Saturday, July 28, 2007

Industri rotan Tersisih di Rumah Sendiri

Industri rotan
Tersisih di Rumah Sendiri

hamzirwan dan stefanus osa triyatna

Saat jumpa pers di Jakarta, Kamis (12/7), Menteri Perindustrian Fahmi Idris menceritakan kenangannya tahun 1980-an saat berkunjung ke rumah Bustanil Arifin yang menjabat Menteri Koperasi. Bagaimana dirinya begitu terkesan terhadap produk rotan lokal hingga rela merogoh koceknya meski harganya mahal.

Saat itu saya lihat di ruang tamu Pak Bus ada kursi rotan yang bagus sekali. Namun, meski mahal, ya saya beli juga yang seperti itu karena saya suka," kata Menperin Fahmi Idris.

Kala itu, mebel rotan menggambarkan status sosial pemiliknya. Akan tetapi, kejayaan mebel rotan sudah meredup. Jika pada abad ke-20 mebel rotan selalu menghiasi ruang tamu golongan menengah ke atas, karena harganya yang mahal, kini tidak lagi.

Satu set mebel rotan alam terdiri dari sofa tiga tempat duduk, sofa dua tempat duduk, sofa satu tempat duduk, dan meja sederhana berhias kaca transparan di atasnya, dijual di Klender, Jakarta Timur, paling tinggi harganya Rp 750.000. Di luar negeri, harganya bisa lima kali lipatnya.

Sejauh pengamatan Kompas ketika menelusuri sudut-sudut kota Cairo, Mesir, beberapa pekan lalu, penjualan mebel terutama berbahan baku rotan tampak begitu semarak. Produksi mebel rotan yang berasal dari Indonesia banyak dilirik oleh warga Mesir.

Di pesisir pantai kota Alexandria, misalnya, kursi dan meja rotan digunakan untuk fasilitas restoran maupun hotel. Bahkan, beberapa kursi rotan digunakan untuk duduk-duduk di pinggir pantai Alexandria.

Pemandangan yang sama juga terlihat di kota Cairo. Penjualan mebel rotan juga mulai merambah pusat perbelanjaan besar.

Soal harga, warga Mesir tampaknya memandang mebel rotan memiliki prestise tersendiri. Tak heran, harga mebel rotan di Mesir bisa ditawarkan 8-10 kali lipat dari harga di Indonesia.

Pengusaha mebel Mohamed A Baraka mengatakan, harga sangat identik dengan gengsi. Warga Mesir sangat menggandrungi barang berharga mahal. Padahal, harga itu membengkak karena berdasarkan ongkos pengiriman dan risiko daya beli.

"Semua perabotan ini saya impor dari perajin di Cirebon (Jawa Barat)," kata Baraka.

Harga jual kursi rotan, misalnya, bisa mencapai 500 pound Mesir atau sekitar Rp 800.000 per unit. Padahal, harga pembeliannya dari Indonesia tidak melebihi Rp 100.000 per unit. Sementara meja yang dibeli di Indonesia seharga Rp 150.000 laku dijual seharga Rp 1,8 juta.

Perajin mebel rotan, Ngadiman, asal Sragen, Jawa Tengah, yang kini menekuni mebel berbahan baku eceng gondok pun mengaku kaget. Dari beberapa toko mebel yang sempat disinggahinya di Cairo, harga jual mebel rotan Indonesia relatif tinggi. Bahkan, di toko yang terkenal murah sekalipun mebel rotan dijual lima kali lipat dari harga pembelian di Cirebon.

"Kalau saya lihat, anyaman maupun proses finishing-nya belum sempurna. Tetapi di sini tetap laku dijual dengan harga tinggi. Padahal, kalau perajin di Jawa bisa untung Rp 20.000 saja rasanya sudah luar biasa," ujar Ngadiman.

Apresiasi rendah

Rendahnya penghargaan produk mebel rotan di dalam negeri diakui Ketua Umum Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) Ambar Tjahyono. Kondisi ini semakin diperberat dengan meningkatnya serbuan mebel rotan imitasi.

"Harus diakui persaingan mebel rotan alam semakin ketat akibat serbuan rotan imitasi. Karena itu, kami meluncurkan kampanye The Real Rattan is Indonesia untuk menunjukkan, bahwa rotan itu adalah produk asli Indonesia," kata Ambar.

Dewan Kerajinan Nasional, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, dan pemerintah juga terlibat dalam kampanye ini. Fokus utamanya adalah meningkatkan desain produk mebel rotan nasional agar kembali berjaya di pasar internasional. Selain persoalan desain, kendala lain industri rotan alam nasional untuk berkembang adalah persoalan bahan baku. Sentra produksi rotan alam adalah Kalimantan dan Sulawesi. Kedua pulau ini mampu memproduksi sekitar 250.000-300.000 ton rotan alam setiap tahun.

Meskipun Indonesia memasok hampir 85 persen rotan alam di pasar internasional, industri domestik justru sering berteriak kekurangan bahan baku. Kondisi ini yang menjadi dasar Asmindo untuk melobi pemerintah agar melarang ekspor rotan asalan.

"Salah satu keunggulan Indonesia adalah bahan baku, jadi kami tengah berupaya agar penciptaan nilai tambah produk terjadi di sentra produksi. Setelah industri mebel di sentra produksi terjadi, kami akan melobi pemerintah untuk melarang ekspor rotan asalan," kata Ambar.

Menteri Perindustrian Fahmi Idris pun menanggapinya positif. Menurut Fahmi, sudah saatnya pengusaha domestik berkonsentrasi menciptakan industri yang mampu memberikan nilai tambah di sentra produksi bahan baku.

"Jangan sampai kita selamanya menjadi pengekspor bahan mentah, lalu negara lain yang menikmati keuntungannya. Kami tengah membangun kluster industri rotan di Sulawesi Tengah dan Kalimantan Tengah agar ada peningkatan kompetensi di daerah," kata Fahmi.

Namun, Ketua Asmindo Gorontalo Dahlan Muda yang dihubungi di Gorontalo meminta agar pemerintah tetap memikirkan kondisi di daerah. Dari dalam negeri, pembeli utama adalah industri rotan di Cirebon, Jawa Barat.

Sepinya order dari industri di Jawa menyebabkan pengusaha rotan lebih senang mengekspor langsung rotan asalan. Meski harganya rendah, Rp 4.000 per kilogram untuk rotan asalan dan Rp 8.000 per kilogram untuk rotan setengah jadi, ekspor tetap berjalan.

No comments: