Saturday, September 22, 2007

ANALISIS EKONOMI



"Kartu Kuning" Terakhir untuk Perum Bulog

BUSTANUL ARIFIN

Setelah melalui serangkaian rapat Tim Ekonomi Kabinet, serta pertemuan dengan anggota parlemen dan beberapa tokoh, pemerintah mengisyaratkan memberikan kewenangan penuh kepada Perum Bulog untuk menstabilkan harga beras.

Surat Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian tanggal 31 Agustus 2007 tentang Kebijakan Stabilisasi Bahan Pangan Pokok Beras, Gula, dan Minyak Goreng memberikan kewenangan kepada Bulog untuk melakukan monopoli impor, melakukan stabilisasi harga regional tanpa menunggu perintah, membeli beras di luar harga pembelian pemerintah demi mengejar target pengadaan, dan menjaga stok beras minimal satu juta ton (Kompas, 14 September 2007).

Menurut tata krama perumusan kebijakan publik, surat Menko Perekonomian itu tidak patut dipermasalahkan. Menko Perekonomian memang harus ”melaksanakan koordinasi dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kinerja pelaksanaan kebijakan perberasan” sebagaimana amanat Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 Tahun 2007 tentang Kebijakan Perberasan.

Format ”surat lepas” seperti yang beredar itu tampak lebih baik dan fleksibel dibandingkan dengan misalnya peraturan pemerintah, peraturan presiden yang sangat formal, atau bahkan peraturan menteri bidang teknis yang terbatas jangkauannya.

Format tersebut adalah ”jalan tengah” dari wacana untuk mengembalikan status Bulog menjadi lembaga pemerintah nondepartemen seperti masa lalu. Bulog yang sejak tahun 2003 berubah menjadi perusahaan umum (perum) tampak tertatih-tatih melaksanakan prinsip-prinsip bisnis modern yang efisien dan untung, tanpa melupakan fungsi strategisnya untuk ”menyediakan pelayanan bagi kemanfaatan umum”.

Namun, masyarakat berhak mempertanyakan secara kritis tentang tujuan akhir, justifikasi ekonomi, serta konsekuensi sosial-ekonomi-politik dari pemberian hak monopoli impor beras bagi Bulog. Dengan kata lain, kesempatan Bulog memiliki hak operasional istimewa yang besar pada saat ini benar-benar menjadi ”kartu kuning” terakhir.

Jika pelaksanaannya masih terpeleset dalam arena perburuan rente seperti selama ini, tamatlah hegemoni Perum Bulog.

Masyarakat telah cukup lama dikecewakan oleh tingkah laku para pejabat Bulog yang menyimpang sehingga sulit sekali untuk mengapresiasi kiprah Bulog dalam sejarah ketahanan pangan. Saat ini jajaran direksi baru Perum Bulog benar-benar berada dalam tantangan pertaruhan jabatan dan pencitraan perusahaan bagi masa depan pengelolaan komoditas pangan strategis di Indonesia.

Peran Bulog

Pertama, status monopoli itu sendiri bertentangan dengan jiwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Namun, menjadi lain jika importir beras lain sangat letih untuk berurusan dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau penegak hukum lainnya.

Mungkin saja, Bulog dimaksudkan untuk menjadi suatu lembaga monopoli alamiah yang berwajah humanis dan tidak memberatkan produsen dan konsumen. Akan tetapi, banyak studi yang menyimpulkan bahwa status monopoli Bulog dan intervensi pemerintah yang berlebihan selama tiga dasawarsa telah menjadi kontributor penting bagi distorsi ekonomi pangan di Indonesia.

Suatu analisis dengan teknik ekonometrika mutakhir menyimpulkan bahwa Bulog tidak berperan secara signifikan dalam stabilisasi harga beras, bahkan pada isolasi pasar di era Orde Baru (1967-1998).

Fenomena keterbukaan sekarang tentu sangat menyulitkan bagi Bulog dan pemerintah untuk mengisolasi pasar beras dari pengaruh pergerakan harga di tingkat global. Menariknya, status monopoli Bulog justru berperan secara signifikan dalam stabilisasi harga gabah pada era Orde Baru, tetapi tidak sama sekali sejak era Reformasi (lihat Arifin, 2007).

Alangkah mulianya jika kebijakan yang dibuat pemerintah mampu memberikan insentif yang memadai bagi petani untuk meningkatkan produksi dan produktivitasnya. Menggerakkan ekonomi pedesaan, terutama sektor off-farm yang menciptakan lapangan kerja, dan tambahan pendapatan bagi kelompok miskin.

Selanjutnya, mekanisme kerja antara pengelolaan cadangan pangan pokok dan stabilisasi harga pangan regional belum terbangun secara sistematis. Apalagi, amanat pengelolaan tersebut diperluas pada komoditas pangan strategis lain, seperti gula dan minyak goreng yang masih sering mengalami distorsi yang meresahkan.

Sebenarnya, kewenangan baru Bulog dapat diartikan sebagai penciptaan ruang ideal bagi stabilisasi harga beras di tingkat regional. Itu karena terlalu sulit bagi negara sebesar Indonesia untuk menegakkan satu harga referensi pangan pokok dan strategis di daerah pantura Jawa dan di pedalaman Wamena di Papua, misalnya.

Perbedaan biaya produksi dan biaya transportasi antara daerah pangan surplus dan daerah pangan minus adalah ”berkah” tersendiri bagi pelaku ekonomi dan aktivitas perdagangan dalam negeri. Akan tetapi, mekanisme kerja antara Divisi Regional Perum Bulog dan pemerintah daerah masih sebatas hubungan birokratis, seperti penentuan posisi cadangan pangan dan intervensi penyaluran untuk keluarga miskin.

Mekanisme kerja seperti itu tentu harus dilengkapi hubungan fungsional-profesional untuk membangun sistem perdagangan domestik yang lebih adil dan beradab. Di sinilah esensi pentingnya adaptasi prinsip-prinsip manajemen modern dengan kinerja corporate culture menjadi prasyarat mutlak bagi tercapainya tugas dan kewenangan baru Perum Bulog tersebut.

Pengelolaan cadangan pangan pokok di tingkat regional adalah upaya untuk ”membagi beban” persoalan pemerintah pusat, selain memang diamanatkan undang-undang.

Mungkin tidak banyak yang menyadari bahwa ketahanan pangan adalah ”urusan wajib” pemerintah daerah, seperti termuat pada Pasal 3 Ayat (1) Huruf (m) dari PP No 3/2007 tentang Laporan Pemerintah Daerah kepada Pemerintah, sebagai amanat Pasal 13 dan 14, keduanya tertulis pada Ayat (1) Huruf (p) dari UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Dengan buruknya proses pelaporan dan pemantauan harga pangan di daerah selama ini, pemerintah daerah dan Bulog tentu menghadapi tantangan besar. Apalagi masih harus memperbaiki kinerja perdagangan domestik dan meningkatkan gizi makro masyarakat, sebagaimana amanat kebijakan beras untuk keluarga miskin.

Singkatnya, untuk menjadi pelaku tangguh di bidang pangan, budaya perusahaan di dalam Perum Bulog harus berubah total dari kultur birokrasi selama ini. Akan tetapi, pada saat yang sama, Bulog tidak layak mengambil untung ketika menjalankan fungsi sosialnya. Karakter dualisme manajemen seperti itu hanya dapat dilaksanakan oleh Superman.

No comments: