Sunday, September 23, 2007

Keterpurukan Hidup Petani

Penulis: Razali Ritonga,
Kepala Subdirektorat Analisis Konsistensi Statistik, BPS

Meski Hari Tani jatuh pada 24 September dan telah diperingati selama 47 tahun, nasib petani tidak pernah berubah. Petani hingga kini masih didera masalah, tidak hanya terkait dengan soal lahan, tapi juga kemiskinan.

Beberapa waktu lalu, BPS mengumumkan penurunan penduduk miskin secara nasional sebanyak 2,13 juta orang, yakni dari 39,30 juta orang (17,75%) pada Maret 2006 menjadi 37,17 juta orang (16,58%) pada Maret 2007. Namun, jika ditilik menurut daerah perkotaan dan pedesaan, terdapat perbedaan penurunan jumlah penduduk miskin. Di perkotaan terjadi penurunan sebanyak 930 ribu orang, sedangkan di pedesaan 1,20 juta orang selama Maret 2006-Maret 2007. Patut dicatat, meski terjadi penurunan penduduk miskin di pedesaan yang sedikit lebih tinggi jika dibandingkan dengan perkotaan, hampir 63,52% penduduk miskin di Tanah Air menetap di pedesaan (BPS, 2007).

Lahan sempit

Ditengarai, salah satu penyebab kemiskinan di pedesaan adalah kondisi pertanian yang kurang memberikan insentif bagi petani. Kehidupan petani terjepit di antara dua musim, yaitu musim tanam dan musim panen. Pada musim tanam, petani dihadapkan mahalnya input pertanian, seperti bibit, pupuk, dan pestisida. Pada musim panen, petani gigit jari karena harga produk pertanian merosot.

Sebenarnya, peluang untuk meningkatkan insentif itu masih terbuka lebar melalui intensifikasi untuk meningkatkan produktivitas lahan. Namun, peluang itu sulit diwujudkan mengingat sebagian besar petani memiliki lahan sempit. Berdasarkan hasil Sensus Pertanian 2003, tercatat 56,5% rumah tangga tani menguasai lahan kurang dari setengah hektare. Petani dengan lahan sempit kerap disebut petani gurem.

Intensifikasi dengan mekanisasi pertanian jelas tidak rasional jika diterapkan pada lahan sempit. Sebab, biaya awal yang dikeluarkan sangat besar dan tidak proporsional dengan lahan yang digarap. Ditengarai, faktor kepemilikan lahan yang tergolong sempit di tanah air menjadi kendala dalam melakukan intensifikasi dengan mekanisasi untuk menggenjot produksi dalam rangka memenuhi swasembada pangan.

Globalisasi

Keterpurukan hidup yang dialami petani tampaknya kian menjadi-jadi terkait dengan faktor globalisasi. Perdagangan internasional pascaglobalisasi menyebabkan membanjirnya produk pangan murah. Celakanya, produk itu menyebabkan petani kian terpuruk karena kalah bersaing. Satu hal yang menyebabkan produk petani kalah bersaing dengan produk impor adalah ketidakmampuan petani memenuhi standar produksi berkelas internasional (world class). Untuk mencapai standar world class itu, salah satu cara adalah melalui mekanisasi pertanian. Suatu hal yang sulit dipenuhi petani di Tanah Air terkait dengan kepemilikan lahan yang kurang memadai.

Kini kian disadari, globalisasi merupakan jebakan bagi negara berkembang, seperti Indonesia. Sebab, globalisasi identik dengan daya saing. Maka, negara yang memiliki daya saing tinggi, seperti negara maju, mudah memenangi persaingan. Bahkan sejumlah negara maju menerapkan cara-cara yang sulit diikuti negara berkembang. Cara terjitu adalah memberikan subsidi kepada petani.

Bahkan, strategi subsidi itu terklasifikasi menurut komoditas. Hal itu antara lain diterapkan Amerika Serikat dengan subsidi terbesar pada kacang-kacangan sebesar US$3,6 miliar, jagung dan kapas yang masing-masing US$2,8 miliar, dan padi US$763 juta (Dhar, 2004). Subsidi yang diberikan kepada petani demikian besarnya sehingga mampu menekan biaya produksi menjadi lebih rendah daripada biaya yang semestinya dikeluarkan, seperti gandum sekitar 43%, kacang-kacangan 25%, jagung 13%, kapas 61%, dan beras 35% (Dhar, 2004).

Fenomena subsidi itu mengingatkan kita pada politik dagang dumping, yaitu mengekspor barang dengan harga lebih murah daripada harga di dalam negeri. Namun karena politik dumping bertentangan dengan etika perdagangan internasional, digunakan cara lain, yaitu subsidi.

Asimetri perdagangan itu akhirnya merugikan petani dan berpotensi menyebabkan petani gulung tikar. Petani kacang-kacangan di Tanah Air, misalnya, turun dari 5 juta menjadi 2,5 juta orang (UNDP, 2005).

Sebagai dampak lanjut dari asimetri perdagangan itu, tidak sedikit petani yang meninggalkan lahan pertanian dan pindah ke perkotaan. Celakanya, daerah perkotaan belum siap menerima penduduk yang pindah dari pedesaan. Karena itu, fenomena urbanisasi kemiskinan itu berpotensi meningkatkan angka kemiskinan di perkotaan. Barangkali jika fenomena urbanisasi kemiskinan tidak terjadi, angka kemiskinan di perkotaan akan lebih rendah, sebaliknya di pedesaan lebih tinggi daripada angka yang tercatat.

Atas dasar itu, berbagai upaya perlu dilakukan agar petani terbebas dari keterpurukan. Grand design diperlukan untuk membangun sektor pertanian secara menyeluruh. Hal mendasar yang perlu dipikirkan untuk mengimplementasikan grand design adalah perlindungan dan fasilitasi pemerintah terhadap petani dalam berbagai aspek. Seperti land reform, perkreditan, tata perdagangan dalam dan luar negeri, subsidi, riset dan pengembangan pertanian, serta perencanaan kesempatan kerja. Dalam konteks itu, mulai dipikirkan bagaimana memperluas kepemilikan lahan petani. Cara lain, menggabungkan lahan dari petani lahan sempit yang pengelolaannya secara bersama. Perluasan lahan itu penting dilakukan untuk efisiensi dalam penggunaan teknologi pertanian. Besar harapan, Hari Tani kali ini menjadi momentum untuk membebaskan petani dari keterpurukan.

No comments: