Friday, May 2, 2008

Minyak, Pemicu Revolusi


Jangan kaget dulu, tulisan ini tidak bermaksud menakut-nakuti, meneror, apalagi menambah kalut suasana.Sebab,pemicu revolusi di sini maknanya positif.

Percaya atau tidakkah Anda, pada akhirnya minyak akan mendorong perubahan perilaku kita secara cepat dalam bernegara. Sebab,kini pemerintah mulai direpotkan untuk merespons harga minyak yang terus naik secara drastis melampaui ambang batas 100 dolar AS setiap barel.Bahkan,skenario terburuk sudah harus disiapkan walau tampaknya terlambat karena negara lain telah jauh-jauh hari melakukannya dengan berbagai rencana cadangan darurat secara berlapis.

Itu karena minyak merupakan faktor pengubah yang hebat. Kini, minyak lebih tepat digambarkan sebagai agen atau pemicu revolusi, bukan lagi sekadar variabel yang banyak kita kenal dalam penelitian atau matematika.

Di beberapa negara seperti Nigeria di Afrika, minyak telah menjadi kutukan karena ia telah membawa negara ke jurang kemiskinan, keterbelakangan, dan ketergantungan, yang membawa negara itu ke jurang kehancuran secara total sebagai negara gagal (failed state). Karena itu, peran minyak di sana secara pesimistis dilihat selamanya akan buruk karena selama ini tidak membawa perubahan apa-apa dan malah membuat rakyat mengalami kesengsaraan yang lebih buruk.

Konsekuensi Kumulatif

Dalam argumen saya, untuk kasus Indonesia, minyak justru akan menjadi pendorong perubahan secara besar-besaran dan cepat, membawa negara menuju ke arah yang lebih konstruktif.Namun sebelum mencapai kondisi untuk mendorong perubahan ini, dibutuhkan kondisionalitas, yakni harganya di pasar dunia harus mencapai tingkat yang jauh lebih tinggi dari sekarang seperti 150 dan bahkan 200 dolar AS setiap barel.

Jadi, asumsinya, semakin tinggi kenaikan harga minyak akan semakin baik untuk memicu perubahan cepat dan signifikan. Maaf saja, dengan pandangan ini, penulis seolah tidak berempati terhadap nasib rakyat kebanyakan, apalagi yang berkategori paling miskin, yang sangat rentan menjadi korban melambungnya harga minyak di pasar dunia.

Namun,setelah m e n g i k u t i penjelasan selanjutnya, tentu para pembaca dapat memahami argumen tersebut dan mungkin akan sependapat. Pertama-tama, patut dikemukakan bahwa posisi minyak sekarang sudah lebih dari sekadar energi utama penggerak industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi. Harus disadari, minyak telah menjadi penentu masa depan negara-negara dan dunia.

Karena melambungnya harga minyak akan mengancam keamanan manusia (human security) dan negara (state security) secara simultan.Sudahkah dibayangkan, apa implikasinya jika subsidi minyak tanah yang banyak menolong rakyat kecil di Indonesia selama ini dihilangkan sama sekali? Kerusuhan dan tindakan anarki tentu akan muncul di mana-mana mengingat mayoritas rakyat di negeri ini mengonsumsi minyak tanah.

Jadi, yang akan resah dan bertindak anarkistis tidak hanya pedagang warteg dan gorengan, tetapi juga rumah-rumah tangga di seluruh Indonesia.Yang tidak kecil dampaknya juga adalah jika subsidi bensin yang dinikmati kalangan kelas menengah ke atas dihapus. Sebab, kelas menengah dan kalangan borjuasi Indonesia bukan kelompok yang mau berkorban dan terpanggil menjadi pelopor perubahan, melainkan kelas yang sangat manja dan cepat marah jika kenikmatannya terganggu.

Selain itu,kenaikan BBM untuk kelas menengah ke atas dan industri berdampak juga menciptakan pengangguran baru dan menaikkan biaya transportasi, yang semuanya akan memberi implikasi ganda terhadap lapisan rakyat terbawah. Kedua, bersama-sama dengan resesi ekonomi AS akibat kredit macet perumahan (subprime mortgage) yang berimplikasi global menciptakan angka inflasi yang besar, naiknya harga minyak dunia tanpa tertahan akan memicu krisis pangan di banyak negara berkembang dan miskin.

Di Haiti, contohnya, kerusuhan sosial yang semula merupakan aksi-aksi penjarahan telah menumbangkan pemerintahan akibat harga pangan yang melonjak setelah meroketnya harga minyak dunia. Di negara-negara lain akan menyusul seiring dengan cadangan pangan dan devisa yang menipis karena defisit anggaran untuk membayar pembengkakan belanja minyak.

Di Indonesia, masa akhir pemerintahan Soeharto telah memberikan pembelajaran yang baik tentang collapse-nya rezim yang telah tiga dasawarsa sangat berkuasa akibat kebijakan menaikkan harga BBM setelah negara mulai dilanda krisis. Karena itu, keliru sama sekali jika melonjaknya harga minyak secara drastis dan tidak tertahan serta krisis pangan yang menyertainya akibat integrasi sistem ekonomi global yang kuat dewasa ini tidak segera diantisipasi dampaknya terhadap kondisi keamanan negara dan stabilitas rezim.

Ultimatum Perubahan

Sebagai konsekuensinya,jika tidak ingin lumpuh dan jatuh, pemerintah nasional harus segera menyikapinya dengan melakukan berbagai perubahan kebijakan yang revolusioner. Kesalahan Soeharto dulu adalah ia terlalu percaya diri dengan kemampuannya bertahan selama ini.Paling tidak, secara rasional, jika pemerintah yang berkuasa cerdas,ia harus segera mengambil langkah-langkah efisiensi.

Yang lebih mudah dan rendah resistensinya adalah dengan memotong "anggaran kemewahan" yang dinikmati pejabat seperti penarikan rumah dan mobil dinas pribadi, pengurangan drastis perjalanan dinas, terutama ke luar negeri, dan anggaran belanja barang. Yang lebih progresif, tunjangan pembelian baju buat pejabat,pengawalan, konsumsi makanan untuk rapat-rapat, serta subsidi listrik dan BBM untuk pejabat tidak perlu diadakan lagi.

Dengan demikian, jika birokrasi, prosedur, dan fasilitas penunjangnya segera dirampingkan, korupsi akan jauh berkurang. Secara rasional, kenaikan harga minyak di pasar dunia seharusnya memang dapat memaksa pemerintah bekerja lebih serius.Jika tidak,ia akan dikatakan bebal karena tidak berkeinginan mendorong lebih serius reformasi dan penegakan hukum.

Tidak ada pilihan lain, jika ingin bertahan sampai pemilu berikutnya dan terpilih lagi, pemerintah harus melakukan langkah itu. Selama ini, boleh saja eksekutif, legislatif, dan yudikatif tutup mata terhadap berbagai praktik penyimpangan. Namun, jika uang negara yang ingin dikorupsi sudah tidak tersedia lagi,yang akan terjadi adalah tekanan dan keterpaksaan untuk melakukan perubahan.

Defisit keuangan negara bisa saja ditutup dengan utang luar negeri yang besar.Namun,upaya ini tetap tidak bisa menghindari terjadinya revolusi sosial karena keadaan akan semakin buruk akibat jebakan utang dan sikap antiasing yang semakin dalam. Siapa yang bertelinga, hendaklah mendengar, terutama para pemegang kekuasaan,karena jika tidak,sebentar lagi mereka akan kehilangan kekuasaan mereka.

Sekali lagi, ini hanya soal waktu saja dan tulisan ini bukan provokasi, apalagi catatan subversif,melainkan early warning untuk segera mengubah sikap dan kebijakan demi menyelamatkan negara dari munculnya anarkisme baru dan jatuh-bangunnya rezim secara kontinu dalam waktu pendek, melalui mekanisme yang tidak tertib.

Melakukan perubahan karena dipaksa keadaan tentu tidak enak dan akan lebih baik jika segera menyiapkan skenario terburuk dan langkah untuk mengatasi masalah yang akan lebih berat dihadapi negeri ini, sesulit apa pun, dengan memulainya dari langkah yang paling mudah.(*)

Poltak Partogi Nainggolan
Penulis adalah Kandidat Doktor Ilmu Politik Universitaet Freiburg, Jerman

No comments: