Ivan A Hadar
Seakan buah si malakama, bila harga BBM dinaikkan, dampaknya memicu harga-harga bahan pokok yang menyengsarakan masyarakat miskin. Sebaliknya, bila memilih tidak menaikkan harga BBM, dipastikan akibat melonjaknya harga BBM di pasar internasional, defisit anggaran bisa mencapai angka ratusan triliun. Pemerintah akhirnya memutuskan menaikkan harga BBM bersubsidi di bawah 30 persen. Pada saat yang sama, dana dari penghematan subsidi rencananya akan disalurkan lewat bantuan langsung tunai kepada orang miskin.
Wapres Jusuf Kalla berargumen, ”Akan jauh lebih banyak orang miskin jika negara tak mampu menanggung beban subsidi karena defisit anggaran bisa mencapai 4 atau 5 persen.” Selain itu, semakin besar subsidi BBM, semakin besar ketidakadilan dibiarkan terus dilakukan. Berdasarkan hitungannya, 80 persen subsidi dinikmati orang mampu yang memakai premium dan solar untuk kendaraan pribadinya (Kompas, 11/5/2008). Cukup masuk di akal, meski sebenarnya telah banyak waktu terbuang tanpa ada upaya serius pemerintah untuk keluar dari jebakan buah simalakama. Suara kontra menilai kenaikan harga BBM hanya merupakan jalan pintas pemerintah untuk melepaskan diri dari beban keuangan negara. Kebijakan tersebut dipastikan menuai dampak buruk yang melemahkan daya beli masyarakat, meningkatkan kemiskinan, dan memukul sektor usaha.
Tingkat kemiskinan, misalnya, diperkirakan akan melonjak tajam menjadi sekitar 52 juta jiwa (25,4 persen) dari 36,6 juta jiwa (16,85 persen). Padahal, ada sejumlah kebijakan alternatif yang dapat ditempuh, seperti melakukan negosiasi dengan para kreditor untuk refinancing atau reprofiling utang, menaikkan sektor perpajakan dan pemangkasan biaya pengadaan BBM. Selain itu, makin seriusnya krisis BBM merupakan saat yang tepat untuk menoleh kepada sumber energi nonkonvensional, baik dalam lingkup perorangan, industri, maupun nasional. Karena, sebenarnya, negeri ini amat diberkati oleh sinar matahari, angin, geotermal, dan ombak pantai berlimpah (Kompas, 8-9/5/2008).
Energi sinar matahari yang dipancarkan ke planet Bumi, misalnya, 15.000 kali lebih besar dibandingkan penggunaan energi global dan 100 kali dibandingkan cadangan batu bara, gas, dan minyak bumi. Sementara teknologi mutakhir telah mampu mengubah 10-20 persen pancaran sinar matahari tersebut menjadi energi. Secara teoretis, untuk mencukupi kebutuhan energi global, penempatan peralatan tersebut hanya memerlukan kurang dari 1 persen permukaan bumi. Sebuah besaran yang jauh lebih kecil dibandingkan lahan yang dibutuhkan bendungan pembangkit tenaga listrik.
Mulanya sumber energi ini dikembangkan penggunaannya bagi satelit ruang angkasa. Kini, pemanfaatannya mulai menyebar ke kawasan industri, rumah pribadi, dan bahkan ke pelosok desa. Tak lama lagi ia diramal akan menjadi sumber energi pada pembangkit tenaga listrik kapasitas besar. Sejak harga minyak pasar internasional mencapai 60 dollar AS per barrel, minat industri pembangkit tenaga listrik pada sumber energi terperbarui semakin membesar. Pertimbangan ekonomi menjadi alasan pertama.
Kenyataannya, kini, persaingan ini telah terjadi di negara-negara industri, khususnya di sektor industri kecil dan menengah. Menurut Report on World Development (UN, 1992), kebutuhan energi global dalam 30 tahun ke depan meningkat dua kali lipat per tahun. Dan, 40 tahun mendatang, kebutuhan tersebut menjadi tiga kali lipat atau sepadan dengan energi 20 miliar ton minyak bumi.
Perkembangan ini ditaksir bakal mahal karena eksploitasi dan eksplorasinya lebih sulit. Ada baiknya kita bayangkan bahwa penggunaan 20 miliar ton energi per tahun itu memerlukan biaya sebesar 4,5 triliun dollar AS. Separuhnya adalah pengeluaran negara-negara berkembang. Indonesia yang setiap tahun disinari energi matahari sebesar 2.500 kw per hrs berpotensi besar untuk keluar dari ketergantungan pada energi fosil, seperti BBM.
Selain itu, kelebihan energi matahari yang sering diungkapkan adalah pembakarannya tidak menghasilkan CO2, SO2, dan gas racun lainnya. Uraian singkat tentang dua pembangkit energi dari sinar matahari, yaitu solar thermal dan photogalvanic, berikut ini menggambarkan hal tersebut. Keduanya tak membutuhkan areal yang luas bagi peralatannya. Ide awal tentang pembangkit tenaga listrik solar thermal sudah sangat tua. Pembangkit listrik pertama dibangun di Mesir tahun 1912, tetapi ditutup saat usai Perang Dunia I karena rendahnya harga minyak. Prinsipnya, sederhana. Sinar matahari diperkuat oleh cermin yang mengalihkannya ke alat penyerap berisi cairan. Cairan ini memanas dan menghasilkan uap yang membangkitkan generator turbo pembangkit tenaga listrik. Di California, AS, alat ini telah mampu menghasilkan 354 megawatt listrik. Saat ini, di Indonesia, harga satuan energi matahari 4-5 dollar AS per W, cukup ekonomis untuk penggunaan secara massal.
Sementara itu, pengembangan pembangkit listrik photogalvanic berkembang cepat sejak dua dasawarsa terakhir. Harga peralatannya merosot tajam berkat keberhasilan teknologi, padahal kebijakan energi nasional maupun internasional sama sekali tidak mendukung. Subsidi besar-besaran hanyalah untuk pembangkit tenaga listrik dengan sumber energi fosil dan nuklir. Energi photo electric pertama kali diungkapkan Edmond Bacquerel, tahun 1839. Penggunaannya yang terbaru menggunakan sel-sel photogalvanic. Akibat sengatan sinar matahari, sel-sel tersebut melepaskan elektron yang dipaksa berputar dengan dampak terjadinya aliran listrik. Sel-sel tersebut dikemas dan dijual dalam bentuk modul yang dapat digunakan pada teknologi tegangan tinggi. Saat ini, harga pembangkit listrik sel surya adalah Rp 1.900-Rp 3.000 per kWh.
Menilik berbagai kelebihan energi terperbarui, pertanyaan yang kemudian timbul, apakah cara menunjang pengembangan dan perluasan penggunaan energi ini sehingga sinkron dengan kebijakan energi nasional dan global.
Pertama, harus ada diversifikasi penelitian dan pengembangan. Dana penelitian energi ramah lingkungan ini, sayangnya, dari tahun ke tahun menyusut. Di negara-negara industri, hanya sekitar 5 persen dana penelitian yang diperuntukkan bagi sektor energi. Darinya, sebagian besar untuk jenis energi fosil. Di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, hal tersebut lebih memprihatinkan.
Kedua, dengan perkembangan teknologi saat ini, biaya produksi energi tererbarui ini bisa bersaing dengan harga energi fosil. Namun, tentu saja, untuk memproduksi energi surya secara massal, diperlukan kemauan politik. Ketika Indonesia masih menjadi produsen dan eksportir minyak dan di dalam negeri harga jualnya masih disubsidi, mungkin terkesan tidak realistis untuk mendudukkan energi terperbarui pada posisi penting. Namun, kini keadaan sudah sangat mendesak untuk berpikir dan bertindak mengantisipasinya. Jadi, dalam waktu dekat, harga BBM diharapkan tidak lagi menjadi buah si malakama.
IVAN A HADAR Koordinator Nasional Target MDGs (Bappenas/UNDP); Pendapat Pribadi
No comments:
Post a Comment