lantai atas, dihubungkan tangga kayu dengan kemiringan hampir 90 derajat.
Di bawah tangga itu Dewi melakukan pekerjaannya, mencuci baju tetangganya yang kondisi ekonominya juga subsisten. Penghasilannya sekitar Rp 15.000 per hari. Ia dan keempat anaknya meninggalkan rumah mereka 3,5 tahun lalu ketika suaminya, seorang sopir bajaj, yang kemudian bekerja di pabrik, menikah lagi.
Direduksi
Kemiskinan mewajah pada ratusan keluarga yang bermukim di bantaran kali di daerah Bukit Duri, meski dalam banyak hal pengalaman perempuan seperti Dewi memperlihatkan wajah kemiskinan yang lebih luas. Menurut survei Sanggar Akar, lebih dari 65 persen penduduk di wilayah itu memiliki kartu tanda penduduk (KTP) Jakarta, 32,97 persen sisanya belum memiliki KTP karena faktor usia.
Para ahli mendefinisikan kemiskinan sebagai ketiadaan akses pada hal-hal yang vital dalam hidup. Kemiskinan absolut berarti tak punya akses kepada sumber daya dasar yang menopang kehidupan, seperti air bersih, tanah, rumah yang layak, benih (bagi petani), makanan bergizi, pendidikan, pelayanan kesehatan, dan lingkungan yang sehat.
Dengan demikian, kemiskinan absolut tak bisa direduksi dengan penghitungan pendapatan yang dibuat lembaga-lembaga internasional, yakni dua dollar sehari, atau asupan kalori saja. Angka-angka itu menegasikan inflasi dan kenaikan harga yang meroket, sementara pendapatan tidak bergerak.
Tidak ada data yang akurat tentang besaran pendapatan warga Jakarta. Paul McCarthy dari Bank Dunia dalam Global Report (2003), mengutip sebuah lembaga survei di enam kota besar di Indonesia, menulis, 22 persen penduduk kota hidup dengan biaya kurang dari Rp 350.000 per bulan pada tahun 2001. Sekitar 20 persennya hidup dengan sekitar Rp 350.000 sampai Rp 500.000.
Akan tetapi, menyatakan mereka yang hidup dengan pendapatan di bawah Rp 500.000 per bulan sebagai "miskin" juga terlalu menyederhanakan persoalan karena tidak menghitung biaya perumahan dan jumlah keluarga.
Kendati begitu, tingkat kemiskinan meningkat dalam konsep kerentanan terhadap kemiskinan sebagai dampak krisis ekonomi. Bank Dunia mencatat, sekitar 50 persen rumah tangga di Indonesia tergolong rentan terhadap kemiskinan.
Di kota, tingkat kerentanan itu diperkirakan sekitar 29 persen, jauh lebih rendah dari kawasan pedesaan yang 59 persen. Data ini menjelaskan mengapa semakin banyak orang pergi ke kota besar untuk mengais rezeki yang semakin sulit di desa dan di kota-kota kecil.
Paradoks
DKI Jakarta merupakan provinsi terkaya di Indonesia dan berada di peringkat tertinggi Indeks Pembangunan Manusia dalam Laporan Pembangunan Manusia Indonesia tahun 2004. Meski UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sudah diterapkan, berbagai data memperlihatkan masih 65 persen peredaran uang di Indonesia menumpuk di Jakarta.
Bisa dipahami kalau kota ini menjadi semacam tempat "pengungsian" dari kehidupan yang menekan di tempat lain. Gemerlap Jakarta menjadi seperti lampu neon yang menarik laron. Laju pertumbuhan penduduknya jauh lebih tinggi dibandingkan data resmi, menjadikan megacity terbesar di Asia Tenggara ini penuh paradoks mulai tahun 1970-1980, ketika proses industrialisasi masif dimulai.
Mereka yang tergolong kaya bisa membayar makanan sepiring seharga ratusan ribu rupiah, sementara ribuan orang lainnya memeras keringat untuk Rp 10.000 sehari. Yang satu menguruskan badan dengan biaya jutaan rupiah, sementara ribuan anak tak bisa makan tiga kali sehari.
"Waktu harga beras Rp 5.000 berat sekali rasanya," sambung Dewi, yang merasakan biaya hidup berlipat-lipat beratnya setelah beberapa kali kenaikan harga bahan bakar minyak, tertinggi pada tahun 2005.
"Saya berusaha menekan biaya makan supaya anak-anak bisa sekolah. Kami makan dua kali sehari, pagi dan sore. Yang penting kenyang," papar Dewi, menunjukkan betapa gizi merupakan sesuatu yang mewah.
"Si bungsu…," Dewi menunjuk anak laki-laki berusia lima tahun di jalanan, "biasa makan nasi putih saja, kadang dengan kerupuk atau royko. Kalau kehabisan, kami beli nasi Rp 1.000 dibagi tiga anak yang kecil-kecil."
Standar pendapatan dengan patokan angka juga menegasikan riwayat kemiskinan individu, dengan seluruh rasa yang menyertainya, selain menyederhanakan persoalan penggusuran yang terjadi setelah reformasi.
Isnu Handono dari Paguyuban Warga Korban Penggusuran mengatakan, sampai tahun 2003 sedikitnya 20.000 orang di 16 lokasi di Jakarta kehilangan tempat tinggal akibat penggusuran paksa.
Azas Tigor Nainggolan dari Forum Warga Kota Jakarta menambahkan, hingga tahun 2006 terjadi 385 penggusuran pedagang kaki lima, dengan korban sekitar 50.750 orang, ditambah 210 penggusuran permukiman dengan korban 31.500 keluarga.
Pemerintah Provinsi DKI memoles apa yang disebut sebagai "borok", yakni daerah-daerah kumuh di kota dan meminta pihak swasta "memodernisasi" kawasan itu dengan bangunan-bangunan modern pusat konsumsi. Tanah Jakarta seperti tak bisa bernapas, bahkan sungai pun mengecil, dipenuhi bangunan tinggi, membuat banjir tak terkendali dan wabah penyakit infeksi meruyak.
Daerah bantaran sungai seperti tempat tinggal Dewi merupakan wilayah yang rawan digusur. Padahal, seperti dikatakan Bu Namah (67), ia sudah mendiami wilayah itu sejak 60 tahun lalu. "Waktu itu masih jalan setapak dan kalinya kagak pernah banjir," tuturnya.
Kenyataan ini seperti ironi jika dihadapkan pada pernyataan pejabat tentang komitmen memberantas kemiskinan. Sebaliknya, mereka terus menciptakan kambing hitam dan stigma, membuat bukan kemiskinan yang harus dihadapi, tetapi orang miskin.
Kriminalitas senantiasa dikaitkan dengan kelompok ini. Padahal, isunya adalah lapangan kerja bagi kelompok urban tanpa keterampilan, di samping semakin terpinggirnya penduduk asli.
Isu panas
Kemiskinan menjadi isu panas dalam setiap pertarungan politik. Atas nama kemiskinan, politisi menebar janji. Badan Pusat Statistik tahun 2002 mencatat, 12,5 persen penduduk Jakarta termasuk kategori miskin.
Riset lembaga swadaya masyarakat menyebutkan sekitar 2,8 juta penduduk Jakarta bermukim di 490 wilayah yang dikategorikan sebagai "kantong kemiskinan". Data penduduk bervariasi, antara 7,8 juta sampai 12,5 juta, tergantung metodologi yang digunakan.
Akan tetapi, bagi orang-orang seperti Dewi, martabat manusia lebih menjadi pertimbangan dalam hidup. "Kalau hitungannya ekonomi, mungkin kami ini miskin," sergahnya. "Tetapi kami tidak merampas hak orang lain. Makanan kami, sesederhana apa pun, halal. Jadi tidak perlu malu."
Dalam bahasa yang sedikit berbeda, Bu Namah juga menolak istilah itu. "Kalau bilang miskin, nanti miskin terus," ujar perempuan yang berjualan pisang goreng dan aneka makanan untuk membantu pendidikan cucunya ini.
Istilah "pemberdayaan" yang membuat si "miskin" sebagai obyek terasa tolol ketika berhadapan dengan semangat juang orang-orang seperti Dewi. Namun, ia juga tahu artinya perampasan hak oleh perlakuan tidak adil, sesuatu yang hampir tak pernah ditanyakan para perencana kebijakan kepada mereka.
"Saya tak pernah dapat jatah beras miskin dan kartu keluarga miskin (gakin) untuk berobat," ujarnya, mengungkapkan ruwetnya situasi di lapangan kalau menyangkut "bantuan".
Apa yang dicuri dari keadilan tak pernah dapat dibayar oleh derma, begitu kata orang bijak. Kebanyakan politisi yang mengincar kursi kekuasaan bermental "penderma". Kalaupun kemudian memenuhi janji-janjinya, mereka menganggapnya sebagai prestasi.
Mereka lupa bahwa itulah yang harus dikembalikan dari apa yang telah lama dirampas dari kaum miskin: hak-hak sebagai warga negara.
No comments:
Post a Comment