Roch Basoeki Mangoenpoerojo
Elit negara hukum (seharusnya) tahu melaksanakan dan menjaga perundang-undangan demi tata kehidupan nyata.
Ketika mereka tak tahu, tidak menjaga, apalagi menjalankannya, lalu membiarkan kekacauan di mayapada, apa yang diakibatkan? Kacaunya manajemen bernegara karena keberadaan aturan buatan sendiri tidak terhormat. "Semua bisa diatur," kata politisi. "Ada peluang (korupsi) kenapa harus dibenahi," kata birokrat.
Jangan-jangan, sejak pembuatan UU memang sudah penuh "pengaturan" untuk kepentingan para pembuatnya? Bukan demi kehidupan bersama atau tujuan negara. Bila benar, toh tidak salah. Karena luar biasanya kompleksitas permasalahan negara, bahkan menyepakati "deskripsi tujuan negara" pun sulit.
Manajemen bidang apa pun menyebut "tujuan" sebagai asas pertama dan utama, yang akan menggerakkan seluruh komponen organisasi. Tujuan negara Indonesia sangat beragam, artinya tidak punya. Apalagi ketika GBHN menghilang. "Membangun manusia seutuhnya", "Masyarakat adil dan makmur", "Masyarakat bertakwa sejahtera", dan masih banyak sesuka hati kita (entah sumbernya).
Paling banyak disebut adalah "melindungi, memajukan kesejahteraan, mencerdaskan, dan ikut dalam ketertiban dunia". Penggalan kalimat ini berada di Pembukaan UUD Alinea 4, disebut sebagai tugas pemerintahan bukan tujuan negara. Hemat saya, tujuan negara berada di Alinea 2, yaitu mengantarkan rakyat agar merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Harus disebut lengkap, akibat penjajahan.
Satunya tujuan negara akan merugikan banyak pihak, khususnya elite penderita kemiskinan struktural yang berprinsip pragmatisme sempit. "Ujung- ujungnya duit kan?" Tak siap memikir kepentingan 230 juta orang yang beragam visi masa depannya.
Mereka peserta penataran P-4 tak salah, dijadikannya rumus Maslow sebagai doktrin (seharusnya hanya untuk membaca human-needs). "Ngapain ngurus orang banyak (negara) kalau kamu sendiri belum mapan," katanya. Semakin banyak elite berprinsip demikian, kesemrawutanlah yang terjadi.
Warga negara dan penduduk
Tidak dihormatinya aturan, sejak Pembukaan UUD sampai Perda, berakibat makin jauh kesenjangan antara wacana (teoretis) dan realita di lapangan. Setiap bicara soal rakyat, elite kaya akan teori. Namun ketika mau melangkah untuk rakyat, oleh banyak sebab elite kehilangan visi.
"Berbicara", rakyat selalu dilihat sebagai warga negara pemilik kedaulatan negara (UUD dan seluruh perundangan). Namun saat lihat proyek, rakyat selalu didudukkan sebagai "penduduk" yang harus manut. Ini terjadi di semua bidang kehidupan. Sangat mencolok ketika melihat korban "bencana lumpur di Sidoarjo".
Dua macam perilaku 11.000 KK korban. Yang manut pada BPLS (Perpres No 14/2007) 10.000 KK lebih. Mereka menerima uang kontrak dua tahun sebesar Rp 5,5 juta dan disumpah untuk menerima ganti rugi/ jual beli tanah dan bangunan sebesar 20 persen dari harga sebelum 15 September dengan menyerahkan sertifikat, serta sisanya dua tahun lagi. Sementara yang 800 KK menolak uang kontrakan dan ganti rugi.
Korban penolak kontrak jadi masalah pelik bagi Ibu Lurah. Di matanya mereka adalah "penduduk" mbalelo. Terlihat nyata dari keengganan aparat pemerintah pusat sampai RT/RW untuk mengurus. Masyarakat pun takut bantu. Namun, saat saya dan Gus Solah mengunjungi Lurah, dinyatakan "akan menghormati hak korban yang menolak".
Teguhnya penolakan didasari konsep "warga negara" yang mereka pahami. Ditunjukkannya sikap merdeka, bersatu, dan berdaulat (lihat Alinea 2 Preambul). Elite gagap menyaksikan sikap warga negara (yang benar?).
Kapan rakyat berdaulat tergantung penghormatan elite pada aturan yang telah ada. Perpres No 14/2007 tentang Penanggulangan Lumpur Sidoarjo tak menyebut sama sekali bahwa di Sidoarjo ada bencana. Itu tak menghormati UU No 24/ 2007 tentang Penanggulangan Bencana, UU Pokok Agraria, UU Lingkungan, dan mungkin masih ada lainnya. Apalagi terhadap tujuan negara. Ini bencana negara.
Roch Basoeki Mangoenpoerojo Anggota Presidium Barisan Nasional
No comments:
Post a Comment