ANALISIS EKONOMI
Tuntutan Pembangunan Infrastruktur
FAISAL BASRI
Jika kita membaca dengan saksama Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2007 dan Perpres No 77/2007, mungkin akan muncul kesan mendua sebagaimana penulis alami. Di satu sisi, kedua peraturan itu menjanjikan era baru dalam pendekatan kebijakan publik. Hal ini terlihat dari pencantuman secara eksplisit prinsip-prinsip utama yang melandasi kebijakan yang diambil.
Kelima prinsip yang menjadi acuan mencerminkan tekad pemerintah untuk menciptakan kepastian hukum, konsistensi, transparansi, dan penyederhanaan peraturan.
Juga mencerminkan komitmen kuat pemerintah untuk memberlakukan seluruh wilayah Indonesia sebagai suatu kesatuan utuh, seraya pada waktu yang bersamaan menunjukkan kesungguhan untuk melaksanakan komitmen internasional.
Perpres No 76/2007 menekankan kesadaran pemerintah untuk tidak sepenuhnya bergantung pada mekanisme pasar (Pasal 7 Ayat 1), mengedepankan maksimalisasi kepentingan nasional (Pasal 7 Ayat 5), mendorong kemajuan pengusaha nasional dan pemberdayaan UMKMK (Pasal 7 Ayat 3 dan Ayat 4), dan menjaga tatanan sosial dan memelihara lingkungan hidup (Pasal 9).
Namun, di sisi lain, masih ada inkonsistensi antara apa yang diharapkan di dalam Perpres No 76/2007 dan rincian isi pada Perpres No 77/2007. Kita masih menemukan banyak kelemahan dari isi paket kebijakan itu. Ada kesan pemerintah gamang menghadapi perbedaan pandangan yang berbau ideologis.
Perpres No 76/2007 dan Perpres No 77/2007 dikeluarkan di tengah meningkatnya sentimen antiasing. Ada kasus perjanjian kerja sama pertahanan dengan Singapura yang dikaitkan dengan perjanjian ekstradisi. Dugaan pelanggaran persaingan tak sehat yang dilakukan PT Indosat dan PT Telkomsel yang kebetulan melibatkan perusahaan Singapura. Kritik sementara kalangan terhadap UU Penanaman Modal yang baru.
Beberapa UU yang berbau liberal atau kerap dituduhkan sebagai agenda kelompok Neoliberal telah ditentang dan diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk dilakukan uji materi karena diyakini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Ternyata MK memenuhi sebagian materi pokok gugatan tersebut.
Dasar batasan kepemilikan
Tak pelak lagi, yang paling banyak mendapat sorotan ialah ketentuan penanaman modal berdasarkan batasan kepemilikan modal asing. Sekalipun Perpres No 76/2007 telah menjabarkan kriteria yang cukup rinci tentang bidang usaha yang terbuka berdasarkan persyaratan, termasuk dalam hal kepemilikan modal asing, masih saja sulit memahami senarai bidang-bidang usaha yang terbuka untuk asing, sebagaimana tertera pada Lampiran II Perpres No 77/2007.
Pertama, batasan maksimal kepemilikan modal asing sangat bervariasi: 25 persen hingga 95 persen. Selama ini yang lazim kita ketahui tentang pembatasan terhadap kepemilikan modal asing adalah maksimal 49 persen dan 99 persen. Ketentuan maksimal 49 persen untuk bidang-bidang tertentu menegaskan, saham mayoritas di atas kertas kendalinya harus berada di tangan warga negara Indonesia.
Ketentuan sebesar maksimal 99 persen memberikan penegasan, tak boleh ada bidang usaha yang sepenuhnya dimiliki warga negara asing. Untuk kasus PT Indosat, misalnya, sekalipun kepemilikan pemerintah minoritas, pemerintah punya opsi istimewa, sehingga saham pemerintah disebut "saham merah-putih".
Di dalam Perpres No 77/2007 kita menjumpai pembatasan modal asing yang maksimal 25 persen, 49 persen, dan 50 persen. Untuk pengusahaan pariwisata alam, kepemilikan asing maksimal 25 persen. Bidang usaha pengusahaan perburuan di taman buru dan blok buru, serta penangkaran/budidaya koral maksimal 49 persen.
Untuk pengusahaan obyek wisata budaya maksimal 50 persen. Muncul pertanyaan, adakah perbedaan mendasar antara maksimal kepemilikan asing sebesar 25 persen, 49 persen, dan 50 persen? Satu-satunya penjelasan yang bisa kita "raba" dari senarai yang tertera pada Lampiran II Perpres No 77/2007 adalah ketentuan maksimal 50 persen kepemilikan asing berlaku untuk bidang-bidang usaha yang berada di sektor kebudayaan dan pariwisata. Ketentuan maksimal 49 persen dijumpai pada bidang-bidang usaha di sektor kehutanan.
Yang lebih sulit lagi dipahami ialah latar belakang pemikiran mengapa bidang-bidang usaha yang terbuka bagi mayoritas kepemilikan asing (di atas 50 persen) sangat bervariasi. Jika variasi untuk kepemilikan minoritas hanya dua (25 dan 49 persen), kepemilikan mayoritas sampai mencapai tujuh (55, 60, 65, 75, 80, 85, dan 99 persen).
Lagi-lagi pola yang terlihat semata-mata berdasarkan bidang. Untuk yang maksimal 55 persen, seluruhnya berada di bawah bidang pekerjaan umum (PU). Untuk yang maksimal 65 persen hampir seluruhnya di bidang kesehatan dan yang maksimal 80 persen seluruhnya berada di sektor keuangan.
Jadi, sangat jelas bahwa pembatasan besaran maksimal kepemilikan asing sangat ditentukan oleh "selera" departemen masing-masing. Artinya, pemerintah tidak memiliki suatu standar baku tentang arti strategis suatu bidang usaha. Dengan kata lain, kita bisa menyimpulkan bahwa tak ada landasan ideologis yang kuat dalam menetapkan mana yang terbuka bagi kepemilikan asing dan seberapa terbukanya.
Tidak diusik
Kedua, karena tidak memiliki landasan ideologis yang kuat, pemerintah tidak akan mengusik perusahaan bermodal asing yang telah beroperasi, sekalipun kepemilikan modalnya telah melampaui ketentuan baru sebagaimana tercantum di dalam Perpres No 77/2007 (Kompas, 6 Juli 2007, halaman 15). Jika memang perpres bertolak dari landasan ideologis dan kepentingan nasional, pemerintah sepatutnya memberlakukan ketentuan baru itu tanpa pandang bulu.
Pemerintah bisa saja memberikan kesempatan kepada pemodal asing sampai waktu tertentu, katakanlah 1 sampai 2 tahun untuk menjual sebagian sahamnya agar memenuhi ketentuan baru. Ketentuan demikian tentu saja tak berlaku bagi bidang-bidang usaha yang kepemilikan asingnya diatur oleh UU tersendiri.
Ketiga, pragmatisme pemerintah juga terlihat kebebasan yang diberikan kepada pemodal asing untuk menguasai hingga 95 persen saham di perusahaan air minum. Menteri PU berhujah, bahwa peluang ini diberikan untuk memperluas pelayanan (Kompas, 6 Juli 2007, hal 15). Semangat yang relatif sangat liberal juga diberlakukan terhadap bidang kelistrikan.
Kenyataan menunjukkan, pelayanan yang sangat terbatas dan buruk tak hanya terjadi pada perusahaan air bersih dan kelistrikan, tetapi juga hampir merata di semua perusahaan milik negara (BUMN) yang menyediakan utilitas (gas), telekomunikasi, dan jasa pelabuhan.
Lantas, mengapa hanya perusahaan air minum dan kelistrikan saja yang diberikan keleluasaan kepada asing untuk menguasai sampai 95 persen saham? Sementara untuk jasa telekomunikasi pada umumnya hanya diperkenankan maksimal 65 persen, bahkan ada yang hanya boleh 49 persen.
Kehadiran dua perpres tak bisa diharapkan dengan serta-merta membuat investasi di Indonesia akan melonjak. Sebagaimana dikemukakan Duta Besar Komisi Uni Eropa di Jakarta, dari segi substansi sebenarnya tak terjadi banyak perubahan mendasar (Kompas, 7 Juli 2007, hal 15). Pendapat senada disampaikan Ketua International Business Chamber Peter G Fanning bahwa persoalan belum selesai dengan dikeluarkannya peraturan baru ini (Kompas, 6 Juli 2007, hal 21).
Daftar bidang usaha yang terinci hanya salah satu dari syarat bagi peningkatan investasi di Indonesia. Kita menunggu langkah yang lebih mendasar untuk meningkatkan daya saing perekonomian.
No comments:
Post a Comment