Pantas saja kalau sebagian besar masyarakat Kalimantan Timur sering merasa kesal, sebal, dan cemburu. Bayangkan saja, produksi minyak Kalimantan Timur sedikitnya 79,7 juta barrel per tahun. Belum lagi gas alam yang produksinya mencapai 1.650 miliar meter kubik per tahun, serta batu bara yang produksinya paling sedikit 52 juta ton per tahun.
Namun, provinsi seluas 1,5 kali Pulau Jawa dengan penduduk 2,8 juta jiwa ini mengalami penderitaan yang belum terselesaikan hingga kini. Pemadaman listrik hampir terjadi setiap hari, bahkan di ibu kota provinsi Samarinda atau kota besar seperti Balikpapan sekalipun.
Di daerah-daerah terpencil, kesengsaraannya lebih-lebih lagi. Selain banyak daerah yang belum terjangkau listrik, pada waktu-waktu tertentu, seperti curah hujan sedang tinggi dan jalanan rusak parah, harga solar yang biasanya Rp 5.000 per liter bisa melambung hingga Rp 10.000 per liter. Masih lumayan jika barangnya ada. Sering kali harganya mahal, barangnya pun tidak ada.
"Padahal, Kalimantan Timur merupakan daerah penghasil minyak terbesar," kata Labin (46), penduduk di Kecamatan Tabang, Kabupaten Kutai Kartanegara.
Di Kalimantan Selatan yang merupakan daerah penghasil batu bara persoalannya sama saja. Kelangkaan minyak terkadang sampai mengganggu aktivitas perekonomian masyarakat. Perdagangan bahan bakar minyak (BBM) secara ilegal pun kerap terjadi, dari yang untuk keperluan rumah tangga atau transportasi menjadi kebutuhan industri. Ada pula perdagangan ilegal dari kapal tanker yang kemudian "kencing" dan diperdagangkan ke masyarakat secara langsung.
"Kami sudah berkali-kali melakukan penertiban dan razia, tetapi perdagangan ilegal masih saja marak," kata Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Selatan Brigjen (Pol) Halba Rubis Nugroho.
Dalam sepekan terakhir, misalnya, petugas menangkap dua kapal bermuatan lebih dari 300 ton solar dan satu perahu berisi satu ton minyak tanah ilegal yang akan dijual ke kalangan industri pertambangan batu bara. Mereka lebih suka membeli BBM ilegal karena harganya separuh dari harga BBM industri yang mencapai Rp 6.000 per liter.
Perusahaan pertambangan di Kalsel memang termasuk rakus BBM, khususnya solar. Hal ini terjadi karena sebagian besar pengangkutan batu bara menggunakan truk berbahan bakar solar. Setiap malam saja, antara 500 hingga 1.000 truk mengangkut batu bara dari lokasi tambang ke pelabuhan-pelabuhan laut. Dengan keperluan 50 liter saja per malam, maka dibutuhkan 25 ton hingga 50 ton solar yang sebagian diperoleh secara ilegal.
Kenaikan harga minyak dunia yang sempat menembus harga 90 dollar AS per barrel diperkirakan tidak akan berdampak luas kepada daerah-daerah penghasil minyak seperti Kalimantan Timur. "Daerah penghasil memang mendapatkan keuntungan dari kenaikan harga minyak dunia, sedangkan daerah tidak harus menanggung subsidi," kata pakar perminyakan dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Rudi Rubiandini.
Namun, tetap saja keuntungan tersebut hanya terlihat dari angka-angka yang muncul di APBD. Masyarakat di daerah penghasil tetap saja bergulat dengan persoalan yang sama, kelangkaan bahan bakar minyak dan pemadaman listrik hampir setiap hari.(FUL/THY)
No comments:
Post a Comment