Dua Versi Merdeka
Semua peristiwa di negeri ini terdiri atas lebih dari sebuah versi. Toh, setiap peristiwa tak ubahnya sebuah lagu: ada versi rekaman, remix, live, dangdut, sampai akustik.
Suburnya multiple versions mencerminkan kehidupan masyarakat yang menderita penyakit kepribadian jamak atau multiple personalty disorder (MPD). Pemimpin, pemerintah, dan masyarakat gemar bersandiwara.
Contoh peristiwa dengan multiple versions adalah korupsi. Bagi masyarakat penderita MPD, korupsi itu relatif, multitafsir, dan enggak ada urusannya dengan "benar" atau "salah".
Masyarakat yang sehat percaya teori "korupsi mutlak diberantas tanpa pandang bulu". Namun, masyarakat penderita MPD percaya teori "korupsi diberantas setelah lihat-lihat kanan-kiri dulu".
Penangkapan anggota Komisi Yudisial (KY), Irawady Joenoes, terdiri dari tiga versi. Versi KPK bilang Irawady terima suap Rp 600 juta + 30.000 dollar AS dari pengusaha Freddy Santoso.
Versi Irawady bilang ia dapat tugas dari KY melakukan investigasi pengadaan tanah. Makanya ia punya surat tugas dan melaporkan hasil investigasinya saat itu juga lewat HP kepada Ketua KY Busyro Muqoddas.
Versi Busyro bilang surat tugas itu bersifat umum dan tak ada kaitannya dengan proses pengadaan tanah. Versi mana yang benar, wallahualam bisawab.
Proses penyidikan dugaan suap terhadap Jenderal (Purn) Hartono dan Letjen (Purn) TB Silalahi terkait korupsi di PT Asabri terdiri dari lima versi. Versi Kejaksaan Agung jelas, penyidikan atas mereka distop karena belum cukup bukti.
Versi Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto malah menyilakan Kejaksaan Agung memeriksa tanpa melalui pengadilan koneksitas. Versi Hartono bilang yang penting ia sudah mengembalikan rumah dari pengusaha Henry Leo.
Versi keluarga Silalahi lain lagi karena melibatkan dua orang bernama Silalahi. Menurut versi keluarga Silalahi, rumah di Ancol bukan atas nama TB Silalahi, tetapi atas nama putranya, PB Silalahi.
Nah, PB Silalahi mengaku "membeli" rumah itu dari Henry. Sebaliknya, versi Iyul Sulinah, istri Henry, mengatakan rumah itu "diberikan" (alias bukan "dijual") kepada PB Silalahi.
Masyarakat menderita MPD sejak pecahnya Gerakan 30 September (G30S) 1965. Soalnya, penyebab peristiwa terdiri dari aneka versi, mulai dari versi CIA, pakar Barat, PKI, China, Rusia, sampai Buku Putih.
Gara-gara G30S, para pejabat doyan "versi oknum". Ini versi yang sampai kini terlaku untuk dijual, termudah untuk cuci tangan, dan terpercaya untuk ngibul.
Beberapa hari lalu terjadi bentrok antara sejumlah personel TNI AD dan kepolisian di Ternate. Ini peristiwa yang sering terjadi dan memperparah penyakit MPD.
Aparat yang mestinya menjaga keamanan di Ternate malah tawuran, bukannya mewaspadai terorisme atau memberantas RMS. Padahal, aparat baru kecolongan "tarian cakalele".
Tak ayal lagi pejabat menyebut oknum sebagai penyebab bentrok. Salah satu dalil versi oknum menyebutkan, detail (nama, wajah, usia, jenis kelamin, atau pangkat) pelaku sebisa mungkin dirahasiakan.
Versi oknum menguntungkan karena menutup kemungkinan munculnya versi lain, termasuk versi sesungguhnya. Keuntungan lain, versi oknum jarang digugat karena pers dan masyarakat bosan mendengarkannya.
Patut dicatat, perbedaan oknum dengan pahlawan amat tipis. Jika anggota korps ketahuan bersalah, ia buru-buru dikucilkan jadi oknum. Telunjuk tiap anggota korps dituding ke oknum. Si oknum bukan cuma diadili, tetapi juga dipecat.
Coba kalau ia dikeroyok rakyat karena ketahuan memeras. Ia pulang ke markas dengan wajah babak belur dan pasti jadi pahlawan.
Rekan-rekan sekorps marah dan menyerbu kampung pengeroyok. Mereka mengamuk dan berkilah, "Soalnya ada yang menyerang nama baik korps kami."
Di bawah versi oknum ada "versi kambing hitam". Kalau oknum dikorbankan agar tak mencoreng nama korps, kambing hitam menyalahkan pihak-pihak di luar korps.
Contohnya Dephub yang mengambinghitamkan siapa saja—kecuali dirinya—sebagai penyebab kecelakaan. Padahal Dephub penuh korupsi lisensi sampai inspeksi pesawat.
Atau PSSI mengambinghitamkan wasit dan timnas Arab Saudi biang keladi kekalahan timnas di Piala Asia. Padahal, seperti kata pepatah, "Sirik tanda tak mampu".
Beberapa akibat penyakit MPD adalah logika bisa tak jalan, moral mudah rapuh, perasaan gampang hilang, dan berahi kekuasaan menggebu-gebu. Status manusia—terutama pejabat—turun jadi "subhuman".
PSSI tak malu rapat di penjara atau tak kapok mengirim timnas berlatih ke luar negeri—kali ini ke Uruguay—walau di program itu selalu gagal.
Contoh lain pejabat bilang bentrok di Ternate terjadi karena kesejahteraan prajurit rendah. Pertama, yang perlu peningkatan kesejahteraan bukan hanya prajurit, tetapi rakyat.
Kedua, kesejahteraan prajurit dirampas korupsi PT Asabri. Ketiga, kalau mau sejahtera di negeri ini jangan jadi prajurit, tetapi curilah asuransi mereka atau segera melamar ke KY.
Saya juga kena MPD. Saya bingung memilih "versi kemerdekaan merupakan hak semua bangsa" atau "versi tak semua bangsa berhak merdeka".
No comments:
Post a Comment