Gugatan terhadap Bantuan Likuiditas Bank Indonesia mulai terdengar lagi. Orang menuntut keadilan dari kebijakan yang memurukkan ekonomi Indonesia.
Kita tentunya mendukung upaya menegakkan keadilan. Hanya saja, kita ingin ingatkan agar keadilan diperjuangkan dengan cara-cara yang adil. Jangan keadilan dilakukan dengan cara-cara yang tidak adil.
BLBI merupakan kebijakan yang ditempuh pemerintahan Orde Baru untuk menyelamatkan sistem perbankan nasional. Pilihan saat itu sangat muskil, apakah membiarkan sistem perbankan ambruk karena diserbu nasabah atau diambil langkah darurat untuk menyelamatkannya? Pilihannya ketika itu adalah yang kedua.
Sebagai sebuah kebijakan, keputusan itu tentunya bisa kita pahami, tetapi tidak terlalu mudah untuk diaplikasikan. Apalagi situasinya ketika itu memang chaos. Akibatnya, ratusan triliun rupiah harus disuntikkan untuk menyelamatkan sistem perbankan.
Persoalannya, bagaimana lalu kita mengoreksi kekeliruan dalam pelaksanaan? Apalagi kemudian terjadi peralihan kekuasaan dari Soeharto ke BJ Habibie. Belum lagi ada kepentingan Dana Moneter Internasional yang masuk di sana. Ada keputusan politik yang dikeluarkan MPR untuk menyelesaikannya.
Komplikasi makin terjadi karena berbagai kepentingan lain juga masuk di dalamnya. Kita tentu masih ingat adanya keinginan untuk meredistribusi aset milik konglomerat yang dianggap menerima BLBI.
Semua aset itu kemudian diambil Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Sebagai konsekuensi, pemerintah harus mengambil alih kewajibannya, yang kemudian kita kenal sebagai dana rekapitalisasi perbankan dengan nilai mencapai Rp 600 triliun.
Karena situasinya chaos dan konsep penyelesaian aset tidak pernah dirumuskan jelas, kita tahu keadaan tidak bertambah baik. Aset-aset akhirnya terpaksa dijual obral. Setelah 10 tahun berlalu, kita merasakan betapa mahalnya krisis yang harus kita bayar. Tingkat pengembalian dari dana yang kita kucurkan di bawah 40 persen.
Pertanyaannya, haruskah kita menyesali semua itu? Kita boleh sedih, tetapi tidaklah mungkin kita memutar kembali arah jarum jam. Kita harus terima kenyataan bahwa semua itu sudah terjadi. Dengan ukuran sekarang, semua orang akan menyesal mengapa harus mengobral aset-aset yang ada. Namun, itulah harga yang harus dibayar ketika kita bersikap emosional. Kita larut dalam cara berpikir yang tidak konseptual.
Sekarang bukan saatnya lagi untuk melihat ke belakang. Kita harus melihat ke depan karena tantangan itu ada di sana. Kecuali kepada mereka yang memang tidak kooperatif dan tidak pernah mau menjalankan kewajibannya, kita setuju kasus hukumnya dilanjutkan. Namun, kepada mereka yang sudah menjalankan kewajiban dan kita sudah mendapatkan keputusan hukum, kita tentu harus menghormatinya.
Kita tidak pernah akan bisa keluar dari situasi krisis apabila kita terus berkutat pada persoalan yang sama. Bahkan salah-salah kita terperangkap dalam prasangka yang tidak pernah akan habis-habisnya.
***
No comments:
Post a Comment