Thursday, July 12, 2007

Makna Hakiki Koperasi
Kamis, 12/07/2007

Memaknai gerakan koperasi sebagai soko guru perekonomian nasional, tampaknya kian tidak memicu respek.Paling tidak, hal ini terlihat dari minoritas masyarakat memahami Hari Koperasi setiap 12 Juli

Di sisi lain, pemerintah dan masyarakat sedang terbius oleh sistem ekonomi syariah sehingga terjadilah boom perbankan syariah, dan masyarakat juga antusias menyambutnya dengan persepsi bahwa sistem bagi hasil itu mampu memberikan kontribusi kesejahteraan dan kemakmuran bersama yang lebih berkeadilan. Padahal, jika ditelusuri lebih detail, bahwa prinsip bagi hasil dengan tujuan itu semua tidak jauh berbeda dengan niat mulia gerakan koperasi.

Meski ada tren minoritas atas koperasi dan mayoritas terhadap sistem ekonomi syariah dalam lima tahun terakhir ini, data dari Statistik Perkoperasian 2006 menunjukkan hal yang menggembirakan. Data Depkop menunjukkan bahwa kelembagaan koperasi periode 2004–2005 mengalami perkembangan secara signifikan dengan laju perkembangan sebanyak 4.233 unit (3,2%). Ada empat provinsi dengan peningkatan jumlah koperasi terbesar (di atas 11%) periode 2004–2005, yakni Irian Jaya Barat (32,1%), Bangka Belitung (30,6%), Maluku Utara (12,2%), dan Maluku (11,7%). Sementara provinsi yang mengalami penurunan jumlah koperasi adalah Kepulauan Riau (6,6 %) dan Sulawesi Selatan (5,7%).

Fakta Perkembangan

Perkembangan jumlah koperasi aktif untuk periode yang sama secara nasional, tercatat mengalami peningkatan sebanyak 1.416 unit atau 1,5%.Ada lima provinsi dengan peningkatan jumlah koperasi aktif terbesar (di atas 10%): Irian Jaya Barat (31,9%), Bangka Belitung (26,3%), Maluku Utara (15,4%), Maluku (13,8%), dan Sulawesi Tenggara (10,2%). Selain itu, provinsi dengan penurunan jumlah koperasi aktif secara berturutturut: Yogyakarta (18,3%), Sulawesi Selatan (13,9%),Kepulauan Riau (10,5%), Sulawesi Tengah (9,4%), Lampung (6,5%), Papua (6,3%), NAD (5%), Sulawesi Barat (3,1%),Jawa Tengah (1,9%), dan Sumatera Selatan (0,3%).

Perkembangan jumlah koperasi tidak aktif secara nasional tercatat sebanyak 2.817 unit atau 7,55%. Provinsi dengan peningkatan jumlah koperasi tidak aktif terbesar (di atas 50%) adalah Yogyakarta (111,8%) dan Bali (61,9%). Provinsi yang mengalami penurunan jumlah koperasi tidak aktif adalah Kalimantan Timur (26,4%), Riau (12,1%), Sulawesi Tenggara (9,7%), Banten (6,6%), Jawa Timur (5,6%), Kalimantan Tengah (4%), Nusa Tenggara Barat (2,8%), Sulawesi Utara (2,3 %), dan Gorontalo (0,5%). Di sisi lain, perkembangan jumlah anggota koperasi periode 2004–2005 mengalami penurunan sebanyak 236.269 orang atau 0,86%.

Provinsi dengan penurunan jumlah anggota terbesar adalah: Sumatera Selatan (24,4%),Jawa Tengah (13,9%), Sulawesi Selatan (6,5%), Sulawesi Barat (6,2%), Sulawesi Tengah (4%), Sumatera Utara (3,4%), dan Jambi (2,4%). Meski demikian, terdapat beberapa provinsi yang mengalami perkembangan keanggotaan koperasi yang cukup signifikan. Provinsi dengan peningkatan jumlah anggota terbesar (di atas 13%) adalah: Bengkulu (36,3%), Kepulauan Riau (26,3%), Irian Jaya Barat (19,6%), dan Bali (13,9%).

Kemandirian yang Hakiki

Berkaca kasus ini,bahwa lingkungan keterbukaan dan desentralisasi memberi tantangan dan kesempatan baru membangun kekuatan swadaya koperasi yang ada menuju koperasi yang sehat dan kukuh bersatu. Selain itu, menyambut pergeseran tatanan ekonomi dunia yang terbuka dan bersaing secara ketat, gerakan koperasi dunia telah menetapkan prinsip dasar untuk membangun tindakan bersama. Tindakan bersama itu terdiri atas tujuh garis perjuangan sebagai berikut (Noer Soetrisno, 2003). Pertama, koperasi akan mampu berperan baik kepada masyarakat ketika berjalan sesuai jati dirinya sebagai suatu organisasi otonom, lembaga yang diawasi anggota,dan bila tetap berpegang pada nilai dan prinsip koperasi.

Kedua, potensi koperasi dapat diwujudkan semaksimal mungkin hanya bila kekhususan koperasi dihormati dalam perundangan. Ketiga, koperasi dapat mencapai tujuannya bila keberadaan dan aktivitasnya diakui. Keempat, koperasi dapat hidup seperti layaknya perusahaan lain bila terjadi ”fair playing field”. Kelima, pemerintah harus memberi aturan main yang jelas, tapi koperasi harus mengatur dirinya sendiri di lingkungan mereka (selfregulation).

Keenam, koperasi adalah milik anggota, yang sahamnya menjadi modal dasarnya,sehingga mereka harus mengembangkan sumber dayanya dengan tidak mengancam identitas dan jati diri.Ketujuh,bantuan pengembangan dapat berarti penting bagi pertumbuhan koperasi, tapi akan lebih efektif bila dipandang sebagai kemitraan dengan menjunjung tinggi hakikat koperasi dan diselenggarakan dalam kerangka jaringan. Intinya, apa pun bentuknya, baik ekonomi syariah, ekonomi koperasi, ekonomi Pancasila, dan lainnya tidak akan efektif jika tidak ada sistem yang komprehensif mendukung atas pencapaiannya.

Saat muncul orde reformasi, nasib koperasi ternyata tidak juga membaik. Di era otda, koperasi malah sering dijadikan salah satu lahan untuk memacu pendapatan asli daerah. Berbagai pungutan retribusi pada koperasi justru semakin marak. Dalam situasi seperti itu, koperasi masih dituntut untuk eksis di tengah kerasnya arus masuk modal asing yang kapitalis. Sedihnya, politik ekonomi pemerintah juga kian terjerumus dalam arus kapitalisme. Oleh karena itu, tidak ada salahnya jika pemerintah dituntut untuk lebih peduli pada koperasi agar cita-cita keadilan sosial, kesejahteraan rakyat, dan kemakmuran yang berkeadilan bisa benar-benar tercapai. Selain itu, kemandirian dan profesionalisme gerakan koperasi tidak akan mematikan sistem ekonomi syariah yang kini sedang boom di masyarakat.(*) Fereshti ND Dosen Manajemen Koperasi di UMS Solo


No comments: