Wednesday, October 17, 2007

Korporasi dan Hak atas Pangan


Khudori

Tema Hari Pangan Sedunia (16/10/2007) adalah The Right for Food. Tema ini dipilih (lagi) FAO karena banyak negara peneken komitmen global Millennium Development Goals abai.

Akibatnya, penduduk yang kelaparan meningkat menjadi 850 juta. Padahal, sudah menjadi komitmen dunia, tiap warga berhak atas kecukupan pangan, baik kuantitas maupun kualitas (gizi).

Kini, 1,3 miliar penduduk dunia bekerja di pertanian, dan 2,5 miliar jiwa menggantungkan hidupnya pada sektor ini. Di negara berkembang, 50 persen lebih penduduk bekerja di pertanian, bahkan di negara miskin porsinya 85 persen. Di negara-negara itu pertanian menjadi gantungan hidup dan penyedia pangan.

Pertanian berperan penting dalam menekan kelaparan dan kemiskinan. Saat ini sektor pertanian ditandai munculnya rantai pangan (agrifood chain). Sistem ini menghubungkan mata rantai dari sejak gen sampai rak-rak di supermarket tanpa ada titik penjualan. Maka, tidak ada price discovery (penentuan harga). Ayam, misalnya, mulai dari pembiakan hingga pemrosesan, tidak melibatkan penjualan. Ayam ini hanya ditukar uang saat muncul di supermarket. Artinya, sektor ini—produksi, perdagangan, pengolahan, dan ritel—tidak hanya terindustrialisasi dan mengglobal, tetapi juga terkonsentrasi.

Perusahaan transnasional

South Center (2005) memperkirakan, 85-90 persen perdagangan pangan dunia dikontrol lima perusahaan transnasional (TNCs); 75 persen perdagangan serealia dikuasai dua TNCs; dua TNCs menguasai 50 persen perdagangan dan produksi pisang; tiga TNCs menguasai 83 persen perdagangan kakao; tiga TNCs menguasai 85 persen perdagangan teh; lima TNCs menguasai 70 persen produksi tembakau; tujuh TNCs menguasai 83 persen produksi dan perdagangan gula; empat TNCs menguasai hampir dua pertiga pasar pestisida, seperempat bibit (termasuk paten), dan menguasai 100 persen pasar global bibit transgenik.

Maka, TNCs bisa mengontrol harga input pertanian, mempraktikkan perjanjian jual-beli yang tidak fair, membentuk harga kartel, mendepak perusahaan lokal dari pasar, dan membeli komoditas petani dengan harga supermurah. Wal-Mart di AS, misalnya, memanfaatkan suplai berlebih untuk mendepak suplayer lama dan menekan harga pisang. Akibatnya, petani pisang di Kostarika sebagai suplayer merugi dan tidak bisa membayar buruh dengan upah minimum.

Sialnya, denda akibat praktik curang tak membuat TNCs jera. Sekitar 85 persen denda yang dijatuhkan akibat praktik kartel dibayar TNCs. Korporasi Tate&Lyle, Cargill, dan ADM menyediakan satu miliar dollar AS guna bayar denda (ActionAid, 2005). Dengan penguasaan pasar monopolis dan kartel, TNCs meraup untung besar. Nestle, misalnya, pada 2002 meraih untung lebih besar ketimbang GDP Ghana tahun yang sama. Untung Unilever (2003) lebih tinggi daripada GDP Mozambique.

Untung besar diraih dengan memeras petani melalui dua cara: mematok harga input dan olahan dengan harga tinggi serta menekan harga beli komoditas petani serendah mungkin. Akibatnya, harga-harga komoditas primer di pasar dunia terus merosot. Tahun 1960-2000, harga gula turun dari 0,33 dollar AS/kg menjadi 0,18 dollarAS/kg, harga kopi robusta dari 2,70 dollar AS/kg menjadi 0,90 dollar AS/kg.

Hampir semua harga komoditas primer pertanian menurun, begitu juga indeks pertanian dari 208 (tahun 1960) menjadi 87 tahun 2000 (Pakpahan, 2004). Artinya, pendapatan petani menurun, hidupnya kian susah.

Perlebar gap

Atas keadaan itu, globalisasi dengan TNCs sebagai jantungnya merugikan petani dan konsumen. Ini ditandai kian lebarnya gap harga komoditas petani di lahan (farmgate) dengan di supermarket. Bank Dunia memperkirakan, gap mencapai 100 miliar dollar AS per tahun.

TNCs berpeluang mendesain aturan (dagang dan investasi) yang menguntungkan. Mereka menyewa lobbyist, memasang penguasa, diplomat atau mantan diplomat di puncak korporasi, TNCs punya akses pada keputusan politik negara, bahkan ke lembaga multilateral (WTO, Bank Dunia, IMF). Di UE, misalnya, ada 15.000 lobbyist bermarkas di Brussels, 70 persen representasi kepentingan bisnis. Belanja tahunan korporasi untuk membiayai mereka 750 juta- satu miliar dollar AS (ActionAid, 2006).

Perkembangan ini membuat pertanian di negara berkembang mengalami transformasi besar, pertanian yang menjadi gantungan hidup dan sumber pangan tak lagi memadai ditekuni. Petani terlempar dari lahan. Pengangguran dan kemiskinan meningkat. Kelaparan dan gizi buruk meruyak. Urbanisasi tak terbendung. Ini akan membiakkan kerawasan sosial dan masalah baru. Pertanian bukan lagi sumber devisa. Untuk mencegahnya, tabiat korporasi harus diatur, baik di level nasional (negara) maupun global (WTO + PBB).

Khudori Alumnus Fakultas Pertanian Universitas Jember

No comments: