Saturday, October 27, 2007

Gagap terhadap Lonjakan Harga Minyak


Oleh Ahmad Arif

Kecenderungan harga minyak bumi di pasar internasional yang terus naik sejak tahun 2004 selama ini disikapi lamban oleh kalangan industri di Indonesia. Ketika kini harga minyak telah menyentuh harga 90 dollar Amerika Serikat per barrel, barulah mereka kalang kabut. Masih adakah kesempatan untuk mengatasi dampak kenaikan harga minyak global ini?

Pengamat perminyakan Kurtubi menilai harga minyak dunia kemungkinan akan terus melambung hingga triwulan I-2008 karena permintaan minyak dunia terus melonjak, tanpa diikuti lonjakan produksi. Ketegangan Turki dengan Kurdi di Irak juga dianggap menakutkan para konsumen sehingga mereka memburu minyak. "Jika kondisi geopolitik ini terus memanas, kenaikan harga minyak bisa mencapai angka 100 dollar AS per barrel," kata Kurtubi.

Jika janji pemerintah untuk tidak menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi ditepati, setidaknya hingga Pemilihan Umum 2009, masyarakat tidak akan terkena dampak langsung dari kenaikan harga minyak global.

Tetapi, lain halnya dengan sektor industri, yang bergantung pada pasokan listrik PLN dan BBM nonsubsidi. Mereka tentu akan terkena dampak langsung dengan naiknya harga energi yang menjadi komponen penting dalam produksi.

Peneliti dari Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES) Pri Agung Rakhmanto menyebutkan, kenaikan harga minyak yang menyentuh angka hingga 90 dollar AS per barrel akan memicu kenaikan harga BBM industri dalam negeri sekitar 10 persen. Biaya produksi pun akan naik, dan harga produk kemungkinan akan melambung lebih dari 10 persen.

"Industri yang akan banyak terbebani dengan kenaikan harga minyak adalah yang yang padat menggunakan energi, di antaranya tekstil, perikanan, pabrik sepatu, semen, dan plastik," kata Kurtubi.

Sekretaris Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) EG Ismy mengatakan, kalangan pengusaha tekstil termasuk yang paling terpukul dengan kenaikan harga minyak dunia. Itu karena sebagian besar pengusaha tekstil masih bergantung pada bahan bakar minyak dan pasokan listrik PLN nonsubsidi untuk memenuhi kebutuhan energi mereka.

Belanja energi merupakan komponen biaya kedua terbesar pada perusahaan tekstil, yaitu mencapai 18 persen dari total biaya produksi. Sedangkan biaya untuk membeli bahan baku dan bahan pembantu sebesar 58 persen, membayar tenaga kerja 16 persen, dan sisanya sebesar 8 persen untuk membayar bunga bank, pungutan, administrasi, serta pemasaran.

Dengan kenaikan harga energi, komponen biaya yang bisa diubah hanyalah pengurangan bahan baku dan bahan pembantu, serta upah untuk tenaga kerja. "Komponen lain tak bisa diutak-atik lagi," kata Ismy.

Diversifikasi energi

Seharusnya kenaikan harga minyak ini tak menjadi masalah lagi bagi sektor industri karena kecenderungan kenaikan harga minyak sudah terjadi sejak lama. "Seharusnya mereka sudah beradaptasi dengan melakukan efisiensi dan mengganti bahan bakar minyak dengan bahan bakar lain yang lebih murah, seperti batu bara dan gas," kata Kurtubi.

Tetapi, kenyataan berbicara lain. Sebagian besar industri di Indonesia, yang padat energi seperti tekstil, masih bergantung pada minyak bumi. Ismy menyebutkan, baru 20 dari 200 perusahaan tekstil di tingkat hulu yang mulai menggunakan batu bara. Itu pun perbandingan batu bara masih 30 persen dari seluruh komponen energi.

Masalah tambah gawat karena banyak mesin industri di Indonesia yang tergolong kedaluwarsa. Mesin-mesin tua ini lebih boros menyedot bahan bakar dalam proses produksi. Oleh sebab itu, desakan efisiensi melalui peremajaan mesin di Indonesia menjadi mutlak.

Masalahnya, industri kita sulit melakukan itu, karena untuk membangun industri modern yang efisien harus ada kredit investasi jangka panjang dari perbankan. Sekarang, tak ada lagi bank yang mau investasi seperti itu.

Menurut Ismy, penggunaan batu bara untuk industri masih sarat masalah. Di antaranya, kendala lingkungan dan hambatan integrasi energinya dengan PLN. Kalangan pengusaha juga meragukan keberlanjutan penggunaan batu bara karena pasar luar negeri tidak bisa menerima produk yang dinilai tidak ramah lingkungan. Sementara, batu bara dinilai sebagai salah satu yang tidak ramah lingkungan.

Sikap aparatur pemerintah sendiri juga masih terbelah. "Di satu sisi, kita didorong menggunakan batu bara, tetapi di sisi lain Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) masih menilai limbah batu bara termasuk bahan berbahaya dan beracun," kata Ismy.

Pengelolaan limbah batu bara memang masih menjadi masalah serius. "Ada anggota kami menggunakan limbahnya untuk membuat batako dan tiang listrik, tapi kemudian didatangi polisi karena dinilai izin kami hanya membuat tekstil, bukan membuat batako. Padahal, itu upaya untuk mengatasi masalah limbah batu bara," kata Ismy.

Di sisi lain, PLN juga melarang sinkronisasi arus listrik mereka dengan energi yang dihasilkan dari batu bara milik industri. Jaminan ketersediaan pasokan batu bara untuk industri dalam negeri juga masih belum diatur dengan perangkat perundang-undangan sehingga banyak kalangan industri yang ragu-ragu untuk berubah ke batu bara. "Mekanismenya di lapangan memang masih banyak masalah," kata Ismy.

Terlambat beradaptasi

Menurut Kurtubi, kunci untuk mengatasi masalah energi yang dihadapi oleh industri adalah secepatnya mengurangi ketergantungan industri dari minyak ke bahan bakar lain yang lebih murah, seperti batu bara dan gas. "Ke depan seharusnya ada petunjuk pelaksanaan yang jelas, bagaimana industri-industri ini bisa mengonversikan energi dari minyak ke batu bara atau sumber energi lain yang lebih murah," jelas dia.

Ini berarti, pemerintah harus jelas dan mempersiapkan prasarana batu bara, meliputi masalah pengangkutan. "Industri lokasi di mana, dan sampai berapa lama akan memakai batu bara. Juga jaminan ketersediaan pasokan untuk industri dalam negeri harus jelas," kata Kurtubi.

Berdasarkan data Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), konsumsi batu bara dalam negeri masih sangat kecil jika dibandingkan dengan yang diekspor. Pada tahun 2006, sebanyak 129,504 juta ton batu bara diekspor, dan hanya 39,208 juta ton yang digunakan untuk dalam negeri. Itu pun sebagian besar konsumsi dalam negeri untuk pasokan PLN.

Menurut Agung, adaptasi sektor industri terhadap kenaikan harga minyak sudah sangat terlambat. Berbeda dengan China, yang secara serius menggunakan batu bara sebagai salah satu sumber energinya untuk mengurangi penggunaan minyak. Brasil adalah contoh negara lain yang sukses melakukan diversifikasi energi dengan etanol. "Sementara kita belum apa-apa," katanya.

No comments: