Monday, October 22, 2007

Risiko Ketidakstabilan Ekonomi Global Naik



Bank-bank Sentral Harus Fokus Pada Stabilitas Harga

Washington, Minggu - Pertemuan tahunan Bank Dunia, Dana Moneter Internasional, serta kelompok negara makmur atau G-7 yang mulai berlangsung akhir pekan lalu di Washington, AS, sama-sama mengingatkan bakal meningkatnya risiko perekonomian global tahun 2008. Inflasi bakal meningkat dipicu lonjakan harga minyak, dampak gejolak pasar keuangan masih berlanjut.

Presiden Bank Sentral Eropa, Jean-Claude Trichet, Sabtu, mengingatkan, harga minyak dan komoditas lainnya di pasar internasional mesti dicermati. Lonjakan harga yang melampaui 90 dollar AS per barrel, meningkatkan tekanan inflasi, dan melemahkan pertumbuhan ekonomi ke depan.

Inflasi tinggi akan memotong nilai aset masyarakat, sementara pelambatan pertumbuhan ekonomi berimplikasi pada kurangnya penciptaan lapangan kerja dan upaya mengatasi kemiskinan.

Harga minyak mentah pekan lalu mencapai 90,07 dollar AS per barrel, angka tertinggi sepanjang sejarahnya. Dalam perkembangan lain, nilai tukar dollar AS terhadap mata uang tunggal Eropa, euro, terus terpuruk ke posisi terburuknya 1,43 per euro.

Lonjakan harga minyak belakangan ini dipicu ketegangan antara Turki dan Irak. Spekulan minyak cemas akan terjadinya kekurangan suplai ke pasar, sebab Irak merupakan pemasok minyak mentah yang cukup signifikan.

Ekspektasi pelaku pasar masih terus menurunkan nilai dollar terhadap mata uang kuat dunia lainnya, seiring perkiraan bank sentral AS akan menurunkan kembali suku bunganya akhir bulan ini sebagai kelanjutan kebijakan mengatasi persoalan krisis keuangan di AS.

Turunnya suku bunga di AS membuat pemilik dana mengalihkan investasinya ke mata uang lain karena potensi imbal hasilnya ebih tinggi. Kondisi ini akan terus melemahkan dollar AS, potensi lain risiko ketidaksbalian di pasar keuangan.

IMF dalam pernyataannya memuji bank-bank sentral yang telah berperan mengatasi turbulensi pasar keuangan akibat krisis kredit macet perumahan (suprime mortgage) di AS, harus lebih fokus lagi pada masalah stabilitas harga-harga.

Menurut penilaian IMF, bank sentral negara maju telah berperan penting untuk menjamin berfungsinya secara baik pasar uang dengan menyediakan likuiditas, sembari mengawasi beroperasinya pasar secara efektif.

Krisis macet perumahan di AS yang membuat investor surat berharga berbasis kredit perumahan dari belahan Amerika, Eropa dan Asia merugi, memicu ketatnya lukiditas kredit perbankan yang dibutuhkan dunia usaha untuk menggerakkan usaha dan pertumbuhan ekonomi. Potensi kontraksi terhadap penawaran kredit ini dapat menimbulkan ketidakstabilan di pasar keuangan. Karena itu, bank-bank sentral negara maju menyuntikkan ratusan miliar dollar ke pasar kredit.

"Pada saat yang sama, kebijakan moneter harus fokus pada perkembangan stabilitas harga sembari terus menilai secara hati-hati prospek inflasi, memperhitungkan antara tekanan inflasi dari ketatnya pasar komoditas dan lonjakan harga minyak dan makanan, dan menurunkan risiko pertumbuhan ekonomi," demikian pernyataan IMF.

Implementasi janji

Di sisi lain, IMF menyerukan kepada Amerika Serikat, Eropa, Jepang, China, dan negara-negara produsen minyak untuk mengimplementasikan rencana menurunkan ketimpangan perdagangan global yang dijanjikan sebelumnya.

AS menjanjikan peningkatan tabungan nasional, sementara Eropa dan Jepang menjanjikan implementasi reformasi struktural guna membuat perekonomiannya lebih efektif.

China telah berjanji melakukan reformasi untuk membangun permintaan domestik sebagai mesin pertumbuhan ekonominya, sedangkan produsen minyak mentah menjanjikan peningkatan investasi di negaranya.

Semua langkah bersama itu diyakini dapat menurunkan potensi ketidakstabilan perekonomian global.

Direktur Pengelola IMF Rodrigo de Rato mengatakan, lonjakan harga minyak kali ini lebih banyak dipicu permintaan. "Intensitas energi telah diturunkan pada banyak negara konsumen sejak tahun 1970-an," katanya dalam konferensi pers.

Harga minyak di pasar spot belakangan ini mengindikasikan masih berada pada rata-rata 79 dollar per barrel untuk tahun ini, dan akan turun pada kisaran 77 dollar per barrel tahun depan. "Tetapi angka itu berpeluang naik, tidak turun," katanya.

Dia menambahkan, lonjakan harga minyak jelas meningkatkan risiko terhadap peningkatan tekanan inflasi, khususnya di negara berkembang, yang membutuhkan banyak minyak.

IMF sendiri memperkirakan harga rata-rata minyak mentah 68,52 dollar per barrel untuk keseluruhan tahun 2007 dan meningkat menjadi 75 dollar pada tahun 2008.

Di sela-sela rangkaian acara sidang IMF dan Bank Dunia itu, mantan Gubernur bank sentral AS, Alan Greenspan mengundang beberapa gubernur bank sentral negara-negara emerging markets, termasuk Burhanuddin Abdullah, Gubernur Bank Indonesia untuk berdiskusi.

Greenspan mengapresiasi para gubernur bank sentral di negara-negara berkembang yang dinilai berhasil menjaga stabilitas ekonomi dari guncangan di pasar keuangan global akibat krisis subprime mortgage.

Greenspan yang memimpin bank sentral AS selama 18 tahun, secara umum sependapat dengan prakiraan pertumbuhan ekonomi dunia akan melambat tahun depan.

IMF menurunkan prediksi prospek pertumbuhan ekonomi global tahun depan dari 5,2 persen menjadi 4,8 persen. Penurunan terutama pada negara maju. (Reuters/AFP/AP/DIS)

No comments: