BANK Dunia (World Bank) melalui laporannya tentang Worldwide Governance Indicators untuk memperingati 10 tahun krisis keuangan Asia (1997-2007), memberikan pujian setinggi langit atas kemajuan komprehensif yang dicapai Indonesia.
Kemajuan hebat itu meliputi 6 bidang, yakni kebebasan bersuara/berpolitik, kestabilan politik, efektivitas roda pemerintahan, kualitas regulasi, penegakan hukum, dan pemberantasan korupsi.
Dalam laporan ini misalnya, Bank Dunia membanggakan naiknya pendapatan nominal negara. Padahal hampir dapat dipastikan dari tahun ke tahun pendapatan negara memang selalu meningkat sama seperti kenaikan APBN. Sebaliknya, Bank Dunia tidak menyebutkan status pendapatan riil rakyat Indonesia apalagi distribusi ataupun ketertinggalan dari pendapatan riil negara-negara tetangga.
Menurut Bank Dunia, sukses besar Indonesia karena kecakapan pemerintah dalam mengelola makro ekonomi, tapi Bank Dunia lupa menyebutkan kemacetan sektor riilnya. Walhasil, seperti biasanya, Bank Dunia menilai pemerintah Indonesia sudah in the right track.
Pujian ini sebenarnya lagu lama Bank Dunia yang sudah dinyanyikannya selama 40 tahun kepada Indonesia. Sebelum krisispun Bank Dunia memberikan pujian seperti itu. Pujian ini untuk menunjukkan “otoritas” Bank Dunia memberikan penilaian kepada negara nasabah, persis seperti kewenangan guru menilai murid. Hal ini berbeda dengan negara-negara besar yang mendanai dan mengendalikan Bank Dunia yang justru memberikan penilaian terhadap kinerja Bank Dunia. Jelaslah bahwa tangan di atas lebih terhormat dan lebih berkuasa dari tangan di bawah.
Bank Dunia memang harus memuji Indonesia agar terkesan utang yang diberikan berhasil mengangkat kesejahteraan negara pengutang, dan karena itu tidak perlu berhenti “membeli barang-dagangannya”, yang tak lain adalah utang itu sendiri. Karena itu meski proyek-proyek yang didanai utang luar negeri itu sarat korupsi dan gagal, Bank Dunia tetap saja aktif menawarkan utang pada Indonesia. Yang penting Indonesia tetap menambah utang baru, nurut, rajin membayar pokok pinjaman dan bunga.
Pemerintah SBY seharusnya menyadari bahwa pujian gombal itu hanya basa-basi permainan kata yang kurang sesuai dengan kondisi riil ekonomi Indonesia yang sarat dengan kemiskinan, pengangguran dan instabilitas harga sembako.
Sebenarnya pesan apa yang tersirat dari puja-puji beracun Bank Dunia tersebut? Pertama, Indonesia harus tetap menjadi debitor bodoh tetapi setia sehingga bisa disetir. Kedua, sebagai ungkapan terima kasih kepada Indonesia yang telah membantu mempertahankan eksistensi Bank Dunia terutama dari segi finansial dan pengakuan peran Bank Dunia sebagai lembaga penting dunia.
Ketiga, agar Indonesia tetap menjalankan policy yang diarahkan Bank Dunia khususnya melanjutkan utang kepada Bank Dunia serta tetap menganut devisa bebas dengan kurs mengambang. Policy yang terakhir ini diperlukan Bank Dunia sebagai senjata ampuh untuk menakut-takuti kalau Indonesia tidak loyal atau berbuat macam-macam di mata mereka. Keempat, agar pemerintah tetap menggunakan tim ekonomi yang direstui Washington Group.
Kalau saja pemerintah melanggar salah satu pakem di atas, senjata ancaman atau gangguan atau sekurang-kurangnya kritikan pedas yang bisa menakutkan pemerintah dan investor akan mereka gunakan. Dan saya yakin, hal inilah yang paling ditakuti SBY (dan presiden-presiden sebelumnya) sehingga kita semua tersandera oleh bayang-bayang ketakutan kita sendiri.
Situasi ancaman atau tekanan yang menakutkan di atas pernah diceritakan oleh petinggi penting negeri jiran ketika di masa-masa krisis Malaysia yang dipimpin Mahathir Mohamad menolak dibantu IMF. Saat itu kritik dan caci maki diarahkan kepada Malaysia dan Mahathir dengan membandingkan Indonesia yang “cerdas” yang telah meminta atau “memanfaatkan” bantuan IMF. Hasilnya Malaysia selamat dan jaya. Sementara Indonesia terpuruk, bertambah utangnya dan berkurang asetnya. Kini Malaysia, negeri yang relatif kecil dan tidak dipuji Bank Dunia itu telah mampu berinvestasi besar-besaran di Indonesia yang “hebat dan sukses”. Selamat bermimpi!***
No comments:
Post a Comment