Rizal Ramli
DALAM menjawab berbagai kegagalan tersebut, anggota Mafia Berkeley biasanya menggunakan alasan klasik yang menyesatkan, yaitu akibat prilaku mantan Presiden Soeharto. Adalah betul bahwa Soeharto penuh KKN, tetapi berbagai kegagalan tersebut tidak dapat dibebankan hanya kepada Soeharto. Mafia Berkeley ikut bertanggung jawab karena merekalah yang merumuskan strategi, kebijakan dan terlibat dalam implementasinya.
Banyak dari berbagai kegagalan tersebut berada pada tataran sangat teknis dan operasional yang tidak dipahami oleh Soeharto. Adalah sangat tidak bertanggungjawab dan tidak ksatria, besedia mejadi pejabat selama 32 tahun, ikut menikmati privileges dan ekses kekuasaan Soeharto, tetapi kemudian menimpakan semua kegagalan dan kesalahan kepada Soeharto, itupun baru berani setelah Soeharto tidak berkuasa.
Menjadi pertanyaan, mengapa Mafia Berkeley gagal membawa Indonesia menjadi negara yang sejahtera dan besar di Asia walaupun berkuasa selama nyaris 40 tahun? Karena strategi dan kebijakan ekonomi Indonesia yang dirancang oleh Mafia Bekeley akan selalu menempatkan Indonesia sebagai subordinasi (sekedar kepanjangan tangan) dari kepentingan global. Padahal tidak ada negara menengah yang berhasil meningkatkan kesejahteraannya dengan mengikuti model Washington Konsensus.
Kemerosotan selama tiga dekade di Amerika Latin (1970-2000) adalah contoh monumental dari kegagalan tersebut. Justru negara-negara yang melakukan penyimpangan dari model Washington Konsensus seperti Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Malaysia, China, dll. berhasil meningkatkan kesejahteran dan memperbesar kekuatan ekonominya. Negara-negara yang berhasil tersebut mengikuti model pembangunan Asia Timur yang memberikan peranan yang seimbang antara negara dan swasta, serta ketergantungan utang yang minimal.
Dua negara Asia, Indonesia dan Philipina yang patuh pada Washington Konsensus, mengalami kemerosotan ekonomi terus-menerus, ketergantungan utang yang permanen, dan ketimpangan pendapatan sangat mencolok.
Subordinasi kepentingan rakyat dan nasional kepada kepentingan global mengakibatkan Indonesia tidak memiliki kemandirian dalam perumusan Undang-Undang, strategi dan kebijakan ekonomi. Indonesia juga tidak memiliki fleksibilitas untuk merumuskan strategi ekonomi karena terpaku pada model generik Washington Konsensus.
Padahal model tersebut dirancang terutama untuk memperjuangkan kepentingan ekonomi global sehingga negara-negara yang mengikutinya justru akan gagal meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.
Hasil tipikal dari model Washington Konsensus adalah siklus terus-menerus dari “krisis ekonomi dan akumulasi utang”, seperti yang terjadi di banyak negara Latin Amerika, Afrika dan Indonesia. Krisis ekonomi biasanya diselesaikan hanya dengan menambah beban utang yang kemudian akan kembali menjadi sumber krisis baru. Namun dari segi kepentingan ekonomi global, krisis ekonomi merupakan peluang untuk memaksa negara yang bersangkutan melakukan liberalisasi ekstrim dan privatisasi ugal-ugalan.
Liberalisasi ekstrim ala Washington Konsensus sangat berbeda dengan keterbukaan bertahap dan penuh persiapan untuk memperkuat kekuatan ekonomi domestik seperti Malaysia, China, Jepang dll. Ketergantungan terhadap utang juga memungkinkan kepentingan global ikut intervensi merumuskan Undang-undang dan Peraturan Pemerintah seperti Undang-undang tentang privatisasi air, BUMN, migas dsb.
Menjadi pertanyaan apakah Mafia Berkeley masih relevan dengan tantangan yang dihadapi Indonesa saat ini? Pengalaman selama nyaris 40 tahun menunjukkan bahwa Mafia Berkeley telah gagal meningkatkan kesejahteraan rakyat, bahkan menghasilkan distribusi pendapatan yang paling timpang, stok utang dalam dan luar negeri yang paling besar, dan landasan struktural dan industri yang sangat rapuh.
Kemungkinan keberhasilan murid dan cucu murid Mafia Berkeley untuk membawa Indonesia keluar dari krisis, meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memperkuat ketahanan ekonomi nasional semakin kecil dalam konteks Indonesia yang demokratis paska kejatuhan Soeharto.
Kemungkinan keberhasilan tersebut sangat kecil karena modus operandi Mafia yang berlandaskan prinsip subordinasi dan kepatuhan global, sangat tidak cocok dengan iklim Indonesia yang demokratis.
Mayoritas murid dan cucu-murid Mafia Berkeley juga tidak memiliki kemampuan leadership dan implementasi yang tangguh karena terbiasa didukung oleh kekuatan otoriter dan perlindungan terus-menerus dari kekuatan global. (Selesai)
DALAM menjawab berbagai kegagalan tersebut, anggota Mafia Berkeley biasanya menggunakan alasan klasik yang menyesatkan, yaitu akibat prilaku mantan Presiden Soeharto. Adalah betul bahwa Soeharto penuh KKN, tetapi berbagai kegagalan tersebut tidak dapat dibebankan hanya kepada Soeharto. Mafia Berkeley ikut bertanggung jawab karena merekalah yang merumuskan strategi, kebijakan dan terlibat dalam implementasinya.
Banyak dari berbagai kegagalan tersebut berada pada tataran sangat teknis dan operasional yang tidak dipahami oleh Soeharto. Adalah sangat tidak bertanggungjawab dan tidak ksatria, besedia mejadi pejabat selama 32 tahun, ikut menikmati privileges dan ekses kekuasaan Soeharto, tetapi kemudian menimpakan semua kegagalan dan kesalahan kepada Soeharto, itupun baru berani setelah Soeharto tidak berkuasa.
Menjadi pertanyaan, mengapa Mafia Berkeley gagal membawa Indonesia menjadi negara yang sejahtera dan besar di Asia walaupun berkuasa selama nyaris 40 tahun? Karena strategi dan kebijakan ekonomi Indonesia yang dirancang oleh Mafia Bekeley akan selalu menempatkan Indonesia sebagai subordinasi (sekedar kepanjangan tangan) dari kepentingan global. Padahal tidak ada negara menengah yang berhasil meningkatkan kesejahteraannya dengan mengikuti model Washington Konsensus.
Kemerosotan selama tiga dekade di Amerika Latin (1970-2000) adalah contoh monumental dari kegagalan tersebut. Justru negara-negara yang melakukan penyimpangan dari model Washington Konsensus seperti Jepang, Taiwan, Korea Selatan, Malaysia, China, dll. berhasil meningkatkan kesejahteran dan memperbesar kekuatan ekonominya. Negara-negara yang berhasil tersebut mengikuti model pembangunan Asia Timur yang memberikan peranan yang seimbang antara negara dan swasta, serta ketergantungan utang yang minimal.
Dua negara Asia, Indonesia dan Philipina yang patuh pada Washington Konsensus, mengalami kemerosotan ekonomi terus-menerus, ketergantungan utang yang permanen, dan ketimpangan pendapatan sangat mencolok.
Subordinasi kepentingan rakyat dan nasional kepada kepentingan global mengakibatkan Indonesia tidak memiliki kemandirian dalam perumusan Undang-Undang, strategi dan kebijakan ekonomi. Indonesia juga tidak memiliki fleksibilitas untuk merumuskan strategi ekonomi karena terpaku pada model generik Washington Konsensus.
Padahal model tersebut dirancang terutama untuk memperjuangkan kepentingan ekonomi global sehingga negara-negara yang mengikutinya justru akan gagal meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.
Hasil tipikal dari model Washington Konsensus adalah siklus terus-menerus dari “krisis ekonomi dan akumulasi utang”, seperti yang terjadi di banyak negara Latin Amerika, Afrika dan Indonesia. Krisis ekonomi biasanya diselesaikan hanya dengan menambah beban utang yang kemudian akan kembali menjadi sumber krisis baru. Namun dari segi kepentingan ekonomi global, krisis ekonomi merupakan peluang untuk memaksa negara yang bersangkutan melakukan liberalisasi ekstrim dan privatisasi ugal-ugalan.
Liberalisasi ekstrim ala Washington Konsensus sangat berbeda dengan keterbukaan bertahap dan penuh persiapan untuk memperkuat kekuatan ekonomi domestik seperti Malaysia, China, Jepang dll. Ketergantungan terhadap utang juga memungkinkan kepentingan global ikut intervensi merumuskan Undang-undang dan Peraturan Pemerintah seperti Undang-undang tentang privatisasi air, BUMN, migas dsb.
Menjadi pertanyaan apakah Mafia Berkeley masih relevan dengan tantangan yang dihadapi Indonesa saat ini? Pengalaman selama nyaris 40 tahun menunjukkan bahwa Mafia Berkeley telah gagal meningkatkan kesejahteraan rakyat, bahkan menghasilkan distribusi pendapatan yang paling timpang, stok utang dalam dan luar negeri yang paling besar, dan landasan struktural dan industri yang sangat rapuh.
Kemungkinan keberhasilan murid dan cucu murid Mafia Berkeley untuk membawa Indonesia keluar dari krisis, meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memperkuat ketahanan ekonomi nasional semakin kecil dalam konteks Indonesia yang demokratis paska kejatuhan Soeharto.
Kemungkinan keberhasilan tersebut sangat kecil karena modus operandi Mafia yang berlandaskan prinsip subordinasi dan kepatuhan global, sangat tidak cocok dengan iklim Indonesia yang demokratis.
Mayoritas murid dan cucu-murid Mafia Berkeley juga tidak memiliki kemampuan leadership dan implementasi yang tangguh karena terbiasa didukung oleh kekuatan otoriter dan perlindungan terus-menerus dari kekuatan global. (Selesai)
No comments:
Post a Comment