Tuesday, September 11, 2007

Bank Dunia di Bawah Zoellick


Ahmad Erani Yustika

Setelah kredibilitas Presiden AS George W Bush di Bank Dunia sempat jatuh akibat skandal yang dilakukan bekas Presiden Bank Dunia Paul Wolfowitz, para pengamat ekonomi dan politik memperkirakan proses pemilihan Robert B Zoellick—calon yang disodorkan Bush untuk menggantikan posisi Wolfowitz—bakal berliku.

Akan tetapi, ternyata dugaan itu meleset setelah beberapa minggu lalu Dewan Direktur Bank Dunia (BD) menyetujui penunjukan Zoellick nyaris tanpa perdebatan. Dengan demikian, seperti yang sudah menjadi konvensi selama ini, posisi Presiden BD masih dipegang Amerika Serikat (AS), sedangkan penguasa Dana Moneter Internasional (IMF) berasal dari Eropa. Tentu saja, masuknya Zoellick ke BD menunjukkan masih kuatnya kuku Bush mencengkeram BD sebab, seperti halnya Wolfowitz, Zoellick merupakan salah satu orang kepercayaan Bush. Setidaknya, sejak tahun 2000 Zoellick selalu masuk lingkaran penting dalam pemerintahan Bush di Gedung Putih.

Sejak Wolfowitz menjadi Presiden BD menggantikan James Wolfensohn, tampak telah terjadi perubahan kebijakan BD. Secara normatif, sebetulnya BD didesain untuk membantu negara-negara berkembang dan miskin memformulasikan anggaran dan kelembagaan keuangan negara supaya tertata dengan baik. Tentu saja upaya itu tidak cukup dengan memberikan bantuan teknis dan konsultasi, tetapi juga pertolongan pendanaan. Terlepas dari soal banyaknya aspek negatif yang timbul sebagai implikasi dari bantuan tersebut, bisa dilihat kompetensi BD berada di wilayah isu-isu struktural-ekonomi. Hal itulah yang menjadi corak kebijakan BD selama lebih-kurang 60 tahun ketika Indonesia menjadi salah satu bagian dari mata rantai peran BD dalam perekonomian dunia. Namun, sejak 2005 terjadi perubahan kebijakan BD yang sangat signifikan, yaitu saat BD secara lebih tegas tampak seperti sayap politik luar negeri AS.

Indikasi itu bisa dilihat dari peran BD yang begitu eksesif di Irak, bahkan dalam beberapa segi tampak begitu berlebihan. Di sinilah titik temu itu bisa dilacak, di mana dalam lima tahun terakhir ini Irak merupakan ladang persemaian kepentingan ekonomi politik AS sekaligus menafkahi berahi kekuasaan Bush. Salah satu arsitek Perang Irak tidak lain adalah Wolfowitz, yang dianggap sebagai salah satu tiang penting dari pemikir ultrakanan AS. Jadi, begitu Wolfowitz menjadi Presiden BD, lengkaplah bekal Bush untuk menjadikan Irak sebagai laboratorium ekonomi-politiknya. Berbekal mandat yang luas itulah Wolfowitz membuat garis kebijakan baru yang menjadikan BD sebagai sayap politik luar negeri AS. Fakta yang tidak dapat ditutupi, BD sejak itu mulai kerap berbicara pentingnya demokratisasi sebagai salah satu pilar keberhasilan reformasi ekonomi. Walaupun isu ini memang benar dan penting, menjadi rancu bila yang berteriak-teriak adalah BD.

Visi dan kebijakan itulah yang tampaknya bakal menjadi menu utama BD di bawah Zoellick. Pertama, Zoellick jelas pribadi yang tidak terlalu peduli (concern) dengan misi utama BD karena latar belakangnya yang kurang bersentuhan dengan bidang ekonomi. Secara akademis, dia merupakan pemikir bidang hukum dan memperdalam bidang kebijakan publik untuk studi lanjutnya. Dengan begitu, secara akademik, kepekaannya lebih terasah untuk aspek-aspek yang lebih banyak bersinggungan dengan kompetensinya. Kedua, kariernya di pemerintahan juga lebih banyak bersinggungan di luar bidang ekonomi. Misalnya, tahun 1992 menjadi Wakil Kepala Staf Gedung Putih, tahun 2000 sebagai Penasihat Kebijakan Publik Presiden Bush, dan 2005-2006 sebagai Wakil Menteri Luar Negeri AS. Kariernya yang berhubungan dengan bidang ekonomi hanya terjadi tahun 1985 ketika masuk Departemen Keuangan AS dan 2001-2005 sebagai delegasi perdagangan AS.

Menjepit Bank Dunia

Data-data mutakhir menunjukkan bahwa kesetaraan kesejahteraan ekonomi dunia semakin timpang, yang salah satunya dipicu oleh globalisasi dan liberalisasi. Celakanya, inisiator terpenting proyek globalisasi dan liberalisasi tersebut adalah BD. Dengan demikian, secara kategoris sulit mengharapkan lembaga multilateral ini berperan untuk mengatasi kompleksitas persoalan ketimpangan ekonomi dunia. Sekadar gambaran, menurut Wolfensohn (International Herald Tribune, 4/6/2007), selama 50 tahun terakhir ini AS dan Eropa (yang dihuni oleh 20 persen penduduk menguasai 80 persen bagian pendapatan dunia (share of global income). Sisanya, 20 persen pendapatan dunia dikunyah oleh ratusan negara. Sedihnya lagi, bantuan pembangunan ke Afrika (benua paling muram di dunia) menurun dari 49 dollar AS (1980) menjadi tinggal 38 dollar AS (2005). Maka, sebetulnya selama 25 tahun terakhir ini telah terjadi proses pemelaratan sistematis di Benua Afrika dari dua penjuru sekaligus: ekstensifikasi liberalisasi dan reduksi dana bantuan pembangunan.

Jadi, terlihat dengan sangat jelas terdapat selisih jalan antara figur yang ditunjuk oleh Bush untuk memimpin BD dan tantangan yang harus dijawab BD di masa depan. Dalam kasus ini hanya terdapat satu cara untuk bisa mengubah misi BD dan Zoellick, yakni secara kolektif seluruh anggota (termasuk Eropa) menjepit BD agar sensitif terhadap isu kemiskinan dan ketidakadilan ekonomi yang dialami oleh negara-negara berkembang. Tentu, di luar level negara, gerakan ini mesti diperkuat oleh para pegiat organisasi nonpemerintah, akademisi, dan pelaku ekonomi kecil (seperti petani) sehingga turut menambah daya tekan terhadap BD. Gelombang tekanan ini sudah dimulai oleh World Social Forum, tetapi kekuatannya untuk mengubah konstelasi kebijakan BD (dan juga lembaga keuangan multilateral lainnya) masih belum kukuh. Jika seluruh upaya ini masih menemui jalan buntu, mungkin sudah tiba waktunya berpamitan kepada Bank Dunia.

Ahmad Erani Yustika Dosen Departemen Ilmu Ekonomi Unibraw; Direktur Eksekutif ECORIST (The Economic Reform Institute)

No comments: