Sunday, July 29, 2007

Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Keagamaan


Cetak E-mail
Oleh: WARDI TAUFIQ MSi

Pemerintah melalui Departemen Sosial (Depsos) telah mengimplementasikan Program Keluarga Harapan (PKH),25 Juli 2007, di Provinsi Gorontalo. Program itu sebagai salah satu upaya untuk mengurangi kemiskinan melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia dari keluarga sangat miskin dengan cara pemberian bantuan tunai bersyarat.

Diharapkan,program ini tidak menambah daftar kegagalan pemerintah dalam program penanggulangan kemiskinan yang pernah dilakukan sebelumnya. Dengan kasatmata bisa disaksikan, misalnya,Program Inpres Desa Tertinggal (IDT),Proyek Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K),Program Pemberdayaan Daerah Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDM-DKE),Program Pengembangan Kecamatan (PPK),Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP),Jaring Pengaman Sosial,Bantuan/Subsidi Langsung Tunai,dan masih banyak lagi program pemerintah yang nyaris tanpa meninggalkan bekas.

Yang terjadi justru angka kemiskinan tetap berada di luar batas-batas kewajaran. Hingga kini,kondisi objektif tingkat kesejahteraan warga masyarakat di Indonesia tidak banyak mengalami perubahan yang berarti.Persoalan mendasar yang dihadapi bangsa ini terasa belum tersentuh perbaikan.Jika ada upaya perbaikan,upaya itu belum mampu menjangkau pada akar permasalahan yang menyebabkan bangsa ini jatuh dalam jurang kemiskinan. Sudah dimaklumi,Data Bank Dunia menyebutkan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia pada 2006 sebanyak 108,78 juta orang atau 49% dari jumlah total penduduk Indonesia.

Mereka hidup dengan pendapatan kurang dari USD2 per hari atau sekitar Rp19.000 per hari.Jika berdasarkan Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) pada September 2006,jumlah penduduk miskin sebanyak 17,75% dengan pendapatan USD1,55 per hari.Sementara itu,per Maret 2007,jumlah penduduk miskin sebanyak 39,30 juta orang.Pada Juli 2007,jumlah penduduk miskin di Indonesia berkurang 2,13 juta orang atau menjadi 37,17 juta orang.Menurut laporan BPS,kategori penduduk miskin adalah mereka yang pengeluarannya di bawah 166.697 per bulan.

Tingkat kemiskinan yang begitu besar mengakibatkan masalah-masalah dasar lain,terutama pendidikan dan kesehatan kurang menjadi prioritas pemikiran warga masyarakat.Artinya, masyarakat miskin menghadapi masalah keterbatasan akses layanan pendidikan dan kesehatan layak yang berdampak pada rendahnya daya tahan mereka untuk bekerja dan mencari nafkah,terbatasnya kemampuan anak dari keluarga untuk tumbuh.

Terkait dengan kemiskinan yang melanda bangsa ini,tentu semua pihak punya tanggung jawab untuk mempertajam visi dan kepekaan sosial mereka dalam berpartisipasi mencari jalan keluar dari masalah akut ini. Salah satu elemen penting yang belum dimaksimalkan peranannya padahal strategis adalah lembaga-lembaga keagamaan lokal,seperti pesantren, masjid,gereja,wihara,dan seterusnya.

Para agamawan sebagai juru bicara Tuhan ditantang untuk menyelesaikan urusan-urusan yang lebih konkret dan ditagih kepeduliannya pada masalahmasalah yang paling nyata,memberi keteladanan dan menjadi motivator perubahan.Masyarakat miskin harus dibantu mengubahnya dan bukan dininabobokan tentang arti kesabaran di hari nanti.Mereka berhak memperoleh kesempatan untuk hidup secara layak sebagai khalifah Tuhan di bumi-Nya.Di sini,agama harus menjadi energi utama bagi setiap pemeluknya untuk berlomba-lomba menjadi makhluk yang bermartabat,baik secara duniawi maupun ukhrawi.


Semua agama harus bersatu padu dan bekerja sama dalam memerangi kemiskinan ketimbang membesarbesarkan perbedaan ritual keagamaan untuk memicu konflik sosial.Sudah waktunya,semua agama di Indonesia meredefinisi diri sebagai kekuatan perubahan (the power of change) bagi umatnya dengan mengobarkan etos kerja keras,ulet,tahan banting, mengutamakan kualitas,berani mengambil risiko,dan lain-lain sebagai ”panggilan”(beruf) Tuhan untuk memakmurkan bumi-Nya (ta’mir alardl). Sukses ’’duniawi’’ seperti itu tidak ragu lagi merupakan tanda-tanda bagi pemeluk yang terpilih (Al-Nahl 16: 122) dan sebaliknya kegagalan yang bersumbu pada kemalasan dan kebodohan merupakan isyarat yang jelas sebagai orang yang tidak terpilih. Lembaga keagamaan lokal yang memiliki tugas membangun kesadaran kolektif para jamaahnya,tentu tidak hanya memiliki kewajiban untuk menyampaikan pesan ilahiah melalui khotbah (bil-lisan),tetapi juga dengan tindakan (bil-khal)sebagai tugas kenabian.

Dalam banyak hal,orang miskin tidak hanya membutuhkan khotbah bahwa kemiskinan bukanlah sebuah nasib melainkan sebagai hasil konstruksi sosial,tetapi yang terpenting bagaimana kemiskinan itu harus diubah. Merevitalisasi Lembaga Keagamaan Lokal Kemiskinan,yang umumnya berada di pedesaan,merupakan salah satu masalah besar yang membutuhkan gerakan bersama secara terus menerus dari seluruh komponen bangsa untuk mengatasinya.Salah satu komponen bangsa yang peranannya sangat diharapkan dalam konteks penanggulangan kemiskinan adalah lembagalembaga keagamaan lokal tersebut. Keberadaannya akan dapat menjadi pusat pembangunan umat.

Pemberdayaan umat melalui lembaga keagamaan lokal yang diarahkan pada problem solving yang sesuai dengan karakter kemiskinan lokal dan core competentdaerah yang bersangkutan sangat kompatibel dengan kondisi dan karakteristik kemiskinan di Indonesia. Pada gilirannya,lembaga-lembaga keagamaan lokal,jika ditata akan memainkan peran yang strategis dalam upaya melakukan transformasi di bidang ekonomi,kesehatan dan pendidikan dalam rangka mewujudkan tata kehidupan baru yang lebih sejahtera.

Dia akan dapat dimanfaatkan sebagai ujung tombak penanggulangan kemiskinan dan perlu dipersiapkan secara permanen sebagai poros perubahan masyarakat sekitarnya,khususnya dalam penanggulangan kemiskinan. (*)

WARDI TAUFIQ MSi
Staf Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Jakarta

No comments: