Saturday, September 22, 2007

Hegemoni Amerika dan Pasar Bebas


Eric Hiariej

Pasar bebas, menurut para penganutnya, adalah mekanisme yang tumbuh berdasarkan voluntarisme, kerja sama, dan multilateralisme. Karena itu, pasar bebas diyakini sejalan dengan perwujudan hak asasi manusia, keberagaman, dan toleransi.

Sebaliknya, Pemerintah Amerika melihat perluasan pasar bebas, dalam lima-enam tahun terakhir, merupakan produk dominasi globalnya yang bersifat unilateral dan berpijak pada kekuatan militer. Atas nama superioritas orde moral tertentu, yakni sebagai teladan dan pelindung kebebasan, demokrasi, dan pasar bebas, pemerintah ini menyerang Afganistan dan Irak.

Paradoks ini juga ditemukan dalam tulisan Thomas Friedman. Dalam The Lexus and the Olive Tree, Friedman menggambarkan perkembangan global pasar bebas bersifat spontan, hasil kepentingan bersama umat manusia dalam hal kebebasan, kemajuan, dan kemakmuran. Anehnya Friedman meyakini, "The hidden hand of the market will never work without the hidden fist… And the hidden fist that keeps the world safe for Silicon Valley’s technologies to flourish is called the US Army, Air Force, Navy and Marine corps" (1999: 373). Lebih aneh lagi, Friedman tidak menjelaskan kenapa pasar bebas yang berbasiskan hidden hand masih memerlukan hidden fist.

Friedman sulit menjelaskan karena teori-teori neoliberalis yang dianutnya secara naif menganggap pasar bebas bisa berkembang secara natural. Padahal sejarah menunjukkan koersi selalu berperan dalam pertumbuhan kapitalisme global walau dibungkus dengan jargon voluntarisme dan multilateralisme.

Beberapa dekade terakhir mekanisme paksaan yang membuka negara-negara berkembang bagi ekspansi kapitalisme dan menyubyektifikasi pekerja di bawah disiplin modal adalah program penyesuaian struktural. Aspek koersi penyesuaian struktural tak tampak berkat mistifikasi yang disediakan oleh "keilmiahan" teori-teori ekonomi neoklasik.

Pamor ideologi

Sebetulnya setelah Perang Dingin kekuatan koersi kalah pamor dibandingkan dengan ideologi. Neohegelianisme yang menerangi diskursus kemenangan (neo-) liberalisme yang menjadi dasar utama hegemoni ideologi waktu itu menegaskan, pasar bebas yang terdepolitisasi merupakan produk pamungkas dan tak terhindarkan dari evolusi umat manusia. Namun, sejak 11 September 2001 terjadi pergeseran perimbangan antara koersi dan ideologi dalam proses perluasan kapitalisme.

Signifikansi peristiwa 11 September tidak berkaitan dengan besaran kematian dan kerusakan yang ditimbulkannya, tetapi mengakhiri exceptionalism yang dimiliki Amerika. Selama satu abad lebih bangsa Amerika percaya mereka secara istimewa hidup dalam ruang sosial yang terpisah dan kebal terhadap berbagai kesulitan seperti perang, aksi teroris, dan kelaparan yang melanda dunia di luar dirinya. Yang hilang setelah serangan ke WTC adalah ketenteraman dan keamanan yang bertahun-tahun disokong keyakinan "those things don’t happen here". Terorisme bukan barang baru dan dunia mungkin tidak berubah tapi cara pandang Amerika terhadap apa yang terjadi di luar dirinya berubah total setelah serangan tersebut.

Ironisnya 11 September justru mempertegas bentuk exceptionalism lain Amerika sebagai satu-satunya pemimpin dunia yang memiliki kekuatan paksaan dan moral untuk melindungi kebebasan, demokrasi, dan pasar bebas terhadap fanatisme dan radikalisme. Dikombinasikan benih-benih hyper-patriotism yang mencurigai segala bentuk otherness, Pemerintah Amerika menjajakan politik luar negeri "neo-imperial" untuk melindungi warganya dari kemungkinan serangan teroris berikutnya, mempertahankan posisi negaranya dalam struktur global, dan menjamin nilai-nilai kemanusiaan universal.

Kekuasaan dan paksaan

Peralihan menjadi koersi dimulai pada 1997 saat kelompok neokonservatif membentuk Project for A New American Century (PNAC). PNAC bertujuan memersuasi warga Amerika untuk ikut menanggung beban negaranya dalam mempertahankan tatanan dunia yang bersahabat bagi kepentingan dan prinsip-prinsip luhur yang dijunjung tinggi bangsa Amerika. PNAC yakin Amerika memerlukan "a Reaganite policy of military strength and moral clarity" yang diproyeksikan ke seluruh dunia (PNAC 1997). PNAC menegaskan orde internasional ini bukan perkara kekuatan militer yang tak tertandingi, melainkan juga soal kekuatan moral yang tak ada bandingannya. Bagi PNAC, "The American-led world that emerged after the Cold War is a more just world than any imagin-able alternative". Praktis strategi keamanan nasional yang diajukannya mengombinasikan komitmen pada unilateralisme, supremasi militer, dan penggunaan kekuatan pre-emptive strike yang dibenarkan oleh asumsi mesianik tentang superioritas moral bangsa Amerika.

Ketika George Bush menjadi presiden, tokoh utama PNAC, Dick Cheney, Donald Rumsfeld, dan Paul Wolfowitz, menempati posisi penting dalam administrasinya. Tak heran respons terhadap 11 September identik dengan strategi keamanan PNAC. Sudah tentu Bush yunior tidak mengabaikan komitmen lama Amerika memperluas pasar bebas. Hanya saja ia meninggikan derajat pasar bebas menjadi sebuah prinsip moral bersama kebebasan dan demokrasi. Ketiga prinsip ini bagi pemerintahan Bush bersifat universal dan satu- satunya model yang berkelanjutan bagi keberhasilan suatu bangsa.

Sejak lama perkembangan pasar bebas bertumpu pada voluntarisme, multilateralisme, dan kerja sama dengan maksud sebisa mungkin memisahkan ekonomi dari politik dan karena itu memistifikasi kerja kekuasaan dan paksaan. Setelah 11 September mistifikasi ini tidak bisa dipertahankan. Strategi keamanan Pemerintah Amerika mengaitkan secara langsung dan tegas hubungan antara perkembangan kapitalisme global dan kekuatan militer.

Eric Hiariej Pengajar di Jurusan Hubungan Internasional, UGM

No comments: