Wednesday, October 17, 2007

Minyak Dunia


Industri Manufaktur Dikhawatirkan Semakin Tertekan

Jakarta, Kompas - Kenaikan harga minyak dunia yang makin tak terkendali mendekati 88 dollar AS per barrel, dikhawatirkan mengancam kelangsungan hidup sektor industri manufaktur. Beban yang harus ditanggung oleh pelaku industri bakal semakin tak tertahankan lagi, jika lonjakan harga itu tidak bisa ditutup oleh alokasi dana subsidi yang tersedia.

Dengan demikian, pemerintah terpaksa harus menaikkan lagi harga bahan bakar minyak. Menurut Ketua Dewan Pembina Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo), Harijanto, Selasa (16/10), kondisi seperti inilah yang selama ini ditakutkan oleh para pelaku industri.

Kenaikan harga minyak dunia ini jelas akan mengancam kelangsungan industri dalam negeri. Apalagi jika pemerintah memilih menaikkan harga BBM dalam negeri.

"Industri padat karya seperti sepatu selama ini tidak mendapat perhatian yang memadai dari pemerintah. Kalau BBM dinaikkan, akan banyak industri padat karya yang tutup dan pengangguran akan semakin besar," katanya.

Harijanto berharap, pemerintah memberi perlakuan berbeda bagi usaha-usaha padat karya agar tidak banyak yang mati. Pajak dari perusahaan tambang yang turut menikmati kenaikan harga minyak dunia, menurut dia, harus digunakan untuk menambah subsidi BBM.

Upaya itu diperlukan agar tidak sampai terjadi kenaikan BBM yang akan berdampak besar bagi industri padat karya maupun bagi rakyat banyak.

Presiden Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Fadhil Hasan menilai, kenaikan harga minyak dunia ini merupakan gejala sesaat, bersifat jangka menengah atau jangka panjang. Jika kenaikan harga minyak bersifat jangka panjang dengan kecenderungan terus melonjak, beban industri nasional akan semakin berat.

Biaya produksi akan semakin tinggi. Pada gilirannya, kenaikan itu juga akan mengurangi daya saing. Akan tetapi, hal ini juga bakal dialami oleh negara-negara lain. Jadi, sebenarnya semua negara akan menanggung beban akibat kenaikan harga minyak mentah dunia tersebut.

"Tapi, perlu dijadikan catatan, industri di negara-negara lain umumnya sudah berupaya keras untuk bisa lebih hemat dan efisien dalam penggunaaan BBM untuk industrinya, dibandingkan industri nasional kita. Mereka jauh lebih siap dari Indonesia," tegas Fadhil.

Karena itu, Fadhil memandang beban terhadap industri nasional lebih berat. Padahal, sejak krisis moneter lalu, pertumbuhan industri nasional baru mulai dan ditambah lagi dengan persoalan-persoalan yang belum dapat terselesaikan.

Sebagai solusi jangka panjang untuk mempersiapkan diri menghadapi gejolak faktor eksternal seperti minyak mentah dunia, Fadhil menegaskan, "Penggunaaan bahan bakar sebagai energi alternatif untuk industri harus segera diimplementasikan." harus dilihat apa kenaikan harga minyak ini gejala sesaat atau agak bersifat jangka menengah/panjang

Menurut Fadhil, terhadap beban subsidi APBN, dampaknya relatif akan tetap netral. Walaupun subsidi BBM untuk tetap diperlukan untuk melakukan impor, Indonesia masih mengekspor minyak mentah, sehingga juga ada tambahan penerimaan negara.

Kepala Divisi BBM PT Pertamina Djaelani Sutomo menegaskan, kenaikan harga minyak dunia tidak akan mengubah rencana untuk mengimpor BBM. Soalnya, Indonesia sebagai penghasil minyak mentah juga tetap membutuhkan BBM untuk kebutuhan domestik.

Senior Vice President Niaga dan Pemasaran PT Pertamina Hanung Budya mengatakan, total impor BBM bulan November mencapai 10 juta barrel. Struktur harga BBM bulan November belum bisa ditentukan, karena Pertamina masih perlu menunggu perkembangan harga minyak dunia sampai akhir Oktober ini.

Bulan depan harga Mid Oil of Platts Singapore (MOPS) diperkirakan cenderung naik. Penyebabnya, harga minyak mentah naik dan belahan bumi bagian utara mulai memasuki musim dingin. Sementara gasolin diperkirakan turun, karena berakhirnya driving session di negara-negara subtropis. (OSA/DOT)

Jakarta, kompas Anggota Komite Badan Pengatur Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas), Adi Subagyo Subono, Selasa (16/10) di Jakarta menegaskan, hanya ada dua opsi yang bisa dilakukan pemerintah terkait lonjakan harga minyak mentah dunia yang kini menembus angka di atas 86 dollar AS. Pertama, pemerintYaitu menambah subsidi BBM atau menaikkan harga BBM dalam negeri.

"Kalau subsidi tidak ditambah, harga BBM dipastikan akan naik. Tetapi kalau pemerintah mau menaikkan subsidi, harga BBM tidak akan naik," kata Adi.

Dia mengatakan, apabila pemerintah memutuskan untuk menaikkan harga BBM karena subsidi tidak dinaikkan, itu berarti pemerintah mengingkari janji. Sebelumnya pemerintah berjanji tidak akan menaikkan harga BBM hingga tahun 2009.

Saat ini menurut Adi belum ada pengaruh yang dirasakan akibat kenaikan harga minyak dunia. Harga BBM bersubsidi di dalam negeri di antaranya minyak tanah masih Rp 2.000 per liter, solar masih Rp 4.300 per lt, dan premium Rp 4.500 per lt. Cadangan BBM nasional juga masih sebesar 3,6 juta KL.

Namun demikian, berdasar data penjualan selama Juli-Agustus-September, tercatat ada lonjakan konsumsi BBM yang melebihi kuota. Meski lonjakan masih berada di kisaran 2 persen, namun angka itu harus diwaspadai. "Harus ada upaya untuk mengurangi," kata Adi.

Salah satu upaya yang harus dilakukan pemerintah di tengah kondisi harga minyak dunia yang terus membumbung tinggi adalah menyukseskan program konversi minyak tanah ke elpiji. Ini tidak lain untuk mengurangi beban subsidi pemerintah. Konversi minyak tanah juga sekaligus untuk menjaga kuota BBM.

Vice President Pemasaran BBM Pertamina, Djaelani Sutomo mengatakan, sejauh ini belum ada instruksi terkait lonjakan harga minyak mentah dunia. Akan tetapi sebagai pelaksana kebijakan, Djaelani mengatakan Pertamina siap melaksanakan apapun kebijakan yang diambil pemerintah.

"Saat ini belum ada instruksi apa-apa karena yang harus dijaga adalah bagaimana pasokan BBM selama arus balik Lebaran ini aman," kata Djaelani.

Sementara itu kalangan pengusaha menanggapi kenaikan harga minyak dunia secara beragam. Direktur Utama PT Jababeka Tbk, S D Darmono mengatakan, sebagai pelaku usaha dia tidak terlalu khawatir karena kenaikan harga minyak dunia dirasakan secara global, tidak hanya oleh Indonesia. Karena itu apapun kebijakan yang diambil pemerintah dinilai positif termasuk apabila pemerintah kemudian menaikkan harga BBM dalam negeri karena tidak ada penambahan subsidi.

Menurut Darmono, dampak kenaikan itu bagi dunia usaha tidak akan terlalu besar karena ketergantungan industri dalam negeri terhadap BBM tidak terlalu tinggi.

Di sisi lain, Darmono justru menilai kenaikan harga minyak dunia akan meningkatkan pendapatan dalam negeri yang berasal dari ekspor minyak. Kelebihan pendapatan itu menurut dia bisa digunakan untuk menambah subsidi BBM.

Namun Ketua Dewan Pembina Asosiasi Pengusaha Industri Sepatu Indonesia (Aprisindo), Harijanto menilai kenaikan harga minyak dunia akan mengancam kelangsungan industri dalam negeri. Apalagi jika pemerintah memilih menaikkan harga BBM dalam negeri.

"Industri padat karya seperti sepatu selama ini tidak mendapat perhatian pemerintah. Kalau BBM dinaikkan, akan banyak industri padat karya yang tutup dan pengangguran akan semakin banyak," katanya.

Harijanto berharap pemerintah memberi perlakukan berbeda bagi usaha-usaha padat karya agar tidak banyak yang mati. Pajak dari perusahaan tambang yang turut menikmati kenaikan harga minyak dunia menurut dia harus digunakan untuk menambah subsidi BBM agar tidak sampai terjadi kenaikan BBM yang akan berdampak besar bagi industri padat karya maupun bagi rakyat banyak. (DOE)

No comments: