Rizal Ramli
NYARIS tidak ada kasus sejenis di dunia, dimana satu kelompok ekonom berkuasa selama hampir 40 tahun nyaris tiada henti dari 1966-2006, menentukan strategi dan kebijakan ekonomi suatu negara.
Indonesia telah mengalami pergantian presiden 5 kali sejak tahun 1966, perubahan sistem dan struktur politik, pergantian pemimpin sipil maupun militer, reformasi tentara, tetapi pelaku perumus kebijakan ekonomi (Mafia Berkeley) nyaris tidak berubah selama 40 tahun.
Tidak aneh tidak ada terobosan inovatif dalam strategi dan kebijakan ekonomi sehingga Indonesia semakin ketinggalan dibandingkan negara-negara besar lainnya di Asia.
Kelompok Mafia tersebut dipersiapkan secara sistematis oleh kekuatan luar Indonesia selama sepuluh tahun sebelum berkuasa (1956-1965) sebagai bagian dari strategi perang dingin menghadapi kekuatan progresif dan revolusioner di kawasan Asia.
Kelompok tersebut dikenal dengan sebutan “Mafia Berkeley” karena kebanyakan dari generasi pertamanya lulusan Program Khusus di Universitas Berkeley, California. Di kemudian hari, alumnus dari universitas lain bergabung dalam kelompok ini, tetapi tetap menganut garis strategis yang sama. Padahal para mahasiswa Universitas Berkeley tahun 1960an terkenal progresif dan mayoritas anti perang Vietnam.
Tetapi program untuk Mafia Berkeley dirancang khusus untuk orang Indonesia yang dipersiapkan untuk dikemudian hari menjadi bagian dari hegemoni global Amerika. Disebut “Mafia”, mengambil ide dari organisasi kejahatan terorganisir di Amerika, karena mereka secara sistematis dan terorganisir menjadi alat dari hegemoni dan kepentingan global di Indonesia.
Segera setelah kejatuhan Presiden Soekarno, kelompok Mafia Berkeley mengabdi selama 32 tahun kepada rezim otoriter Soeharto. Banyak dari anggota dan muridnya yang menduduki posisi-posisi kunci dalam bidang ekonomi dan menjadi saluran strategi dan kebijakan yang dirumuskan oleh IMF, Bank Dunia dan USAID.
Mafia Berkeley sekaligus berfungsi sebagai alat untuk memonitor agar kebijakan ekonomi Indonesia sejalan dan searah dengan kebijakan umum ekonomi yang digariskan oleh Washington. Garis kebijakan ini dikemudian hari dikenal dengan “Washington Konsensus”.
Sekilas program Washington Konsensus tersebut sangat wajar dan netral, namun demikian di balik program tersebut tersembunyi kepentingan negara-negara adikuasa.
Pertama, kebijakan anggaran ketat, selain untuk mengendalikan stabilitas makro dan menekan inflasi, sebetulnya juga dimaksudkan agar tersedia surplus anggaran untuk membayar utang. Bahkan penghapusan subsidi untuk rakyat seperti untuk pendidikan, kesehatan, perumahan, UKM, dipaksakan hanya agar tersedia surplus anggaran untuk membayar utang.
Kedua, liberalisasi keuangan untuk memperlancar transaksi global dan menjamin modal dan dividen setiap saat dapat keluar dari negara berkembang.
Ketiga, liberalisasi industri dan perdagangan memudahkan negara-negara maju mengekspor barang dan jasa ke negara berkembang. Tetapi negara-negara maju sendiri melakukan perlindungan terhadap sektor industri dan pertaniannya melalui kuota, export restraint, subsidi dan hambatan non-tarif.
Keempat, privatisasi atau penjualan aset-aset milik negara dimaksudkan agar peranan negara di dalam ekonomi berkurang sekecil mungkin. Dalam prakteknya program penjualan aset-aset negara tersebut dilakukan dengan harga sangat murah (under-valued) sehingga sering terjadi program privatisasi identik dengan rampokisasi (piratization), seperti diungkapkan Prof. Marshall I. Goldman dari Harvard.
NYARIS tidak ada kasus sejenis di dunia, dimana satu kelompok ekonom berkuasa selama hampir 40 tahun nyaris tiada henti dari 1966-2006, menentukan strategi dan kebijakan ekonomi suatu negara.
Indonesia telah mengalami pergantian presiden 5 kali sejak tahun 1966, perubahan sistem dan struktur politik, pergantian pemimpin sipil maupun militer, reformasi tentara, tetapi pelaku perumus kebijakan ekonomi (Mafia Berkeley) nyaris tidak berubah selama 40 tahun.
Tidak aneh tidak ada terobosan inovatif dalam strategi dan kebijakan ekonomi sehingga Indonesia semakin ketinggalan dibandingkan negara-negara besar lainnya di Asia.
Kelompok Mafia tersebut dipersiapkan secara sistematis oleh kekuatan luar Indonesia selama sepuluh tahun sebelum berkuasa (1956-1965) sebagai bagian dari strategi perang dingin menghadapi kekuatan progresif dan revolusioner di kawasan Asia.
Kelompok tersebut dikenal dengan sebutan “Mafia Berkeley” karena kebanyakan dari generasi pertamanya lulusan Program Khusus di Universitas Berkeley, California. Di kemudian hari, alumnus dari universitas lain bergabung dalam kelompok ini, tetapi tetap menganut garis strategis yang sama. Padahal para mahasiswa Universitas Berkeley tahun 1960an terkenal progresif dan mayoritas anti perang Vietnam.
Tetapi program untuk Mafia Berkeley dirancang khusus untuk orang Indonesia yang dipersiapkan untuk dikemudian hari menjadi bagian dari hegemoni global Amerika. Disebut “Mafia”, mengambil ide dari organisasi kejahatan terorganisir di Amerika, karena mereka secara sistematis dan terorganisir menjadi alat dari hegemoni dan kepentingan global di Indonesia.
Segera setelah kejatuhan Presiden Soekarno, kelompok Mafia Berkeley mengabdi selama 32 tahun kepada rezim otoriter Soeharto. Banyak dari anggota dan muridnya yang menduduki posisi-posisi kunci dalam bidang ekonomi dan menjadi saluran strategi dan kebijakan yang dirumuskan oleh IMF, Bank Dunia dan USAID.
Mafia Berkeley sekaligus berfungsi sebagai alat untuk memonitor agar kebijakan ekonomi Indonesia sejalan dan searah dengan kebijakan umum ekonomi yang digariskan oleh Washington. Garis kebijakan ini dikemudian hari dikenal dengan “Washington Konsensus”.
Sekilas program Washington Konsensus tersebut sangat wajar dan netral, namun demikian di balik program tersebut tersembunyi kepentingan negara-negara adikuasa.
Pertama, kebijakan anggaran ketat, selain untuk mengendalikan stabilitas makro dan menekan inflasi, sebetulnya juga dimaksudkan agar tersedia surplus anggaran untuk membayar utang. Bahkan penghapusan subsidi untuk rakyat seperti untuk pendidikan, kesehatan, perumahan, UKM, dipaksakan hanya agar tersedia surplus anggaran untuk membayar utang.
Kedua, liberalisasi keuangan untuk memperlancar transaksi global dan menjamin modal dan dividen setiap saat dapat keluar dari negara berkembang.
Ketiga, liberalisasi industri dan perdagangan memudahkan negara-negara maju mengekspor barang dan jasa ke negara berkembang. Tetapi negara-negara maju sendiri melakukan perlindungan terhadap sektor industri dan pertaniannya melalui kuota, export restraint, subsidi dan hambatan non-tarif.
Keempat, privatisasi atau penjualan aset-aset milik negara dimaksudkan agar peranan negara di dalam ekonomi berkurang sekecil mungkin. Dalam prakteknya program penjualan aset-aset negara tersebut dilakukan dengan harga sangat murah (under-valued) sehingga sering terjadi program privatisasi identik dengan rampokisasi (piratization), seperti diungkapkan Prof. Marshall I. Goldman dari Harvard.
No comments:
Post a Comment