Monday, October 29, 2007

Strategi Menghadapi Globalisasi


Imam Cahyono

"I have but one lamp by which my feet are guided, and this is the lamp of experience. I know no way of judging the future, but by the past" (Edward Gibbon).

Januari 2007, the Development, Concept and Doctrine Centre, sebuah direktorat jenderal di bawah Kementerian Pertahanan Inggris merilis laporan Global Strategic Trends, 2007-2036.

Dokumen setebal 90 halaman itu merupakan analisis strategis terhadap tantangan yang bakal dihadapi 30 tahun mendatang, yakni perubahan iklim, globalisasi, dan ketimpangan global.

Bagaimanapun, globalisasi telah membawa perubahan kehidupan. Ia menyita perhatian negara maju yang berupaya memahami dan mengantisipasi perubahan global. Inggris, misalnya, menyadari, perubahan iklim dan pemanasan global seiring berakhirnya the golden age of cheap energy, disusul meningkatnya kerusakan alam di planet Bumi.

Globalisasi ekonomi mewartakan brutalnya hukum permintaan dan penawaran (baca: pasar bebas), menciptakan ketergantungan, kontradiksi, dan konflik baru. Meluasnya ketimpangan global ditengarai bakal menyuburkan perlawanan kelompok antikapitalisme global.

Jika Inggris sibuk dengan konstelasi global, bagaimana bangsa Indonesia membaca dan menyiasati tren perubahan global pada masa depan? Adakah kebijakan yang dirancang dalam bentuk blue print atau paper policy untuk menghadapinya?

Indeks globalisasi

Tiap negara memiliki strategi dalam menghadapi globalisasi sehingga dampak integrasi dan globalisasi pun beragam. Posisi sebuah negara bisa diketahui dalam indeks globalisasi yang diukur dengan beberapa indikator, seperti konektivitas global, integrasi, dan ketergantungan pada ruang ekonomi, sosial, teknologi, budaya, politik, dan ekologi.

Dalam indeks globalisasi tahunan yang dikeluarkan AT Kearney/Foreign Policy 2003-2006, posisi Indonesia tidak berubah, yakni peringkat ke-3 dari belakang (least globalized country). Indonesia menduduki urutan 60 dari 62 negara. Peringkat atas (most globalized country) ditempati negara maju, seperti Singapura, Swiss, Denmark, Kanada, AS, Australia, dan Inggris. Indeks ini diukur melalui indikator ekonomi, politik, teknologi, dan personalitas. Dalam integrasi ekonomi, Indonesia pada urutan ke-52, kontak personal ke-59, koneksitas teknologi ke-51, dan kesepakatan politik ke-50.

Tak jauh beda dengan indeks AT Kearney, indeks globalisasi KOF juga mengukur dimensi ekonomi, sosial, dan politik globalisasi. Hanya saja, KOF mengukur indeks globalisasi dengan jumlah negara lebih banyak dan dalam kurun waktu lebih lama.

Dalam daftar indeks globalisasi KOF 2007, posisi Indonesia pada urutan 78 dari 122 negara. Peringkat globalisasi ini didasarkan pada data tahun 1970 hingga 2004 dengan 25 variabel.

Wajah globalisasi ekonomi memang lebih dominan dibandingkan dengan dimensi lain karena dampaknya nyata dan signifikan.

Strategi nasional

Globalisasi yang lari tunggang langgang membuat negara berkembang kerepotan. Globalisasi sejatinya menempatkan Indonesia dalam kompetisi yang tidak pada levelnya. Ibarat Mike Tyson melawan Elly Pical atau Manchester United melawan Persikabo atau ExxonMobil berkompetisi dengan penambang liar. Pada saat yang sama Indonesia masih menghadapi masalah struktural yang tak kunjung usai, seperti kepastian hukum, separatisme, relasi agama dan negara dan lain.

Celakanya, hingga kini Indonesia tidak memiliki visi dalam menghadapi globalisasi. Ia hanya dilihat selayang pandang, belum pernah diurai bagaimana peluang dan tantangannya. Belum ada dokumen resmi yang dikeluarkan pemerintah sebagai acuan dalam menghadapi era globalisasi. Tidak ada analisis dan uraian memadai dalam rencana pembangunan (RPJM/RPJP) yang membahas globalisasi meski hal itu merupakan satu-satunya panduan bagi pemerintah dan masyarakat. Jadi, kepentingan nasional harus dirumuskan kembali berupa strategi nasional Indonesia di tengah gejolak globalisasi dan regionalisasi.

Indonesia harus memiliki posisi ekonomi politik nasional yang jelas. Globalisasi juga harus dilihat sebagai peluang bagi negara berkembang, seperti dilakukan China yang memanfaatkan international aggreement untuk kepentingan ekonomi domestik.

Taiwan memiliki visi dan policy yang konsisten sehingga dapat memanfaatkan mengambil peluang dari globalisasi dengan membangun daya saing ekonomi internasional (Berger dan Lester, 2005). Korea justru berhasil mengarungi globalisasi dengan memanfaatkan potensi lokal untuk bersaing dalam kancah global (Park, Jang, dan Lee, 2007).

Selain visi, penataan kelembagaan juga tidak boleh diabaikan dalam mendesain kebijakan. Instrumen yang bisa digunakan untuk mendapat peluang dari globalisasi adalah dengan memperkuat diplomasi ekonomi yang harus didukung kekuatan ekonomi internal. Peran, posisi, dan strategi Indonesia dalam forum-forum internasional juga belum menunjukkan hasil maksimal sehingga harus dipacu melalui investasi peningkatan kapasitas kelembagaan dalam membangun institusi dan menyiapkan kader-kader pemimpin yang tangguh.

Sejarawan Inggris, Edward Gibbon, mengingatkan agar kita belajar dari pengalaman masa silam sebagai panduan melangkah kedepan. Menghadapi hiruk-pikuk globalisasi, Indonesia harus jeli mengantisipasi situasi dan kondisi agar mendapat beneficiary. Agar kita tidak terus miskin, menangis sepanjang hari, dan menyesali diri mengapa harus dilahirkan di negeri ini!

Imam Cahyono Program Officer Globalisasi Perkumpulan Prakarsa

1 comment:

Speedy Online Profit said...

Tulisan yang cukup pedas, namun tepat dan sangat bermanfaat. Sewaktu China masih relatif tertutup, Indonesia sudah "bergaul" di dunia internasional dengan politik bebas dan aktif. Sekarang, China sudah siap menghadapi globalisasi, tapi Indonesia koq tidak siap? Kenapa masih banyak yang bicara pro dan kontra terhadap globalisasi, bukankah lebih baik mengerahkan segenap tenaga dan perhatian mempersiapkan diri menyongsong masa depan itu?