Wednesday, October 31, 2007

Maskapai Penerbangan


"The Trend Setter" Kini Bergeser ke Asia

Dudi Sudibyo

Pada masa silam, Pan American, maskapai penerbangan Amerika Serikat yang paling terkemuka di dunia, menjadi trend setter dunia penerbangan. Tidak tanggung-tanggung, lebih dari enam dekade, yaitu sejak dekade 1930 hingga akhir dekade 1980. Mungkin bila PanAm tidak bangkrut tahun 1991, besar kemungkinan atribut itu masih melekat pada dirinya.

Trend setter itu kini bergeser ke titik kecil di peta dunia, Singapura, di mana Singapore Airlines (SIA) bersarang dan suatu titik yang dalam waktu sangat dekat Bandara Changi akan menjadi aviation major hub pertama dunia. Inilah satu-satunya bandar udara dunia yang benar-benar sudah siap melayani superjumbo A380 dengan bangunan baru Terminal 3 dilengkapi delapan gate khusus A380.

Ditambah empat gate A380 Terminal 2, total Bandara Changi menyediakan 12 pintu khusus untuk jetliner raksasa Airbus. Terminal baru tujuh tingkat ramah lingkungan satu atap sepanjang 1 kilometer ini akan mulai beroperasi 9 Januari 2008. Lengkap sudah Singapura menjadi superhub, Singapore Airlines sebagai launch customer merangkap operator pertama dunia A380, dan Changi dengan fasilitasnya serba canggih. Terminal 3 menyongsong era baru lalu lintas udara burung besi raksasa Airbus.

Pada masa lalu itu, tidak ada satu pun pesawat penumpang yang luput dari sentuhan PanAm. Pabrik pesawat AS maupun Eropa berlomba agar produk mereka menjadi pilihan Pan American. Begitu ketat persaingan merebut hati PanAm, sampai-sampai pabrik Boeing dan Douglas saling "bertempur" agar jetliner 707 atau DC-8 menjadi flagship maskapai bereputasi dunia tersebut. Kedua pesawat merupakan jet-jet penumpang pertama dunia setelah Inggris meraih pamor pertama dengan pesawat Comet pada 9 Januari 1951.

Boeing berhasil merebut hati PanAm, menjadi launch customer 707 dan pesawat pertamanya dibaptis Ibu Negara Mamie Eisenhower dengan nama "America", terbang perdana 19 Oktober 1958 New York-Brussels, Eropa. Kelebihan 707 adalah kemampuan terbang antarbenua dengan mesin J75 Pratt and Whitney yang khusus dirancang bagi pesawat ini, dikombinasikan dengan rancangan sayap sayung ke belakang di mana keempat mesin nyantel pada pylon sayap. Sedemikian rupa dirancang sehingga memiliki nilai teknologi lebih dari pesaingnya, DC-8.

PanAm punya andil dalam merancang ulang sayap dan melebarkan kabin 707 serta sejumlah perubahan dalam kokpitnya. Inilah nilai lebih sebagai launch customer, bisa meminta pesawat sesuai dengan keinginannya. Demikian pula saat Boeing merancang dan mengembangkan pesawat penumpang raksasa pertama dunia, jumbo 747 (terbang perdana komersial 21 Januari 1970), Pan American menjadi incaran Boeing untuk menyandang predikat launch customer-nya.

Tidak sekadar sebagai launch customer, PanAm terlibat langsung dari segi pendanaan pengembangan 747 karena Boeing tidak sanggup untuk membiayai sendiri pembuatan pesawat raksasa ini. Untuk mendukungnya, PanAm langsung pesan 25 pesawat, membayar di muka dan sisa lima pesawat akan dilunasi sebelum pesawat diserahkan. Seperti 707, PanAm juga minta banyak perubahan pada 747 sehingga berat pesawat melampaui rancangannya. Akibatnya, pesawat membutuhkan mesin yang lebih besar tenaga dorongnya.

Beruntung Pratt and Whitney mau menanggung sendiri kekurangan 300 juta dollar AS untuk mengembangkan mesin yang dibutuhkan 747 tersebut. Pada titik ini, Boeing dan PanAm nyaris memutuskan untuk menghentikan proyek 747. Mereka saling bertaruh 10 juta dollar. PanAm akan beri taruhan itu bila Boeing membatalkan program 747 dan sebaliknya Boeing memberi 10 juta dollar bila PanAm tetap melanjutkan proyek ambisius 747.

Kenapa mau dihentikan? Selain dana pengembangan menipis, tidak ada satu pun maskapai selain PanAm yang memesan pesawat super-gede ini. Terlalu besar dan mahal untuk dioperasikan menurut mayoritas maskapai penerbangan. Terbukti mereka salah. Boeing 747 mengubah drastis tatanan penerbangan, memberi akses pada jutaan orang yang sebelumnya tidak pernah menikmati terbang. Ia menjadi tonggak revolusi penerbangan massal.

Saling butuh

Jika pada masa silam itu ada PanAm sebagai trend setter dan Boeing sebagai pemasok pesawat yang dibutuhkan dunia penerbangan, kini trend setter tersebut sudah bergeser dari negara besar AS ke negara kecil Singapura yang kini ambisinya menjadi world major air hub sudah di depan mata dengan menjadi launch customer sekaligus operator pertama jetliner raksasa baru dunia Airbus A380, dan sudah selesainya dibangun superterminal T-3 Bandara Changi.

Seperti Boeing butuh PanAm di masa lalu, Airbus pun butuh Singapore Airlines untuk saling membonceng reputasi dan ketenaran harum nama mereka masing-masing. Sebelum jumbo 747 terbang pertama kali tahun 1969 kemudian terbang perdana komersial Januari 1970, pesawat raksasa ini dihadapi berbagai masalah pelik. Seperti Airbus A380 yang terlambat diserahkan kepada SIA, demikian pula pada masa silam, Boeing meleset menyerahkan pesawat pertama 747 kepada PanAm sehingga tidak memungkinkan penumpang liburan Natal dan Tahun Baru menikmati penerbangan jumbo 747.

Namun, kejadian yang paling memalukan dialami 747 pertama PanAm adalah, setelah dilepas Ibu Negara Pat Nixon, pesawat segera kembali ke pelataran parkir karena salah satu mesinnya mengalami gangguan teknis, suhunya tiba-tiba melampaui batasnya. Penumpang baru diterbangkan ke Inggris setelah tujuh jam kemudian dengan 747 kedua yang ditarik dari pelatihan pilot.

Superjumbo A380 juga tidak luput dari masalah. Yang paling pelik adalah masalah wiring, pengabelan sepanjang 800 kilometer di dalam tubuhnya harus dirancang ulang sehingga mengubah jadwal produksi, mengakibatkan pesawat pertama A380 Singapore Airlines terlambat 18 bulan diserahkan. Pesawat baru diserahterimakan pada Senin (15/10) dan menjejakkan roda- rodanya pada landasan pacu Bandara Changi hari Rabu (17/10) pukul 18.38.

Akibat keterlambatan penyerahan, ada pemesan yang membatalkan pesanannya. Namun, Singapore Airlines dan Emirates justru menambah pesanannya—SIA yang semula pesanan pasti 10 unit dengan 15 opsi, menambah pesanan pastinya menjadi 19 pesawat. Emirates, operator terbesar A380 dengan 40 pesanan pasti, menambah 20 unit lagi. Masih samar apakah penambahan pesanan itu terkait dengan kompensasi yang diberikan Airbus kepada para pemesan A380, ataukah memang suatu dukungan baik keuangan mapun moril agar raksasa udara baru yang dapat mengangkut 500 sampai 800 penumpang ini menjadi ikon baru dunia.

Yang pasti, Singapore Airlines sebagai operator pertama mengoperasikan pesawat 631 ton ini membuat gelombang riak baru dunia penerbangan. "Seperti (negara) Singapura, keterbatasan geraknya bukan menjadi halangan bagi SIA untuk berkembang. Sebaliknya berhasil mendulang celah pertumbuhan kawasan regional dan dunia, lalu mengukir bagi dirinya suatu tempat di industri penerbangan," kata Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong dalam menyambut kedatangan A380 pertama SIA.

SIA merupakan salah satu dari maskapai kelas dunia yang diundang Airbus sewaktu menjelang akhir dekade 1990 pabrik pesawat konsorsium Eropa ini akan mengembangkan pesawat VLA (very large aircraft) yang diberi kode A3XX. Flag carrier Singapura sudah diminta masukannya pada tahap dini ini, demikian pula lebih banyak lagi diminta masukannya setelah Airbus meluncurkan program A380 pada tahun 2000 dan Singapore Airlines menjadi launch customer burung besi raksasa baru dunia ini.

Dengan kabin Singapore Airlines Suite, yakni kelas di atas kelas utama, suatu kelas baru sekaligus yang pertama diperkenalkan ke dunia penerbangan, menjadikan SIA sebagai trend setter konsep kelas ini. Sudah dapat dipastikan maskapai penerbangan lain akan mengikuti jejaknya. Kabin suite ini dilengkapi dengan tempat tidur dobel, televisi flat ukuran 23 inci, sebuah meja, sebuah reclining chair, pintu geser dan tirai gulung penutup jendela kabin. "Cocok untuk mereka yang berbulan madu," ujar PM Lee yang terkagum melihatnya.

Namun, jangan terkejut dengan harga tiket round-trip kelas suite ini—6.819 dollar AS, sekitar 25 persen lebih mahal dari tiket kelas utama pada penerbangan lain Singapore Airlines ke Sydney. Kamar hotel terbang ini memang bernuansa mewah, seakan penumpangnya berada dalam kamar hotel berbintang lima.

Agar memberikan ruang gerak lebih luas dan suasana mewah bagi penumpang, kabin A380 Singapore Airlines sengaja dirancang hanya untuk 471 penumpang—12 suites, dua di antaranya dilengkapi dengan tempat tidur dobel, 60 kursi kelas bisnis, dan 399 kursi kelas ekonomi. Tidak tanggung-tanggung juga, SIA memakai jasa perancang kelas dunia—Coste Design & Partners yang berpusat di Kota French Riviera, Cannes. Perusahaan Perancis inilah yang mewujudkan konsep SIA tersebut dalam kabin A380.

Perusahaan Coste Design & Partners ini pula yang merancang kursi kelas bisnis armada Boeing 777 Singapore Airlines, kemudian dengan menambah sentuhan SIA, melengkapi kursi-kursi kelas bisnis A380 dengan suasana pencahayaan yang menawan.

Begitu terkagumnya PM Lee, ia menghabiskan waktu 45 menit dalam pesawat yang membutuhkan tujuh tahun dan 13 miliar dollar AS untuk mengembangkannya. "Pemikiran dan desain inovatif yang dituangkan ke dalam kabin pesawat, pelayanan yang diberikan kepada kelas utama, kelas bisnis maupun kelas ekonomi, saya kira itu adalah sesuatu yang baru," ujar BG Lee, panggilan akrabnya mengenai salah satu sumbangan Singapura pada A380 yang langsung dapat dilihat.

Apa yang disebutkannya itu merupakan salah satu tren baru yang diperkenalkan SIA—misalnya, BG Lee langsung menyukai pesawat ini karena sosok tubuh tingginya tidak perlu membungkuk, langsung bisa duduk nyaman dan enak pada kursi kelas ekonomi. Lebar kursi 19 inci atau dua inci lebih lebar daripada kursi armada Boeing 747 Singapore Airlines. Kursi kelas bisnis lebarnya 34 inci banding 20 inci pada jumbo 747. Semua kursi tersebut dilengkapi dengan layar monitor 15,4 inci. Masih ada tambahan, setiap kursi dilengkapi pula dengan port untuk men-download data internet dan lampu baca pribadi agar tidak mengganggu penumpang lain.

Kunci sukses flag carrier Singapura—demikian pula Pan American pada masa silam, hingga diperebutkan pabrik pesawat—selalu berada di depan dengan kaya inovatif baru. Dalam era sekarang, kelas suite—kelas di atas kelas utama, kursi kelas bisnis dan ekonomi yang lebar dan nyaman serta ditunjang bandar udara yang ramah lingkungan. (Dudi Sudibyo, Wartawan di Jakarta)

No comments: