Monday, October 29, 2007

Krisis Minyak, Musuh Bersama


A Tony Prasetiantono

Ketika kepanikan subprime mortgage memuncak Juli-Agustus lalu, saya termasuk cukup percaya diri, bahwa krisis ini bisa diatasi dan tidak menjadi resesi global.

Alasannya, otoritas perekonomian Amerika Serikat (AS) dan negara-negara besar memiliki kapasitas untuk menanggulanginya. Sejarah perekonomian juga menunjukkan, cukup jarang ada resesi dunia yang bermula dari Wall Street, bursa efek New York. Yang terbesar adalah depresi 1930-an, lalu krisis 1987 yang intensitasnya lebih rendah. Kepanikan di Wall Street pada peristiwa 9/11 (2001) dan skandal akuntansi Enron (2002) tidak sampai menyebabkan resesi global. Ini membuktikan, kapasitas AS dan negara-negara besar cukup memadai untuk meladeni kepanikan di lantai bursa.

Namun, ketika harga minyak menjadi 92 dollar AS per barrel, dan bisa menerjang 100 dollar AS per barrel, masalahnya menjadi lain. Sebab, kepanikan di bursa efek bisa dibilang bersifat semu, virtual. Namun, kenaikan harga minyak merupakan hal fundamental. Di dunia ini nyaris tak ada proses produksi yang tak mengandung minyak sebagai salah satu input-nya. Berbeda dengan krisis saham, krisis minyak lebih langsung (more direct) dirasakan dampaknya oleh setiap pelaku ekonomi.

Kolektivitas kebijakan

Belajar dari kasus kepanikan subprime mortgage yang kini cukup tertanggulangi, apa kunci peredamnya? Ada dua hal.

Pertama, Fed (bank sentral AS) menurunkan suku bunga secara signifikan sehingga memberi ruang gerak debitor kredit perumahan untuk melunasi. Lalu tumbuh ekspektasi, kebijakan penurunan suku bunga ini akan berlanjut.

Kedua, dengan kompak negara-negara besar mengintervensi pasar, dengan menginjeksi pasar uang dengan likuiditas skala besar. Kombinasi AS dan Uni Eropa memasok 350 miliar dollar AS. Jepang dan Kanada juga melakukan hal serupa. Sebagai perbandingan, AS cukup menginjeksi 82 miliar dollar AS saat meredam kepanikan 9/11. Injeksi ini untuk meyakinkan pelaku pasar, mereka tidak usah panik karena seberapa banyak dana diperlukan jika terjadi penjualan saham dan obligasi (redemption), likuiditas tersedia.

Pengalaman ini mengajarkan, jika negara-negara besar kompak dan berkoordinasi, krisis bisa diredam. Kini, krisis minyak dunia juga merupakan persoalan besar yang memerlukan kolektivitas negara-negara besar untuk memeranginya. Bagaimana caranya?

Harga minyak yang menggila pada dasarnya disebabkan dua hal: faktor obyektif dan subyektif. Faktor obyektif adalah meningkatnya permintaan terhadap minyak karena perekonomian global tumbuh cepat. Konsumen minyak terbesar dunia secara konvensional adalah AS, mencapai 20 juta barrel sehari, dibandingkan dengan permintaan dunia yang sekitar 85 juta barel sehari.

Tingginya permintaan minyak dunia juga dipicu liberalisasi. Lihat kasus Indonesia. Liberalisasi perdagangan membuat tarif bea masuk otomotif turun, menyebabkan booming otomotif. Dalam setahun, di Indonesia terjual 400.000 mobil dan empat juta sepeda motor, sebuah level yang tidak mungkin tercapai sebelum gelombang liberalisasi. Konsekuensinya, konsumsi minyak pun meningkat tajam.

Fenomena serupa terjadi di mana-mana, khususnya emerging markets, yang berpuncak di China dan India. Di dua negara berpenduduk terbesar di dunia itu, China (1,3 miliar) dan India (1,1 miliar), perekonomiannya tumbuh paling laju pada tahun ini, yakni 11,5 persen (China) dan 9,4 persen (India). Semua kinerja ini berujung pada pengurasan energi minyak.

Celakanya, meski teknologi kian canggih, kini justru kian sulit mengeksplorasi minyak. Dalam kasus Indonesia, saat jumlah penduduk baru 130-an juta (1980-an), produksi minyak mentah (crude oil) mencapai rekor tertinggi 1,6 juta barrel sehari. Konsumsi domestik hanya 800.000-an barrel sehari. Kini, jumlah penduduk 225 juta, produksi minyak mentah justru turun menjadi 950.000 barrel, padahal konsumsinya 1,3 juta barrel sehari.

Inilah fakta ironis perekonomian Indonesia dan dunia. Gelombang liberalisasi, dengan dampak positif berupa pertumbuhan ekonomi, ternyata dibayangi dampak negatif krisis energi yang serius.

Sementara itu, faktor subyektif dalam krisis minyak adalah terjadinya krisis geopolitik dan sentimen pasar, yang menyebabkan harga minyak melambung secara tidak proporsional (mengalami leverage). Krisis geopolitik berupa tingginya tensi politik dan keamanan, terutama di Timur Tengah. Adapun leverage harga minyak terjadi karena komoditas ini sudah masuk arena spekulasi, sebagaimana investor bisa "menggoreng" harga saham.

Musuh bersama

Adakah solusinya? Ada, meski jalan amat terjal. Sebagaimana solusi krisis subprime mortgage, solusi krisis minyak juga menuntut kekompakan, kebersamaan, dan pengorbanan negara-negara kunci. Krisis minyak harus ditempatkan sebagai musuh bersama, yang penyelesaiannya menuntut kolektivitas yang solid.

Dari sisi supply, dunia harus menekan negara-negara produsen minyak agar menaikkan produksinya. Namun, maukah mereka? Jangan-jangan produsen terbesar, Arab Saudi, justru sedang menikmati "rezeki" harga minyak tinggi ini.

Dari sisi demand, konsumen terbesar seperti AS dan China harus mau mengerem pertumbuhan ekonominya. Namun, bisakah? China terus menggenjot pertumbuhan karena masih berkutat dengan pengangguran terbuka 9,5 persen, atau sekitar 60 juta orang.

Dari sisi geopolitik, bisakah pihak-pihak bertikai untuk bersabar? Bisakah Presiden Bush menghentikan hasrat agresifnya di Timur Tengah? Jika tidak bisa, kita harus menunggu Pemilu AS 2008, untuk memilih (misalnya) Hillary Clinton agar bisa mengubah kebijakan politik menjadi lebih kalem, sebagaimana Bill Clinton dulu.

Semua pilihan kebijakan itu memang sulit dan memerlukan kerelaan besar untuk berkorban (sacrifice). Namun, itu wajib dilakukan jika tidak ingin menyaksikan harga minyak menerjang kita dan membiarkan perekonomian global terbenam ke jurang resesi lebih dalam.

A Tony Prasetiantono Peneliti Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM; Chief Economist BNI

No comments: