Tuesday, September 11, 2007

Pemerintah dan Kebutuhan Pokok


Tata Mustasya

Seberapa besar arti pemenuhan kebutuhan pokok bagi masyarakat? Sebuah paper Economic Shocks and Civil Conflict: An Instrumental Variables Approach yang ditulis Edward Miguel, Shanker Satyanath, dan Ernest Sergenti dapat membantu kita menjawab pertanyaan tersebut.

Paper tersebut menganalisis hubungan curah hujan dan perang sipil di 41 negara Afrika antara tahun 1981-999. Hasilnya, penurunan curah hujan di negara tersebut—kebanyakan merupakan negara agraris—dalam periode tanam tertentu secara signifikan menyebabkan penurunan perekonomian dalam jangka pendek, dan pada gilirannya menimbulkan perang sipil. Tidak ada perbedaan dalam hubungan sebab akibat tersebut di negara yang lebih kaya, lebih demokratis, atau negara dengan etnik lebih beragam.

Soal yang relevan buat Indonesia, kemampuan sebuah perekonomian untuk menyediakan penghidupan yang layak bagi masyarakat menentukan situasi sosial dan politik. Hal ini, terutama, terkait dengan naiknya harga banyak kebutuhan pokok—beras, gula, minyak goreng, dan lainnya—saat ini. Yang terakhir adalah kelangkaan dan tingginya harga minyak tanah, produk yang sebagian besar dikonsumsi oleh kategori ekonomi menengah ke bawah.

Susutnya peran pemerintah

Pascakrisis 1997-1998, perekonomian Indonesia belum juga pulih. Ada dua hal dasar yang belum dibenahi. Pertama, pertumbuhan ekonomi yang didorong investasi. Kedua, pemerataan hasil pertumbuhan tersebut dalam bentuk lapangan kerja, ketersediaan barang dengan harga yang dapat diakses. Pemerintahan Orde Baru menjaga dua hal ini dan menyandingkannya dengan stabilitas politik dalam Trilogi Pembangunan.

Situasi ekonomi saat ini tidak terlepas dari perubahan-perubahan akibat krisis multidimensi dan reformasi pada tahun 1998. Titik waktu tersebut telah mengubah peran pemerintah dan perbandingan kekuatannya dengan sektor swasta, organisasi masyarakat sipil, dan dunia internasional. Hal detail, hingga antrean minyak tanah hari-hari ini, merupakan resultan perubahan itu.

Pada Orde Baru, pemerintah memiliki kekuatan tak tertandingi dibandingkan dengan kekuatan-kekuatan lain di dalam negeri. Hampir semuanya berusaha agar bersifat "kompatibel" dengan rezim Soeharto. Bersamaan dengan itu, dunia internasional mendukung penuh secara eksplisit, termasuk dalam pembiaran korupsi pinjaman luar negeri.

Bentuk politik ekonomi Indonesia selama 32 tahun, 1966-1998, dengan demikian ialah kapitalisme-otoritarian. Perusahaan-perusahaan besar sebagai motor perekonomian berkembang dengan mengkroni kepada Soeharto sebagai poros.

Hasilnya ialah dua hal yang bersifat paradoks. Pertama, luas dan kuatnya peran pemerintah. Satu hal yang positif, pemerintah punya ruang dan kekuatan untuk menjamin pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat dan merencanakan pembangunan jangka panjang. Di sisi lain, pemerintah menjadi sangat korup dan otoriter.

Resultan dua hal tersebut kemudian bertemu dengan krisis ekonomi 1998 yang dipicu krisis keuangan regional. Indonesia kemudian, mau tak mau, harus berubah. Sistem ekonomi praktis tak berubah. Yang berubah adalah menyusutnya peran pemerintah karena dua hal. Pertama, perannya memang menyempit karena privatisasi dan liberalisasi seperti yang diperintahkan oleh Dana Moneter Internasional (IMF). Kedua, berimbang bahkan lemahnya posisi pemerintah dibandingkan dengan kekuatan-kekuatan politik, sektor swasta, dan masyarakat. Desentralisasi merupakan warna lain yang signifikan.

Memenuhi kebutuhan pokok

Keseimbangan baru ini diharapkan memperbaiki kesejahteraan. Logikanya, masyarakat mempunyai daya tawar lebih kuat vis a vis pemerintah sehingga menghasilkan pertumbuhan disertai pemerataan dan pemerintahan yang bersih.

Kenyataannya, demokrasi lebih menjadi keseimbangan baru antarelite politik, seperti tercermin dalam bagi-bagi kekuasaan komposisi kabinet pascareformasi. Walaupun demikian, ada hasil-hasil menggembirakan, seperti kebebasan pers dan hak warga negara memilih langsung pemimpin formal, baik dalam pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah.

Yang terparah justru terjadi pada sistem ekonomi, "kapitalisme" tidak lagi mampu dikontrol oleh pemerintah. Sebaliknya, dalam banyak hal, sektor swasta berhasil mengendalikan pemerintah lewat pendanaan politik yang kebutuhannya meningkat drastis pada era demokrasi.

Soalnya adalah hal ini telah melumpuhkan pemerintah dalam memenuhi salah satu hak dasar terpenting warga negara, yaitu kebutuhan pokok. Kita melihat pemerintah tak berdaya mengendalikan ekspor minyak sawit mentah untuk menurunkan harga minyak goreng. Hal sama terjadi dalam penyediaan dan kendali harga beras, telur, minyak tanah, dan kebutuhan pokok lainnya. Bersamaan dengan itu, pelayanan kesehatan dan pendidikan serta keamanan yang layak banyak mengalami privatisasi.

Kita tak boleh menyia-nyiakan momen- tum saat ini, ketika kita memiliki energi potensial demokrasi, kebebasan pers, dan barangkali sisa kepercayaan publik. Elite politik, sektor swasta, dan masyarakat sipil harus mau duduk bersama dengan menjadikan pemenuhan kebutuhan pokok seluruh masyarakat tanpa kecuali sebagai motivasi utama. Perubahan perilaku (nilai) dan perubahan sistem (peraturan) mesti dilakukan serentak. Saya kira, kita tidak punya pilihan lain dan waktu yang banyak untuk menjalankannya.

Tata Mustasya Analis Kebijakan Publik dan Ekonomi-Politik

No comments: