Friday, June 6, 2008

Kebijakan Transportasi Tanpa Cetak Biru

Jumat, 6 Juni 2008 | 01:00 WIB

Karut-marutnya sistem transportasi nasional mungkin tak bisa dilepaskan dari tidak adanya cetak biru sistem transportasi nasional. Kalaupun ada, sifatnya masih sangat sektoral.

Departemen Perhubungan, Departemen Pekerjaan Umum, Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, dan juga pemerintah daerah ibaratnya jalan sendiri-sendiri.

Akibatnya, tidak pernah terbangun suatu sistem transportasi intermoda nasional yang andal, efisien, dan terintegrasi, yang mampu menopang tuntutan pergerakan dan pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah.

Menurut Direktur Bina Sistem Transportasi Perkotaan Departemen Perhubungan Elly Sinaga, pegangan pemerintah dalam pembangunan sistem transportasi nasional sekarang ini adalah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Namun, sejauh ini undang-undang ini pun baru berupa visi dan mimpi yang masih harus diwujudkan. Elly tidak menjelaskan bagaimana menerjemahkan UU No 14/1992 itu menjadi sistem transportasi nasional yang terpadu.

Menurut dia, cetak biru transportasi di Indonesia dibagi berdasarkan jenis kota, yakni kota besar, kota sedang, dan kota kecil. Kota besar adalah kota berpenduduk di atas 500.000 jiwa, kota sedang penduduknya antara 100.000-500.000. Sedangkan kota kecil adalah kota dengan penduduk di bawah 100.000 orang.

”Memang kondisi setiap kota berbeda sehingga tidak bisa disamakan antara satu dengan lainnya,” kata Elly. Di kota besar dan kota sedang, masalah yang terjadi adalah mahalnya transportasi publik. Ini berbeda dengan kota kecil. Di kota kecil, transportasi publik masih dapat dilayani dengan kendaraan kecil seperti mikrolet. Namun, beberapa masalah, misalnya penggunaan sepeda, belum digarap dengan serius.

Dia mengakui, secara umum, masalah yang dihadapi Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia adalah masalah klasik, pertumbuhan panjang jalan yang tidak sebanding dengan pertumbuhan jumlah kendaraan.

Namun, sebetulnya, membangun jalan terus-menerus pun tidak menyelesaikan masalah. Tanpa pembatasan jumlah kendaraan atau upaya mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, panjang jalan tidak akan pernah mencukupi.

Menurut Elly, sudah saatnya kebijakan transportasi mengarah kepada transportasi publik alias public transport priority. Namun, selama ini transportasi publik yang tersedia tidak memadai. Selain tidak nyaman, transportasi publik juga tidak terintegrasi dengan baik.

”Misalnya di stasiun kereta, orang kesulitan mendapatkan kendaraan menuju tempat tujuan. Seharusnya, kan, kereta api bisa terintegrasi dengan feeder busway atau bus transkota,” kata Elly.

Selama ini, moda transportasi publik di Indonesia dikuasai oleh angkutan kota berjenis mikrolet, kendaraan dengan berkapasitas terbatas. Yang membuat kondisi semakin semrawut adalah jumlah mikrolet seolah tidak dibatasi. Sebab, di masa lalu, pemerintah daerah terus-menerus mengeluarkan izin trayek tanpa ada survei yang jelas.

Padahal, kata Elly, dalam ilmu transportasi, sudah dikenal survei asal dan tujuan (origin destination survey). Artinya, sebelum menetapkan rute tertentu untuk moda angkutan tertentu, perlu diketahui berapa besar sebenarnya permintaan untuk angkutan rute itu.

Untuk kota besar dan sedang, moda transportasi yang ideal itu transportasi massal, bukan jenis kendaraan kecil seperti mikrolet. Dephub sendiri tahun ini menyiapkan 85 bus transkota di lima kota, yaitu Semarang, Pekanbaru, Balikpapan, Menado, dan Surakarta. Bus ini konsepnya mirip bus transjakarta, hanya saja tidak menggunakan lajur khusus. Bus-bus itu hanya bisa diberhentikan di halte bus dan menggunakan kartu khusus.

Sebenarnya, tahun ini seharusnya ada 22 kota, termasuk Batam, Bogor, dan Yogyakarta yang menggunakan bus transkota sebagai moda transportasinya. Namun, tidak semua pemerintah daerah berani menerapkan kebijakan itu. Masalahnya, reaksi penolakan dari masyarakat, seperti sopir mikrolet atau juru parkir, cukup besar.

Oleh karena itu, kecuali di Yogyakarta, bus transkota beroperasi mulai dari pinggiran kota dulu. Apabila bus ini sudah diterima masyarakat, lambat laun, daerah pusat kota pun akan terlayani.

Sangat sektoral

Anggota Tim Teknis Revitalisasi Perkeretaapian Nasional Suyono Dikun mengatakan, kalaupun ada cetak biru sistem transportasi nasional (sistranas), sistranas tersebut sifatnya masih sangat sektoral. ”Sektoral, karena hanya mengindikasikan bahwa akan dibangun jalur ini, lintas itu, lintas ini, pelabuhan ini, lapangan terbang ini,” ujarnya.

Menurut mantan Deputi Bidang Sarana dan Prasarana di Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas dan Deputi V Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah di Kementerian Koordinator Perekonomian ini, sistem transportasi nasional itu bukan hanya menyangkut fasilitas fisik atau membangun jalur, lintasan dan sebagainya.

”Sistranas adalah suatu sistem nilai ekonomi, dengan melihat interaksinya dengan kelembagaan, dengan peraturan perundangan, interaksinya dengan moda lain, dengan energi, tata ruang, dan sebagainya. Bukan hanya sekadar, oh, ini ada peta, kita mau bangun lintas Kalimantan, bangun jalur rel kereta api di Sumatera, dan sebagainya. Itu bagus. Tetapi bukan hanya itu. Itu enggak cukup,” tambah Suyono Dikun.

Selain sangat sektoral, semua pemangku kepentingan dan instansi atau departemen yang terkait juga terkesan berjalan sendiri-sendiri dengan ego masing-masing. Akibatnya, sangat tidak jelas transportasi nasional mau di bawa ke mana.

Ia mencontohkan kajian JICA- Bappenas mengenai sistem transportasi terintegrasi Jabodetabek (Study on Integrated Transportation Master Plan/SITRAMP) yang sudah dibiayai dengan mahal (4 juta dollar AS), tetapi akhirnya tidak jelas tindak lanjutnya hingga sekarang.

”Kejelekan kita sebagai bangsa adalah tak menghargai suatu konsep strategi yang bagus. Follow up-nya enggak ada. Pemerintah jalan aja dengan kaca mata kudanya dan tidak pernah mau berubah. Jadi tidak ada sama sekali keterpautan antara konsep, strategi, hasil studi, dan rekomendasi yang begitu bagus dengan proses pembuatan keputusan oleh pemerintah,” ujarnya.

Jabodetabek

Khusus untuk Jabodetabek, gambaran kemacetan wilayah ini pada tahun 2020 antara lain tercantum dalam laporan Rencana Induk Transportasi Terpadu (SITRAMP) yang dilakukan oleh JICA dan Bappenas pada Maret 2004. Dalam laporan itu disebutkan, Jakarta akan macet total di semua ruas jalan pada tahun 2020 jika tidak ada upaya untuk menguranginya.

Elly mengakui, di daerah seperti Jakarta sudah selayaknya angkutan massal terintegrasi dengan daerah-daerah pinggirannya, seperti Tangerang, Bogor, Depok, Bekasi. Bus transjakarta, misalnya, idealnya jalurnya menjangkau daerah yang berbatasan langsung dengan Jakarta, seperti Tangerang atau Depok.

Namun, selama ini kebijakan transportasi di Jabodetabek tidak terintegrasi karena sulitnya koordinasi antarpemerintah daerah. ”Masalahnya, kan, ada beberapa kepala daerah, baik bupati maupun gubernur yang terlibat sehingga sulit terintegrasi. Semestinya, untuk Jabodetabek, ada satu badan khusus yang mengaturnya,” kata Elly.

Untuk kendaraan pribadi, dia mengakui, di Indonesia sulit untuk menerapkan kebijakan pembatasan jumlah kendaraan, seperti diterapkan di negara tetangga Singapura. ”Soalnya terkait dengan berbagai hal, misalnya industri otomotif, dan lain sebagainya,” katanya.

Sebenarnya, yang bisa diterapkan adalah transport demand management atau manajemen yang memaksa orang mereduksi perjalanan dengan kendaraan pribadi. Dia mencontohkan penggunaan smart card atau parking policy.

Hal lain yang bisa dilakukan adalah pengenaan retribusi bagi kendaraan pribadi. Namun, hal itu masih sulit dilakukan karena untuk mengenakan retribusi, pengendara kendaraan pribadi harus mendapat kompensasi di jalan raya, seperti bebas macet.

”Karena kita belum bisa menjamin jalanan bebas macet, mungkin retribusi sulit diterapkan,” katanya.

Sebenarnya, Elly berharap kenaikan harga BBM ini menjadi momen yang tepat agar masyarakat mau beralih ke transportasi massal. Namun, dengan kondisi transportasi yang masih semrawut, apakah harapan itu dapat terwujud? (IRN/TAT)

No comments: