Monday, October 22, 2007

ANALISIS EKONOMI


Dampak dan Antisipasi Harga Minyak

FAISAL BASRI

Kenaikan harga minyak mentah tidak terjadi secara tiba-tiba. Sudah banyak prakiraan bahwa harga minyak mentah akan terus merangkak naik. Majalah Business Week edisi minggu lalu menurunkan berita dengan judul "Next Stop: $100 Oil?"

Sekalipun spare capacity dari negara-negara produsen minyak yang tergabung dalam Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) telah meningkat menjadi lebih dari 2 juta barrel per hari atau hampir dua kali lipat dibandingkan dengan tahun lalu, itu masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan posisi tahun 2002 yang berada di sekitar 5 juta barrel per hari.

Hingga tahun depan, pasar minyak mentah dunia diperkirakan masih tetap ketat sehingga sangat kecil kemungkinan harga turun kembali di bawah 60 dollar AS per barrel. Apalagi mengingat ketegangan di Timur Tengah tak kunjung mereda, ditambah lagi hingga tahun 2008 pertumbuhan permintaan lebih besar daripada pertumbuhan produksi.

Dengan kecenderungan harga minyak yang bertambah "liar", kita patut mempertanyakan mengapa pemerintah dan DPR mematok asumsi harga minyak hanya 60 dollar AS per barrel dalam APBN 2008. Seburuk itukah kemampuan antisipasi mereka? Atau, karena mereka gamang memasang asumsi harga minyak yang lebih tinggi karena akan mengakibatkan subsidi BBM dan listrik membengkak? Sementara itu, elite politik telanjur berjanji untuk tak menaikkan harga BBM hingga Pemilihan Umum 2009.

Dampak lonjakan harga minyak bumi terhadap APBN sebenarnya bisa diminimalkan apabila kita mampu meningkatkan produksi minyak mentah. APBN 2008 memang mencantumkan kenaikan asumsi produksi (lifting) minyak dari 950.000 barrel sehari menjadi 1,034 juta barrel sehari. Namun, pengalaman selama delapan tahun terakhir menunjukkan, asumsi APBN untuk lifting minyak lebih kerap dikoreksi ke bawah ketimbang ke atas, sama kerapnya dengan perubahan asumsi harga minyak mentah.

Bahkan perubahan asumsiasumsi tersebut tak hanya sekali diubah dalam satu tahun anggaran. Penyesuaian yang kerap terjadi di dalam tahun anggaran berjalan menunjukkan kualitas perencanaan yang buruk. Sudah saatnya kita memiliki sistem anggaran yang lebih berkualitas dan akurat agar fungsi anggaran untuk menggerakkan pembangunan bisa lebih optimal.

Sayangnya, kita tak menjumpai ruang yang cukup leluasa untuk meningkatkan produksi minyak mentah. Dalam jangka pendek peningkatan produksi tak mungkin dari ladang-ladang besar. Satu-satunya kemungkinan adalah dari ladang-ladang kecil. Untuk meningkatkan produktivitas ladang-ladang kecil, dibutuhkan teknologi yang lebih baru dan lebih mahal, yang berarti harus ada investasi baru.

Sementara itu, para pengusaha minyak masih enggan melakukan investasi baru di tengah regulasi yang belum menentu dan respons dari regulator, Departemen ESDM dan BP Migas, yang sangat lamban. Sudah saatnya Presiden mengambil langkah-langkah tegas untuk mengamankan kebijakan energi nasional, termasuk melakukan peremajaan total di pucuk pimpinan Departemen ESDM dan BP Migas.

Jika produksi tidak meningkat dan pertumbuhan konsumsi BBM di dalam negeri tetap melaju seperti sekarang, sudah hampir bisa dipastikan pada triwulan terakhir tahun ini kenaikan harga minyak akan berdampak terhadap kenaikan defisit APBN. Jadi, peningkatan defisit lebih disebabkan penurunan produksi ketimbang kenaikan harga minyak mentah.

Betapa sensitif perubahan asumsi produksi terlihat dari perhitungan setiap penurunan produksi minyak mentah sebesar 50.000 barrel per hari berpotensi meningkatkan defisit APBN sebesar Rp 4 triliun.

Kenaikan harga minyak mentah baru berdampak terhadap kenaikan defisit APBN jika pertumbuhan konsumsi BBM di dalam negeri terus meningkat dan penyelundupan BBM ke luar negeri marak kembali akibat disparitas harga di dalam negeri dan luar negeri bertambah lebar sebagaimana terjadi tahun 2003-2004. Pada tahun 2004, setiap kenaikan harga sebesar 10 dollar AS di atas harga asumsi APBN akan menambah defisit sebesar Rp 2 triliun.

Dampak tak langsung

Harus diperhitungkan pula dampak tak langsung dari kenaikan harga minyak terhadap APBN dan perekonomian.

Pertama, pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan sebesar 6,8 persen untuk tahun 2008 hampir mustahil bisa dicapai. Sejalan dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia yang dipangkas dari 5,2 persen menjadi 4,8 persen untuk tahun 2008, Dana Moneter Internasional memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan hanya 6,1 persen.

Dengan gambaran kondisi perekonomian yang lebih suram ini, sudah barang tentu potensi penerimaan pajak pun akan turun. Dengan demikian, defisit APBN akhirnya semakin menganga dan bisa mendekati 2 persen dari produk domestik bruto.

Kedua, kenaikan harga bahan bakar minyak dan tarif listrik nonsubsidi akan menambah beban sektor industri dan pada gilirannya sektor pertanian pangan. Sektor industri manufaktur yang pertumbuhannya sudah mulai kembali merangkak naik sampai ke tingkatan 5,5 persen pada triwulan kedua 2007 diperkirakan sangat sulit berlanjut mendekati pertumbuhan produk domestik bruto, apalagi melampauinya.

Hal ini terjadi karena hampir tak ada ruang lagi bagi industri untuk meningkatkan efisiensi jangka pendek dan beban biaya eksternal (biaya ekonomi tinggi) tak kunjung bisa dipangkas.

Dengan kondisi sektor industri manufaktur, pertanian pangan, dan pertambangan minyak yang tertekan, pola pertumbuhan antara sektor yang produknya dapat diperdagangkan (tradable) dan sektor nontradable semakin timpang. Hal ini akan menimbulkan tekanan yang makin berat terhadap pengangguran, pengentasan penduduk dari kemiskinan, dan ketimpangan pendapatan, yang ujung-ujungnya meningkatkan ketegangan sosial.

Pilihan yang elegan bagi pemerintah ialah mengoptimalkan sektor-sektor yang menikmati "berkah" (windfall), seperti minyak sawit, karet, dan komoditas pertambangan yang harganya melambung, bukan justru mengganggu pengembangannya. Dari ekspor minyak sawit saja, potensi tambahan penerimaan APBN bisa mencapai lebih dari 1 miliar dollar AS.

Jika pemerintah mampu merealokasikan tambahan pendapatan ini untuk menggalang proyek-proyek padat karya di sektor pertanian dan pedesaan, daya beli mayoritas masyarakat bisa meningkat atau paling tidak bisa mengompensasikan kenaikan harga-harga umum.

Pilihan ini lebih bijak ketimbang menggelontorkan subsidi langsung ataupun tak langsung untuk berbagai komoditas yang mengalami kenaikan harga tajam, seperti minyak goreng dan kebutuhan pokok lainnya (gula, terigu, dan beras).

No comments: