Mengoptimalkan Bimas Melalui Komunitas Estat Padi
Jakarta, Kompas - Institut Pertanian Bogor menawari pemerintah merevitalisasi program Bimbingan Massal atau Bimas di bidang pertanian, yang pernah membawa Indonesia swasembada beras tahun 1984.
"Komunitas Estat Padi (KEP) sebagai rekayasa sosial untuk agrobisnis padi sebagai satu unit ekonomi. KEP ini sebagai revitalisasi Bimas," kata Wakil Rektor I Bidang Akademis Institut Pertanian Bogor (IPB) MA Chozin, Selasa (4/9).
Program KEP berbentuk konsolidasi area pertanian milik berbagai kelompok tani dengan luas area diharapkan berkisar 150-200 hektar. Kemudian diikuti konsolidasi manajemen tanpa menggusur kepemilikan lahan petani.
Chozin mengatakan, IPB saat ini bekerja sama dengan gabungan kelompok tani Pejuang Siliwangi Indonesia di Subang, Jawa Barat, merealisasikan percontohan KEP untuk 150 hektar.
Harapannya, lanjut Chozin, konsep KEP dapat diterapkan secara nasional. Ini terkait dengan pencanangan pemerintah mengenai program Peningkatan Produksi Beras Nasional dua juta ton beras per tahun pada tahun ini dan peningkatan lima persen untuk tahun-tahun berikutnya.
Dekan Fakultas Pertanian IPB, Didy Sopandie, mengatakan, konsep KEP menyempurnakan konsep Bimas. Beberapa kelemahan konsep Bimas adalah dalam pengelolaan pertanian padi yang dinilai kurang ramah lingkungan, memiliki input (modal) tinggi, kelembagaan petani lemah, tunggakan kredit besar, penyuluhan instruktif, kekurangan tenaga penyuluh, dan fungsi penyuluh melebih pada kegiatan administratif. Bahkan, penyediaan sarana produksi pertanian melalui konsep Bimas tergolong minimal.
"Konsep KEP sebagai Bimas generasi kedua," kata Didy. Konsep itu merupakan reformasi produksi padi yang diarahkan menjadi unit profesional yang dijalankan komunitas petani sendiri.
Pendukung aplikasi KEP, dikembangkan teknologi precision farming (pertanian dengan masukan terukur), meliputi masukan varietas, benih, pupuk, air, bahan organik, dan amelioran (cara meningkatkan produksi serta menekan biaya pokok) dengan target produksi dan kelestarian lingkungan.
"Konsep ini bukan tanpa kendala. Kondisi kepemilikan lahan petani kita sempit, rata-rata hanya 0,5 hektar per petani, sehingga dibutuhkan pendekatan yang tepat untuk mewujudkan konsolidasi manajemen," kata Didy. (NAW)
No comments:
Post a Comment