Ada satu isu yang menonjol dari pertemuan para pengusaha AS-ASEAN pekan lalu, yakni soal kaitan antara investasi, kepastian hukum, dan perdagangan bebas.
Khusus mengenai Indonesia diingatkan kembali soal kepastian hukum. Terbatasnya investasi langsung yang masuk ke negara ini disebabkan oleh kekhawatiran yang tinggi dari para pengusaha atas nasib modal yang mereka tanamkan karena hukum yang tidak bisa dipegang.
Bagi para pengusaha, sekarang ini tidak ada keharusan untuk menanamkan modal di suatu negara tertentu, apalagi di ASEAN tidak lama lagi akan berlaku secara penuh kawasan perdagangan bebas (AFTA). Produk yang dihasilkan dari 10 anggota negara ASEAN bisa dipasarkan ke seluruh wilayah ASEAN tanpa hambatan.
Sepanjang kita tidak pernah mau menyadari kenyataan ini dan lalu mau berubah diri, tidak usah heran apabila kita akan merugi. Kita tidak pernah mendapatkan investasi yang mencukupi bagi berkembangnya sektor riil, tetapi kita menjadi pasar yang besar bagi negara-negara anggota ASEAN lainnya.
Yang pantas membuat kita khawatir adalah keinginan kita untuk menangani masalah kemiskinan dan pengangguran akan sulit dilakukan. Tidaklah mungkin kemiskinan dan pengangguran dituntaskan apabila kita tidak mampu mendatangkan investasi yang memadai.
Masukan dari pertemuan para pengusaha AS-ASEAN sejalan dengan hasil kajian Kamar Dagang dan Industri tentang tiga tahun pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Dalam tiga tahun terakhir, kita masih dihadapkan pada rendahnya investasi. Laju pertumbuhan fixed capital formation (pembentukan modal tetap) masih di bawah 10 persen, padahal tahun 2004 pernah mencapai angka 15,7 persen.
Menurut analisis Kadin, tidak membaiknya investasi antara lain disebabkan oleh desentralisasi yang di luar batas sehingga sering kali menghambat perizinan, peraturan perburuhan yang kaku, serta sering terjadi tumpang tindih peraturan, seperti antara pertambangan dengan kehutanan dan lingkungan hidup.
Kita memang bukan tidak tahu persoalan yang dihadapi. Kita pun sebenarnya paham konsekuensi yang akan terjadi. Namun, kita tidak pernah mempunyai keberanian untuk menyelesaikan persoalan tersebut.
Kekhawatiran untuk tidak populer sering kali membuat kita ragu untuk bertindak. Seperti dalam persoalan perburuhan. Revisi terhadap undang-undang, khususnya yang mengatur tindakan kepada mereka yang berbuat kejahatan pada perusahaan, haruslah dilakukan. Di seluruh dunia, siapa pun yang terbukti berbuat salah tidak harus diberikan kompensasi.
Sekarang, ketika kita melindungi buruh secara berlebihan, akibatnya bukan hanya kita menjadi aneh sendiri, tetapi membuat keadaan justru semakin tidak pasti. Ketidakpastian ini akibatnya justru menutup peluang buruh yang berkualitas dan mau bekerja baik, tetapi mereka tidak mendapatkan kesempatan itu karena perusahaan takut pada aturan yang tidak umum tadi.
Kita sungguh harus berbenah diri apabila tidak ingin ditinggalkan oleh negara-negara tetangga kita yang lain.
No comments:
Post a Comment