Tuesday, July 3, 2007

Jumlah Penduduk Miskin Berkurang
Dirasakan Tak Sesuai dengan Realitas

Jakarta, Kompas - Jumlah penduduk miskin pada Maret 2007 berkurang 2,13 juta orang dibandingkan jumlah penduduk miskin pada Maret 2006. Padahal, garis kemiskinan naik lebih tinggi. Artinya, pendapatan penduduk yang sebelumnya miskin meningkat lebih tinggi dari kenaikan garis kemiskinan dan inflasi.

Badan Pusat Statistik (BPS) di Jakarta, Senin (2/7), mengumumkan, 37,17 juta orang atau 16,58 persen dari 224,328 juta penduduk Indonesia tergolong miskin.

Dengan demikian, jumlah penduduk miskin diperhitungkan berkurang dibandingkan bulan Maret 2006 yang tercatat sebesar 39,30 juta orang atau 17,75 persen dari total penduduk.

Perhitungan kemiskinan tersebut dilakukan BPS berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Panel Modul Konsumsi yang dilakukan pada Maret 2006 dan Maret 2007.

Penduduk dikategorikan miskin jika rata-rata pengeluaran per kapita per bulan berada di bawah garis kemiskinan.

Deputi Kepala BPS Bidang Statistik Sosial Arizal Ahnaf menjelaskan, garis kemiskinan pada Maret 2007 ditetapkan senilai Rp 166.697 per kapita per bulan.

Garis kemiskinan tersebut naik 9,67 persen dibandingkan garis kemiskinan pada Maret 2006 yang tercatat senilai Rp 151.997 per kapita per bulan.

Jumlah penduduk miskin amat dipengaruhi oleh perubahan garis kemiskinan dan perubahan pendapatan. Menurut Arizal, pengurangan jumlah penduduk miskin pada saat garis kemiskinan naik lebih tinggi menunjukkan pendapatan meningkat lebih tinggi dari kenaikan garis kemiskinan tersebut.

"Saya kira ada (penduduk miskin) yang berhasil memanfaatkan peluang naiknya uang beredar di masyarakat dengan adanya BLT (bantuan langsung tunai) tahun 2006 untuk kegiatan produktif sehingga sekarang tidak tergolong miskin lagi," ujar Arizal.

Arizal mengakui, BPS tidak memiliki data yang mencerminkan peningkatan pendapatan tersebut. Dia juga menyebutkan, upah buruh secara riil pada periode Maret 2006-Maret 2007 tidak mengalami kenaikan meskipun nilai tukar petani pada periode itu meningkat dari 101 menjadi 109.

"Kami memang tidak punya data pendapatan yang lebih bisa dicatat pengeluarannya. Jadi diasumsikan terjadi peningkatan pendapatan jika konsumsi (pengeluaran) meningkat," ujarnya.

Ekonom dari Tim Indonesia Bangkit Hendri Saparini menilai, turunnya angka kemiskinan tidak bisa dipercaya karena kenyataan daya beli masyarakat, nilai tukar petani, dan upah buruh justru turun. BLT juga sudah dihentikan, sedangkan bantuan tunai bersyarat belum dimulai.

Sulit dipercaya

Pemerintah juga tidak berhasil menstabilkan harga kebutuhan pokok sehingga beban masyarakat meningkat.

Anggota Komisi XI DPR Drajad H Wibowo juga meyakini penurunan angka kemiskinan itu sulit dipercaya, apalagi di tengah mahalnya harga kebutuhan sembilan bahan pokok, seperti minyak goreng.

"Seperti halnya data penggangguran, data kemiskinan jauh bertentangan dengan realitas di masyarakat. Politisasi statistik saat ini benar-benar parah," ujar Drajad menyesalkan.

Mengenai kenaikan pendapatan rakyat miskin, Drajad juga berpendapat hal tersebut hampir tidak bisa dipercaya. "Dari mana sumber kenaikan itu? Tanpa ada lapangan kerja yang riil tidak mungkin pendapatan rakyat miskin naik," ujarnya.

Sementara itu, Menko Perekonomian Boediono berpendapat, BPS merupakan lembaga yang terdiri dari orang-orang profesional yang merekam kejadian nyata di lapangan.

"Saya selalu melihat teman-teman di BPS itu orang-orang yang profesional kok," ujar Boediono. (DAY/TAV)

No comments: