KALLANOMICS
Ekonomi-Logika
EKONOMI logika adalah pandangan Wakil Presiden M Jusuf Kalla mengenai pentingnya kita menerapkan pembangunan nasional. Dalam arti, kita tak perlu terlalu tergantung pada textbook, yang justru bisa membuat kita terbang ke awang-awang dan mengabaikan realitas. Logika yang lurus dan komitmen yang tinggi pada pembangunan, menurut Kalla, adalah kunci keberhasilan untuk memerangi kemiskinan dan segala bentuk penderitaan rakyat lainnya.
Dalam pembicaraan dengan penulis, pekan lalu, Kalla mengajukan ilustrasi, bagaimana logika sangat diperlukan untuk merespon segala persoalan yang muncul. Dalam soal pemberantasan kemiskinan misalnya, logika kita akan dengan cepat mengatakan, ”investasi harus digalakkan.” Lalu bagaimana caranya? ”Ciptakan suasana yang nyaman bagi para investor.”
Namun ada hal lain yang tak kalah pentingnya dibandingkan logika. ”Yaitu kemampuan kita memahami persoalan-persoalan yang dihadapi.
Termasuk dalam hal ini, adalah kepekaan kita dalam menyelami perasaan masyarakat.” katanya kepada penulis. Dari sini sangat mudah dipahami bila Kalla kemudian percaya, bahwa hal-hal tersebut di atas adalah modal utama bagi seorang pemimpin untuk menyusun skala prioritas pembangunan secara realisitis. Dengan demikian, program-program pembangunan yang sarat mimpi kosong bisa dihindari.
Logika dan kepekaan sosial memang ibarat kembar siam. Keduanya tak bisa dipisahkan. Apalagi kondisi perekonomian Indonesia masih sangat sarat dengan persoalan-persoalan yang sangat rumit, baik yang disebabkan oleh faktor ekonomi maupun hal-hal yang bersifat eksternal. Salah satu bukti paling konkret dalam konteks ini adalah lebarnya jurang kaya-miskin. Bukan rahasia lagi bahwa perekonomian Indonesia masih sangat diwarnai oleh kemiskinan massal, dan penguasaan sumber daya ekonomi secara besar-besaran oleh sekelompok kecil warga masyarakat.
Meminjam logika Kallanomics, kita akan tahu mengapa situasi semacam ini bisa terjadi, dan bagaimana harus mengatasinya. Kalla sendiri secara tegas mengatakan kepada penulis, ”Keadilan ekonomi yang tak pilih kasih harus ditegakkan. Dalam arti, diskriminasi di bidang ekonomi, yang sudah lama menjadi faktor utama kecemburuan sosial bisa diakhiri. Dengan demikian, di masa depan, kita akan terhindar dari berbagai bentuk kerusuhan yang telah berulang-kali menghantam Indonesia.”
Bagi Kalla, semua ras dan etnik harus ’berdiri sama tegak, duduk sama rendah’. Bila harapan ini terwujud, menurut Kalla, pembangunan akan berjalan lancar dan hubungan antara sesama warga masyarakat akan terjalin secara harmonis. ”Inilah logika pembangunan. Semua warga masyarakat merasa istimewa, dan berkepentingan untuk terlibat aktif membangun Indonesia secara bersama-sama,” katanya.
Menurut hemat penulis, logika tersebut juga sangat pas untuk mengaitkan masalah-masalah non-ekonomi dengan keberhasilan pembangunan pada saat ini. Tanpa perlu melakukan penelitian secara akademik pun bisa ditangkap secara logika, bahwa ketidakpastian hukum menjadi faktor utama lesunya investasi. Dan hal ini juga diungkapkan oleh masyarakat sendiri melalui berbagai jajak pendapat dan ruang-ruang diskusi publik.
Logika Kallanomics juga mengisyaratkan, data-data statistik jangan dijadikan pegangan mutlak dalam menetapkan target pembangunan. Para perencana pembangunan harus berani menetapkan target yang lebih tinggi dari apa yang disiratkan oleh data-data tersebut dan teori-teori akademik. Dengan harapan, seluruh jajaran pemerintah akan bekerja lebih keras untuk merealisasikan program-program pembangunan nasional.
Dalam soal perbankan misalnya, logika Kallanomics menuntut para bankir agar menurunkan suku bunga secara konsisten. Sebab, sektor riil tak akan bisa bergerak bila secara terus-menerus dicekik suku bunga yang tinggi. ”Kita tidak bisa bertumpu pada teori-teori ekonomi semata tanpa melihat realitas yang ada,” kata Kalla.
Penerapan ekonomi-logika gaya Kalla ini juga diharapkan bisa mendorong para bankir agar memiliki empati terhadap usaha kecil dan menengah (UKM), yang jumlahnya jutaan dan terbukti sanggup bertahan dari gempuran krisis moneter 1997.
Bandingkan dengan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang menguras keuangan negara lebih dari Rp 640 triliun (belum termasuk bunga per tahun yang dibayar melalui APBN sebesar Rp 70 triliun). Bencana BLBI ini, menurut perhitungan Sugeng Bahagijo (2007) dan Griffith-Jones dan Gottschalk (2006), telah menyebabkan biaya fiskal yang berat. Bahkan jauh lebih berat ketimbang biaya fiskal yang ditanggung Pemerintah AS pasca-Depresi Besar tahun 1930-an.
“Saya pun katakan di hadapan kalangan perbankan bahwa para konglomerat hitam dan bankir busuk tak ada bedanya dengan perampok uang negara,” kata Kalla kepada penulis.
Mengingat demikian besarnya pengaruh faktor-faktor non-ekonomi dalam perekonomian nasional, Kalla juga menghendaki penyederhanaan sistem politik. Dalam sepuluh tahun terkahir, kata Kalla, Indonesia sungguh tak memiliki prestasi yang layak diacungi jempol. Lalu ia menunjuk ruwetnya sistem politik sebagai salah satu biang keladinya.
Hal ini terkait dengan kenyataan, bahwa jumlah parpol yang terlalu banyak, sehingga pemerintahan menjadi tidak kuat, fragmentatif dan penuh kegaduhan politik.
Dalam hal ini, betapa relevan pertimbangan rasional Hans Antlov (2007), bahwa Indonesia harus bisa menjadi negara-yang-kuat sekaligus demokratis. Negara kuat diperlukan guna menghadapi arus besar globalisasi dan pasar bebas.
Sedangkan negara demokratis diperlukan sebagai cara mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi karena power tends to corrupt!
No comments:
Post a Comment