Friday, May 2, 2008

Pemborosan dan Konversi Energi


Sekitar dua pekan lalu (8/4/2008), Presiden memarahi salah satu bupati yang tertidur ketika beliau berpidato. Serta-merta kejadian memalukan yang menimpa salah satu bupati peserta Forum Konsolidasi Pimpinan Daerah di Gedung Lemhannas itu menjadi konsumsi media massa.

Kejadian itu tentu menarik, namun mungkin sudah tidak ada gunanya lagi kita perdebatkan. Yang patut jadi perhatian adalah tema pidato yang disampaikan Presiden dalam kesempatan tersebut. Presiden menekankan pentingnya mengubah gaya hidup masyarakat dalam penggunaan energi.

Gaya hidup bangsa ini sangat boros, padahal krisis energi sedang mengombangambingkan perekonomian Indonesia. Indonesia yang anggota OPEC ini saja sudah menjadi net-importer. Tercatat, total dana subsidi bidang energi mencapai Rp187,1 triliun atau setara 79,8 persen dari beban subsidi di APBNP yang mencapai Rp234,4 triliun.

Dari besaran tersebut, subsidi untuk bahan bakar minyak (BBM) mencapai Rp126,8 triliun, sedangkan subsidi listrik Rp60,2 triliun. Subsidi untuk sektor nonenergi dianggarkan hanya sebesar Rp47,2 triliun (SINDO, 14/4). Sekalipun satu bupati tidak mendengarkan kekhawatiran Presiden, setidaknya bupati-bupati dan wali kota-wali kota lainnya dapat menangkap kekhawatiran Presiden tersebut.

Pemborosan


Ada tiga sektor utama yang menyebabkan pemborosan di Indonesia. Sektor-sektor tersebut masih terus tumbuh dan bisa mengakibatkan keruntuhan perekonomian Indonesia jika tak jua ditangani. Mengambil istilah Thomas Robert Malthus dalam konsep pangan, bila penyediaan minyak bumi Indonesia tak mampu mengikuti laju pertumbuhan pemakaian yang tak terkendali, bisa saja terjadi kiamat energi nasional yang dibarengi lumpuhnya perekonomian.

Ketiga sektor tersebut, pertama, pola kepemilikan dan pemakaian kendaraan pribadi. Kendaraan pribadi telah lama dijadikan simbol kemapanan. Permintaan untuk produk konsumsi ini selalu menanjak. Bahkan pada 2007 saja para produsen mobil mampu menjual 434.437 unit mobil. Jumlah tersebut meningkat 36,2 persen dibanding 2006, saat mobil terjual sebanyak 318.904 unit.

Segendang sepenarian, produsen motor pun menikmati penjualan yang terus melesat akibat pola konsumtif bangsa ini. Tahun lalu 4.688.263 motor terjual, naik 5,89 persen dari penjualan tahun 2006 yang mencapai 4.427.342 unit motor. Kedua, pola pemakaian listrik yang berlebihan dan boros tenaga.

Bangsa ini memang sudah lama terkenal konsumtif. Kepemilikan alat elektronik dalam satu keluarga sering kali berlebihan. Ketiga, manajemen transportasi yang buruk. Hari-hari tanpa macet bak masakan tanpa garam. Padahal, kerugian yang ditimbulkan sangat besar. Berdasarkan perhitungan Bappenas, pemborosan bahan bakar minyak ratarata untuk mobil yang terjebak kemacetan sebesar 1,75 liter dan 0,35 liter per hari untuk sepeda motor.

Dari segi nilai, berdasarkan perhitungan Study on Integrated Transportation Master Plan for Jabodetabek (Sitramp 2004), kerugian akibat kemacetan lalu lintas di DKI Jakarta saja mencapai Rp8,3 triliun per tahun. Angka tersebut mencakup biaya operasional, waktu, dan kesehatan. Belum lagi jika dihitung kerugian seluruh Indonesia.

Konversi dan Penghematan

Minyak bumi merupakan pedang bermata dua. Di satu sisi merupakan rahmat bagi bangsa ini, sekaligus akan menjadi "pembunuh" paling efektif karena kita sudah terlengah oleh segala kemudahan yang didapat dari rahmat tersebut. Wacana saat ini yang paling sering digembor-gemborkan adalah diversifikasi energi atau umum kita kenal sebagai konversi. Program ini jelas harus didukung.

Kesalahan dalam penanganan yang dilakukan pemerintah harusnya jangan jadi alasan bagi masyarakat untuk menilai secara parsial program ini sebagai suatu kesalahan. Tentu kita semua tak ingin akhirnya ekonomi Indonesia kolaps akibat kesalahan rakyat dalam memahami maksud konversi energi yang dilakukan pemerintah.

Langkah yang diambil pemerintah untuk melakukan konsumsi bahan bakar di tingkat dasar konsumen adalah langkah yang tepat. Pengalihan dari minyak tanah ke elpiji menjadi wacana paling ideal karena Indonesia salah satu produsen gas bumi dunia. Selama ini, gas bumi lebih banyak diekspor dengan harga murah.

Lalu kenapa tidak untuk dimanfaatkan di dalam negeri untuk mengurangi beban subsidi? Namun, antrean mengular pembeli gas adalah salah satu kesalahan dalam program konversi ini yang membuat banyak pihak cenderung apatis dengan proyek yang menjanjikan ini. Minyak tanah secara perlahan tapi pasti menghilang dari pasaran, sementara gas makin sulit didapat sehingga harga meroket sesuai mekanisme pasar.

Niat baik pemerintah belum ditopang kinerja aparat di lapangan dalam mengamankan pasokan. Ketim pangan suplai dan permintaan tersebut tentu menyengsarakan rakyat. Titik inilah yang membutuhkan manajemen maksimal dari pemerintah. Indonesia juga harus mengonversi bahan bakar pada banyak pembangkit listrik. Saat ini banyak yang masih memakai minyak bumi.

Rencana diversifikasi energi yang tertuang dalam Peraturan Presiden No 5/2006 harus konsisten dilaksanakan dan diwujudkan. Dalam peraturan tersebut diskemakan bahwa pada 2025 Indonesia hanya akan mengonsumsi minyak bumi sebesar 40% dari jumlah konsumsi 2006. Pemakaian energi akan dialihkan ke gas alam, batu bara, dan sumber energi terbarukan.

Terakhir, dan mungkin yang paling tidak populer, pemerintah memang sudah seharusnya mencabut subsidi bahan bakar, terutama untuk kendaraan pribadi. Pemerintah bisa mengalihkannya untuk pengembangan transportasi massal sehingga masyarakat dengan sendirinya akan beralih moda transportasi.

Terlalu dimanjakannya bangsa ini oleh sumber energi yang murah membuat bangsa ini secara tak sadar melakukan pemborosan. Pemerintah harus berani menerapkan insentif dan disinsentif dalam pemanfaatan energi. Implementasinya bisa jadi dalam memberikan pajak yang sangat besar untuk barang-barang konsumsi yang boros energi. Atau mungkin pemerintah memberikan insentif besar-besaran untuk pengembangan transportasi massal. (*)

B Setia Prakarsa MSC
Pemerhati Masalah Energi Alumnus Westminster Business School
(//mbs)

No comments: