Andika Hadinata
Ketika ditanya soal globalisasi, peraih Nobel, M Yunus, menjawab, "Masalah sebenarnya adalah globalisasi yang benar versus globalisasi yang salah. Jika kita berdiam diri membiarkan globalisasi mengalir tak terkendali, itulah globalisasi yang amat salah besar. Globalisasi semacam ini hanya didominasi perusahaan-perusahaan dan negara-negara berkekuatan besar. Mereka tidak akan memerhatikan kepentingan perusahaan atau negara-negara kecil."
Apalagi jeritan kaum papa yang demi sembako murah atau uang receh harus berebut mempertaruhkan nyawa.
Tak punya "grand strategy"
Dalam kenyataannya, globalisasi yang salah kian mendominasi. Buktinya kesenjangan antara negara maju—seperti G-8— dan negara-negara Dunia Ketiga—seperti Indonesia—kian lebar.
Di negara maju, warganya sudah membuat teknologi canggih, merancang hidup di luar angkasa. Di sini, kita masih berkubang dalam 1001 masalah, seperti rebutan tanah, listrik mati, narkoba, dan konflik sektarian. Keadaan kian runyam saat pergumulan politik di tingkat nasional terlalu banyak mengorbankan kepentingan bangsa dan menjurus rusaknya kohesi nasional. Sedikit saja kontraksi di level elite akan berdampak pada kekerasan kolektif atau tindakan anarkis.
Akibat disibukkan 1001 persoalan, kita lupa tak mempunyai grand strategy menghadapi globalisasi. Karena itu, pemikiran dan aksi M Yunus, yang telah terbukti bisa memberdayakan orang miskin di negerinya, harus menjadi inspirasi untuk memberdayakan orang-orang miskin, agar mereka tidak semakin termarjinalkan.
Ketamakan
Dalam buku The Lugano Report:On Preserving Capitalism in Twenty-first Century (1999,2003), Susan George membeberkan ramalan mengenaskan pada tahun 2020. Saat itu sebanyak tiga miliar dari enam miliar penduduk dunia tidak masuk dalam perhitungan politik dan ekonomi; tidak ada tempat di permukiman kota dan di dalam ekologi. Kaum miskin juga rentan tergoda merusak lingkungan, seperti dilakukan 10 juta warga miskin kita yang mencari apa pun, termasuk membabat hutan demi mendapat makan. Untuk ini, mereka tak bisa dipersalahkan begitu saja. Jadi dalam beberapa kasus, kemiskinan punya andil bagi kerusakan hutan.
Apalagi, harus diakui pemihakan bagi kaum miskin di negeri ini sering hanya berkutat pada wacana di tengah ambisi sebagian orang untuk meraup kekayaan secara tidak halal, entah uang suap atau parsel. Bahkan, dalam beberapa kasus—bantuan tunai langsung atau Askeskin—mereka yang kaya tega mengaku miskin demi mendapat jatah yang seharusnya diterima kaum miskin.
Ketamakan orang berkecukupan itu mengingatkan kisah John G Wendel dan lima saudaranya yang dikenal sebagai orang-orang paling kaya di New York pada 1920-an. Meski mewarisi banyak kekayaan, hidup mereka amat miskin dan tidak menikah. Mereka hidup dalam satu rumah yang sama selama 50 tahun. Saat satu-satunya perempuan dalam keluarga John meninggal pada 1931, aset kekayaannya diperkirakan 100 juta dollar AS. Yang mengejutkan, perempuan itu selama 25 tahun mengenakan gaun yang sama.
Melawan kemiskinan
Terkait kemiskinan, banyak pendapat dikemukakan. Kaum konservatif dengan tokoh Auguste Comte atau Emile Durkheim berpendapat, kemiskinan terjadi akibat kultur dan mentalitas orang miskin yang tidak bisa beradaptasi dengan tatanan sosial yang ada. Kaum konservatif selalu memandang positif struktur sosial yang ada. Karena itu, bagi kaum konservatif, kemiskinan bukan masalah serius.
Di sisi lain, kaum liberal, dengan tokoh Fredrich August von Hayek (1889-1992), memandang kemiskinan sebagai masalah serius. Untuk mengatasinya, kaum liberal berpendapat, kultur orang-orang miskin harus diubah dengan pendidikan dan diskriminasi dieliminasi. Sayang, umumnya kaum liberal tidak mau mengubah struktur sosial yang sudah ada. Kebijakan Indonesia saat ini, misalnya, juga banyak disetir kaum neolib yang membuat kaum miskin kian terpojok. Lihat, mereka makin susah sekolah dan tak bisa dirawat di RS karena tak bisa membayar uang muka, tak dapat air bersih, tak dapat rumah, dan terpaksa tinggal di sembarang tempat. Sebagian lain banyak terkena gangguan jiwa (Kompas, 9-10/10/2007).
Koalisi umat beragama
Kita tidak boleh tinggal diam, dan harus bergerak melewati level wacana terkait pengentasan kemiskinan. Betapa hebatnya, jika makin banyak orang yang terketuk menyekolahkan anak-anak malang. Seluruh umat beragama—apa pun agamanya—harus berkoalisi mengatasi masalah ini. Coba simak ucapan mantan Presiden Tanzania Julius Nyerere, "Kalau sebagai umat beragama kita tidak aktif menentang struktur-struktur sosial dan organisasi-organisasi ekonomi yang menyebabkan orang menjadi miskin dan lapar, agama akan terdegradasi menjadi momok yang masih punya arti bagi para penakut. Jika agama dan umat beragama tidak mengungkapkan cinta kasih Allah dan tidak menjadi pionir dalam proses konstruktif terhadap keadaan manusia dewasa ini, agama justru akan disamakan dengan ketidakadilan dan penindasan."
No comments:
Post a Comment