China sebagai salah satu mesin penggerak ekonomi Asia, dalam 10 tahun ke depan menghadapi hambatan. Antara lain, perubahan demografi dan ketidakmampuan memenuhi permintaan perusahaan multinasional yang ingin meningkatkan nilai tambah.
Profesor bidang Bisnis untuk Asia dan Manajemen Komparasi di Sekolah Bisnis INSEAD, Michael Witt, di sela-sela acara Leadership Summit in Asia, Asia 2020: The Limits of Growth, Jumat (19/10) di Singapura, mengatakan, dalam jangka pendek, pertumbuhan ekonomi yang tinggi di China masih akan terus berlangsung.
"Secara umum, tidak ada hambatan fundamental bagi China untuk terus bertumbuh dalam jangka pendek. Negara ini telah bertumbuh sesuai rencananya," kata Witt.
Satu hal yang mungkin mengkhawatirkan dalam jangka pendek adalah pasar keuangan. Telah terjadi penggelembungan dan sewaktu-waktu bisa meledak.
"Tidak ada yang mustahil. Saya tidak bisa meramalkan apa yang akan terjadi pada pasar saham China besok atau di pasar lainnya. Jadi bisa saja gelembung itu meledak dan akan memengaruhi perekonomian China. Mungkin ini tidak akan merugikan semua orang, tapi kebanyakan perusahaan di China menanamkan uangnya dengan membeli saham di pasar modal. Jadi bisa mengkhawatirkan," kata Witt.
Dalam jangka panjang, China menghadapi persoalan ketidakseimbangan demografi (banyak penduduk usia lanjut dan semakin sedikit yang produktif). Itu terjadi karena pembatasan jumlah anak yang diberlakukan Pemerintah China. Selain itu, perusahaan multinasional menuntut peningkatan nilai tambah, kualifikasi dari sumber daya manusia, juga dalam hal inovasi.
"Banyak pebisnis di China yang sudah memiliki kemampuan berbisnis yang baik. Namun, di masa mendatang tuntutannya akan lebih besar," katanya.
Masih menguntungkan
Corporate Vice President and Dell Great China President Amit Midha menilai, perusahaan multinasional masih akan menganggap China cukup menguntungkan untuk investasi. "Kami menjual 5.000 unit komputer (PC) senilai 3 miliar dollar AS ke China. Kami tumbuh 30-35 persen per tahun," kata Amit.
Dia menambahkan, pasar masih akan cukup baik. Dalam 10 tahun mendatang, China akan menjadi pasar PC terbesar di dunia, menggantikan AS.
Mengenai wacana China akan meredam pertumbuhan ekonominya karena sudah terlalu tinggi, Witt menilai, sepertinya tidak akan terjadi. Pertumbuhan saat ini sesuai target pemerintah.
Negara-negara di Asia tentunya menikmati pertumbuhan ekonomi itu. "Hubungan (karena kondisi geografi) sangat erat. Jika ekspor China meningkat, impor bahan baku dari negara lain juga akan meningkat, termasuk Indonesia," katanya.
Persoalannya, jika ekonomi AS melambat, ekspor China ke negara itu turun, dan negara Asia lainnya akan merasakan dampaknya.
President of Grace Vineyard (produsen anggur) Judy Leissner berpendapat, China tidak selalu sebaik perkiraan orang. "Saat saya mendirikan usaha ini tahun 1998, pemerintah tidak mendukung. Bisnis anggur tidak mudah di China, padahal pemerintah ingin segera menuai pajak dari saya karena setelah krisis mereka butuh uang," katanya.
Judy membutuhkan waktu 6 tahun sebelum produksi anggurnya berbuah. Saat ini perusahaannya telah menjual 150.000 botol anggur per tahun. "Di China persaingan begitu ketat. Ada 300 produsen anggur. Produsen terbesar menjual 500.000 botol per tahun," katanya.
Memulai bisnis di China, menurut Judy, tidaklah mudah. Ada 35 prosedur yang harus dilalui di setiap tingkatan pemerintahan. "Di China ada 5 tingkat pemerintah daerah yang harus kami mintai persetujuan. Setiap tingkat kami harus menghadapi 5-25 orang. Jadi, bisa dibayangkan bagaimana susahnya memulai usaha di China," kata Judy.
Pemerintah pun tidak terlalu peduli dengan kualitas, hanya mau penerimaan dari pajak. (Tiur Santi Oktavia)
No comments:
Post a Comment