UU Nomor 38/2004 ini merupakan perubahan/penggantian terhadap UU Nomor 13/1980 yang telah berusia hampir seperempat abad dan sudah tidak sesuai lagi sebagai landasan hukum pengaturan tentang Jalan. Dasar pertimbangan yang melandasi perubahan/penggantian adalah adanya berbagai perkembangan dan perubahan penataan sistem. Pemerintahan Negara yang berorientasi pada otonomi daerah serta adanya tantangan persaingan global dan tuntutan peningkatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan Jalan.
Terdapat sejumlah perbedaan yang mencolok dan fundamental dalam perubahan UU ini antara lain:
Pertama, penetapan suatu ruas jalan tol. Penetapan jenis kendaraan bermotor dan besarnya tol, persetujuan pemakaian jalan tol selain untuk pemakai jalan yang menggunakan kendaraan bermotor dengan membayar tol. Pada UU Nomor 13/1980 hal tersebut di atas ditetapkan oleh Presiden, pada UU Nomor 38/2004 cukup oleh Menteri terkait.
Kedua, wewenang penyelenggaraan/pengusahaan Jalan Tol, pada UU Nomor 13/1980 diserahkan hanya kepada Badan Usaha Milik Negara (PT Jasa Marga) dan BUMN tersebut dapat bekerjasama dengan Badan Usaha Miiik Swasta, sedangkan pada UU Nomor 38/2004 bisa kepada BUMN dan/atau Badan Usaha Milik Daerah dan/atau Badan Usaha Milik Swasta secara langsung.
Ketiga, peran regulator dan operator dipisah. Kalau UU sebelumnya peran tersebut dirangkap dan dipegang oleh BUMN dalam hal ini PT Jasa Marga. UU yang baru ini peran PT Jasa Marga diperlakukan sebagai operator murni, sedangkan peran regulator diserahkan kepada Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT).
BPJT dibentuk oleh Menteri, berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri yang keanggotaannya terdiri dari unsur Pemerintah, unsur pemangku kepentingan dan unsur masyarakat Sebagian wewenang pemerintah dalam penyelenggaraan Jalan Tol yang meliputi: pengaturan jalan tol, pengusahaan jalan tol dan pengawasan jalan tol dilaksanakan oleh BPJT.
Dalam UU No. 13/1980 PT Jasa Marga dalam menjalankan fungsinya sebagai regulator terlihat kurang berfungsi dan malah berdampak pada timbulnya konflik kepentingan sehingga banyak merugikan Jasa Marga.
Jasa Marga sebagai korporasi tidak hanya terkait dalam UU No. 38/2004 tentang jalan tetapi juga terkait dengan UU No 19/2003 tentang BUMN dalam rangka menjalankan peranan penting terutama di dalam mendukung ekonomi, sosial budaya, lingkungan melalui Jalan sebagai bagian sistem transportasi nasional.
Jasa Marga jika dilihat dari perspektif bisnis akan cenderung lebih banyak berpihak kepada fungsinya sebagai operator dan pengusaha jalan tol. Hal ini sesuai dengan maksud dan tujuan pendirian BUMN yang tertuang dalam UU No 19/2003 tentang BUMN, dimana PT Jasa Marga adalah Badan Usaha Milik Negara yang harus semaksimal mungkin memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan Negara pada khususnya serta mengejar keuntungan.
Pembangunan jalan harus memenuhi kebutuhan masyarakat atas angkutan barang dan jasa yang aman, nyaman, berdaya guna yang benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, pengelolaan yang transparan dan terbuka serta tarif tol yang didasarkan pada kemampuan bayar pengguna jalan (masyarakat). Di samping itu tentu pengusaha jalan tol dilindungi kepentingannya yaitu adanya kepastian hukum dalam bisnis jalan tol, iklim investasi yang kondusif, diberikan konsesi (tenggang waktu) yang layak untuk dapat mengembalikan dana investasi dan keuntungan yang wajar.
Namun harapan-harapan tersebut di atas belum dapat terwujud melalui BPJT karena dalam PP No. 15/2005 walaupun semuanya telah diatur lebih rinci namun pada tataran Implementasinya BPJT tidak tegas karena kurangnya kekuasan yang dimiliki BPJT dan kurangnya kompetensi personal yang sekarang duduk di BPJT serta kurang luasnya skema organisasi BPJT yang tidak melibatkan unsur pemerintah daerah. Permasalahannya sekarang ialah bagaimana mereformasi BPJT yang independen, transparan dan terbuka, bebas KKN dengan keanggotaan yang professional.
Keempat, ada 2 (dua) Pasal yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 38/2004 sangat menguntungkan bagi pengusaha jalan tol yang telah beroperasi saat ini yaitu: a) Pasal 48 ayat (3) berbunyi, bahwa evaluasi dan penyesuaian tarif tol dilakukan setiap 2 (dua) tahun sekali berdasarkan pengaruh laju inflansi. Penyesuaian tarif tol ditentukan 2 (dua) tahun sejak penetapan terakhir tarif tol, dengan formula: Tarif baru = tarif lama (1 + inflansi). Data inflasi yang berlaku adalah data inflansi wilayah yang bersangkutan dari Badan Pusat Statistik (BPS).
Kenaikan tarif tol sebelum UU Nomor 38/2004 ini berlaku, diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40/2001, ditinjau setiap 3 (tiga) tahun sekali dengan kenaikan maksimum 25 persen (dua puluh lima persen). PT Jasa Marga dan beberapa pengelola jalan tol lainnya akan memperoleh tarif baru yang lebih cepat dan kenaikan rata-rata per tahun yang mungkin lebih besar, mengingat tingkat inflasi di negeri ini masih cukup tinggi.
Penyesuaian tarif tol akan secara otomatis ditetapkan sesuai UU ini. Kenaikan tarif tol terakhir terjadi pada bulan Juni Tahun 2003 yang lalu. b) Pasal 66 ayat (3) menyatakan bahwa konsesi yang dimiliki badan usaha milik swasta di bidang jalan tol berdasarkan Undang-Undang Nomor 13/1980 dinyatakan tetap berlaku. Itu berarti, masa konsesi yang telah diperoleh berlaku mutlak dan tidak bisa diganggu gugat lagi. Mungkin saja pemberian masa konsesi kepada pengelola jalan tol untuk ruas-ruas jalan tertentu pada jaman pemerintahan Soeharto tersebut diliputi nuansa KKN, sehingga mendapatkan masa konsesi yang panjang dan berlebihan.
Kita tahu, bahwa nilai investasi yang ditanamkan dalam suatu jalan tol berkaitan erat sekali dengan penentuan tarif tol awal dan masa konsesi. Jika nilai investasi besar atau tidak wajar, akan bisa memperoleh tarif awal yang tinggi dan masa konsesi yang lama. Oleh karena itu, perlu kiranya di tinjau kembali, apakah nilai investasi pada ruas-ruas jalan tol tersebut wajar dan layak. Hal itu perlu, apalagi di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dikenal sangat antikorupsi dan berusaha memerangi segala bentuk KKN, termasuk mark-up nilai proyek jalan tol. Sepatutnya Pasal 66 ayat (3) ini ditinjau kembali.
Kelima, pasal 64 ayat (2) tentang pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol menyatakan, bahwa pengadaan tanah dapat menggunakan dana yang berasal dari pemerintah dan/atau Badan Usaha Swasta. Ketentuan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38/2004, Pasal 64 ayat (2) ini lebih lanjut perlu dituangkan dalam Peraturan Pemerintah agar jelas aturan mainnya. Sebelum Undang-Undang ini keluar, ketentuan tentang pembebasan tanah untuk pembangunan Jalan Tol ditanggung oleh Pemerintah (Peraturan Pemerintah Nomor 8/1990, Pasal 41).
Selama ini ketentuan yang berjalan ialah apabila dana untuk pembebasan tanah di biayai oleh pengelola/investor, maka dihitung sebagai investasi dan diperhitungkan kompensasinya dalam bentuk penambahan masa konsesi. Tetapi kalau dana berasal dari pemerintah, sama sekali tidak ada perhitungan kompensasinya. Apakah itu dalam bentuk nilai saham dalam usaha patungan tersebut, atau dalam bentuk sewa-menyewa selama kurun waktu masa operasi.
Bagaimanapun dana pemerintah untuk pembebasan tanah tersebut harus kembali ke negara, karena di peroleh melalui pinjaman. Dari mana sumber nya, kalau bukan dari hasil usaha talan tol itu sendiri. Dengan demikian terjadi hubungan bisnis yang layak dan wajar.. Sebaiknya hubungan kerja sama antara pemerintah (dalam hal ini diwakili oleh BPJT) dengan investor jalan tol yang telah beroperasi, di tinjau kembali dan disesuaikan dengan semangat reformasi.
Dari uraian tersebut di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu : Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 ini telah cukup menjamin secara kepastian hukum usaha di bidang jalan tol yang selama ini dituntut oleh pengelola jalan tol atau calon investor.
Perlu mereformasi segera landasan hukum Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden untuk membantu Menteri PU, Menteri Keuangan dan Meneg BUMN serta Menteri terkait lainnya agar semua kendala industri jalan tol dapat di analisis secara komprehensif untuk memacu dengan cepat pertumbuhan ekonomi negeri ini. (*)
Pertama, penetapan suatu ruas jalan tol. Penetapan jenis kendaraan bermotor dan besarnya tol, persetujuan pemakaian jalan tol selain untuk pemakai jalan yang menggunakan kendaraan bermotor dengan membayar tol. Pada UU Nomor 13/1980 hal tersebut di atas ditetapkan oleh Presiden, pada UU Nomor 38/2004 cukup oleh Menteri terkait.
Kedua, wewenang penyelenggaraan/pengusahaan Jalan Tol, pada UU Nomor 13/1980 diserahkan hanya kepada Badan Usaha Milik Negara (PT Jasa Marga) dan BUMN tersebut dapat bekerjasama dengan Badan Usaha Miiik Swasta, sedangkan pada UU Nomor 38/2004 bisa kepada BUMN dan/atau Badan Usaha Milik Daerah dan/atau Badan Usaha Milik Swasta secara langsung.
Ketiga, peran regulator dan operator dipisah. Kalau UU sebelumnya peran tersebut dirangkap dan dipegang oleh BUMN dalam hal ini PT Jasa Marga. UU yang baru ini peran PT Jasa Marga diperlakukan sebagai operator murni, sedangkan peran regulator diserahkan kepada Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT).
BPJT dibentuk oleh Menteri, berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri yang keanggotaannya terdiri dari unsur Pemerintah, unsur pemangku kepentingan dan unsur masyarakat Sebagian wewenang pemerintah dalam penyelenggaraan Jalan Tol yang meliputi: pengaturan jalan tol, pengusahaan jalan tol dan pengawasan jalan tol dilaksanakan oleh BPJT.
Dalam UU No. 13/1980 PT Jasa Marga dalam menjalankan fungsinya sebagai regulator terlihat kurang berfungsi dan malah berdampak pada timbulnya konflik kepentingan sehingga banyak merugikan Jasa Marga.
Jasa Marga sebagai korporasi tidak hanya terkait dalam UU No. 38/2004 tentang jalan tetapi juga terkait dengan UU No 19/2003 tentang BUMN dalam rangka menjalankan peranan penting terutama di dalam mendukung ekonomi, sosial budaya, lingkungan melalui Jalan sebagai bagian sistem transportasi nasional.
Jasa Marga jika dilihat dari perspektif bisnis akan cenderung lebih banyak berpihak kepada fungsinya sebagai operator dan pengusaha jalan tol. Hal ini sesuai dengan maksud dan tujuan pendirian BUMN yang tertuang dalam UU No 19/2003 tentang BUMN, dimana PT Jasa Marga adalah Badan Usaha Milik Negara yang harus semaksimal mungkin memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional pada umumnya dan penerimaan Negara pada khususnya serta mengejar keuntungan.
Pembangunan jalan harus memenuhi kebutuhan masyarakat atas angkutan barang dan jasa yang aman, nyaman, berdaya guna yang benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, pengelolaan yang transparan dan terbuka serta tarif tol yang didasarkan pada kemampuan bayar pengguna jalan (masyarakat). Di samping itu tentu pengusaha jalan tol dilindungi kepentingannya yaitu adanya kepastian hukum dalam bisnis jalan tol, iklim investasi yang kondusif, diberikan konsesi (tenggang waktu) yang layak untuk dapat mengembalikan dana investasi dan keuntungan yang wajar.
Namun harapan-harapan tersebut di atas belum dapat terwujud melalui BPJT karena dalam PP No. 15/2005 walaupun semuanya telah diatur lebih rinci namun pada tataran Implementasinya BPJT tidak tegas karena kurangnya kekuasan yang dimiliki BPJT dan kurangnya kompetensi personal yang sekarang duduk di BPJT serta kurang luasnya skema organisasi BPJT yang tidak melibatkan unsur pemerintah daerah. Permasalahannya sekarang ialah bagaimana mereformasi BPJT yang independen, transparan dan terbuka, bebas KKN dengan keanggotaan yang professional.
Keempat, ada 2 (dua) Pasal yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 38/2004 sangat menguntungkan bagi pengusaha jalan tol yang telah beroperasi saat ini yaitu: a) Pasal 48 ayat (3) berbunyi, bahwa evaluasi dan penyesuaian tarif tol dilakukan setiap 2 (dua) tahun sekali berdasarkan pengaruh laju inflansi. Penyesuaian tarif tol ditentukan 2 (dua) tahun sejak penetapan terakhir tarif tol, dengan formula: Tarif baru = tarif lama (1 + inflansi). Data inflasi yang berlaku adalah data inflansi wilayah yang bersangkutan dari Badan Pusat Statistik (BPS).
Kenaikan tarif tol sebelum UU Nomor 38/2004 ini berlaku, diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40/2001, ditinjau setiap 3 (tiga) tahun sekali dengan kenaikan maksimum 25 persen (dua puluh lima persen). PT Jasa Marga dan beberapa pengelola jalan tol lainnya akan memperoleh tarif baru yang lebih cepat dan kenaikan rata-rata per tahun yang mungkin lebih besar, mengingat tingkat inflasi di negeri ini masih cukup tinggi.
Penyesuaian tarif tol akan secara otomatis ditetapkan sesuai UU ini. Kenaikan tarif tol terakhir terjadi pada bulan Juni Tahun 2003 yang lalu. b) Pasal 66 ayat (3) menyatakan bahwa konsesi yang dimiliki badan usaha milik swasta di bidang jalan tol berdasarkan Undang-Undang Nomor 13/1980 dinyatakan tetap berlaku. Itu berarti, masa konsesi yang telah diperoleh berlaku mutlak dan tidak bisa diganggu gugat lagi. Mungkin saja pemberian masa konsesi kepada pengelola jalan tol untuk ruas-ruas jalan tertentu pada jaman pemerintahan Soeharto tersebut diliputi nuansa KKN, sehingga mendapatkan masa konsesi yang panjang dan berlebihan.
Kita tahu, bahwa nilai investasi yang ditanamkan dalam suatu jalan tol berkaitan erat sekali dengan penentuan tarif tol awal dan masa konsesi. Jika nilai investasi besar atau tidak wajar, akan bisa memperoleh tarif awal yang tinggi dan masa konsesi yang lama. Oleh karena itu, perlu kiranya di tinjau kembali, apakah nilai investasi pada ruas-ruas jalan tol tersebut wajar dan layak. Hal itu perlu, apalagi di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dikenal sangat antikorupsi dan berusaha memerangi segala bentuk KKN, termasuk mark-up nilai proyek jalan tol. Sepatutnya Pasal 66 ayat (3) ini ditinjau kembali.
Kelima, pasal 64 ayat (2) tentang pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol menyatakan, bahwa pengadaan tanah dapat menggunakan dana yang berasal dari pemerintah dan/atau Badan Usaha Swasta. Ketentuan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38/2004, Pasal 64 ayat (2) ini lebih lanjut perlu dituangkan dalam Peraturan Pemerintah agar jelas aturan mainnya. Sebelum Undang-Undang ini keluar, ketentuan tentang pembebasan tanah untuk pembangunan Jalan Tol ditanggung oleh Pemerintah (Peraturan Pemerintah Nomor 8/1990, Pasal 41).
Selama ini ketentuan yang berjalan ialah apabila dana untuk pembebasan tanah di biayai oleh pengelola/investor, maka dihitung sebagai investasi dan diperhitungkan kompensasinya dalam bentuk penambahan masa konsesi. Tetapi kalau dana berasal dari pemerintah, sama sekali tidak ada perhitungan kompensasinya. Apakah itu dalam bentuk nilai saham dalam usaha patungan tersebut, atau dalam bentuk sewa-menyewa selama kurun waktu masa operasi.
Bagaimanapun dana pemerintah untuk pembebasan tanah tersebut harus kembali ke negara, karena di peroleh melalui pinjaman. Dari mana sumber nya, kalau bukan dari hasil usaha talan tol itu sendiri. Dengan demikian terjadi hubungan bisnis yang layak dan wajar.. Sebaiknya hubungan kerja sama antara pemerintah (dalam hal ini diwakili oleh BPJT) dengan investor jalan tol yang telah beroperasi, di tinjau kembali dan disesuaikan dengan semangat reformasi.
Dari uraian tersebut di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu : Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 ini telah cukup menjamin secara kepastian hukum usaha di bidang jalan tol yang selama ini dituntut oleh pengelola jalan tol atau calon investor.
Perlu mereformasi segera landasan hukum Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden untuk membantu Menteri PU, Menteri Keuangan dan Meneg BUMN serta Menteri terkait lainnya agar semua kendala industri jalan tol dapat di analisis secara komprehensif untuk memacu dengan cepat pertumbuhan ekonomi negeri ini. (*)
No comments:
Post a Comment