Wednesday, October 17, 2007

Hak atas Pangan


Posman Sibuea

"Whether one speaks of human rights or basic human needs, the right to food is the most basic of all...." (Presidential Commission on World Hunger, 1980)

Hak atas Pangan (The Right to Food) adalah tema Hari Pangan Sedunia tahun ini. Tema ini hendak mengatakan, pemenuhan pangan sebagai kebutuhan dasar manusia menjadi hak asasi setiap warga. Namun, hingga kini pemenuhan hak atas pangan bagi 840 juta warga dunia masih terkendala karena alasan kemiskinan.

Setiap peringatan Hari Pangan Sedunia atau HPS (16 Oktober), setiap tiap kali pula anak bangsa ini perlu melakukan kontemplasi tentang seberapa kuat ketahanan pangan yang dimiliki republik ini.

Pertanyaan menggugat tetap mengemuka, yakni sampai kapan rakyat mengonsumsi pangan (mulai beras, kedelai, daging, hingga susu) impor? Bisakah Indonesia lepas dari jebakan pangan yang mahal ini? Keterbatasan sarana dan prasarana produksi pangan dalam negeri telah menciptakan kondisi ketergantungan yang kuat terhadap pangan impor.

Di balik pangan impor—menjadi tambang emas bagi sekelompok penguasa guna memperkaya diri—sejatinya tersimpan tragedi memilukan. Selama 40 tahun pembangunan pertanian di negara agraris ini, petani mengalami pemiskinan. Laju urbanisasi berlangsung secara masif karena di desa hanya ada kelaparan dan gizi buruk. Petani, sebagai pahlawan ketahanan pangan, berada dalam kondisi yang hampir sekarat dan hidupnya kian tergerus oleh cepatnya alih fungsi lahan.

Tragedi gizi buruk

Pemiskinan ekonomi yang dialami petani telah membuahkan tragedi kelaparan dan gizi buruk di sejumlah daerah di Tanah Air.

Setiap tahun jumlah penderita gizi buruk meningkat. Data Unicef (2006) menunjukkan, penderita gizi buruk pada anak balita meningkat dari 1,8 juta jiwa tahun 2005 menjadi 2,3 juta jiwa tahun 2006. Sementara itu, Jaringan Solidaritas Penanggulangan Busung Lapar (2006) menyebutkan 2-4 dari 10 anak balita di 72 kabupaten menderita busung lapar.

Tragedi gizi buruk ironis dengan banyaknya impor mobil built-up yang harganya Rp 1 miliar yang dimiliki sejumlah orang kaya di Jakarta. Atau tentang dugaan korupsi mantan presiden RI sebesar 15 miliar-35 miliar dollar AS.

Ini adalah potret jurang besar yang memisahkan antara orang kaya dan orang miskin kendati pemerintah sudah membagi-bagikan dana bantuan langsung tunai kepada keluarga miskin.

Bantuan berupa uang atau pangan bukan solusi jangka panjang meski dibutuhkan dalam keadaan darurat. Memperbaiki ketahanan pangan untuk pemenuhan hak atas pangan tak cukup hanya memberi ikan, tetapi harus memberi pancing, dengan membuka isolasi pedesaan terhadap pasar, memberi subsidi kepada petani, menumbuhkan agroindustri berbasis pedesaan yang dapat memberi nilai tambah kepada petani.

Namun, bangsa ini kurang mengenal petaninya. Para petani dianggap sebagai warga negara kelas dua. Masyarakat petani adalah wong ndeso yang gampang ditipu dan diperdaya. Petani hanya dijadikan obyek pembangunan, bukan subyek. Pemalsuan benih dan pupuk dilakukan orang pintar untuk dijual kepada petani yang dianggap bodoh.

Keadaan ini sudah berlangsung lama tanpa ada perlindungan signifikan dari pemerintah. Hidup petani pun kian terpuruk dalam kubangan kemiskinan.

Bentuk kegagalan

Hingga kini belum ada kemajuan berarti di bidang pertanian, pilar utama ekonomi kerakyatan dan ketahanan pangan. Kegagalan ini adalah bukti petani tidak dilihat sebagai pelaku nyata kegiatan produksi pertanian. Tak heran jika laju urbanisasi setiap pasca-Lebaran tak terbendung.

Pembangunan ekonomi yang menafikan pertanian telah melahirkan kemiskinan yang kian buruk dan terpeta jelas. Kantong-kantong kemiskinan baru bermunculan seiring minimnya lapangan kerja. Ditandai dengan permukiman kumuh, ketimpangan ekonomi, pendidikan tidak merata, pemadaman listrik secara bergiliran, kelaparan, dan gizi buruk.

Masalah gizi buruk adalah bentuk pelanggaran HAM. Pewabahan gizi buruk tak hanya terbatasnya persediaan pangan dan menurunnya daya beli, tetapi karena kebijakan pemerintah tidak memihak kaum miskin. Meski jumlah orang miskin turun 2,13 juta jiwa (BPS, 2007), kemelaratan tetap membalut hidup dan kehidupan warga. Data Bank Dunia tahun 2006 menyebutkan, sekitar 109 juta jiwa dengan indikator tingkat pendapatan dua dollar AS/kapita/hari. Mereka ini acap frustrasi lalu sebagian memilih bunuh diri.

Pangan dan kemiskinan

Pencapaian hak atas pangan harus disandingkan dengan masalah kemiskinan karena faktanya begitu menyentuh. Erna Witoelar lewat kapasitasnya sebagai Duta Besar PBB untuk Millennium Development Goals (MDGs) di Kawasan Asia Pasifik mengingatkan Indonesia mengalami kemunduran dalam pencapaian MDGs. Target waktu tahun 2015 yang ditentukan untuk mencapai delapan Tujuan Pembangunan Milenium sudah separuh terlewati. Namun, isu prioritas untuk mengurangi 50 persen angka kemiskinan dan kelaparan masih jauh dari harapan.

Mengurangi jumlah penduduk miskin dan kelaparan tetap menjadi utopia jika pemerintah tidak serius mencurahkan perhatian untuk mewujudkan revitalisasi pertanian yang dicanangkan sejak 2005. Pemenuhan hak atas pangan harus dimulai dari kebijakan umum pertanahan dan tata ruang pertanian, pembangunan infrastruktur pedesaan, ketahanan pangan, dan perdagangan produk pertanian.

Karena itu, kita memerlukan lahan pertanian pangan abadi guna memproduksi pangan guna mencukupi kebutuhan penduduk yang terus bertambah. Masalah besar bangsa ini tahun 2015 adalah bagaimana meningkatkan ketersediaan pangan di tengah pesatnya alih fungsi lahan, diversifikasi pangan yang gagal, dan produktivitas padi melandai. Redistribusi lahan melalui program reforma agraria menjadi kata kunci. Redistribusi lahan bagi petani miskin seluas 8,15 juta hektar patut menjadi perhatian serius pemerintah sebagai langkah awal pemenuhan hak atas pangan di masa datang dan pencapaian MDGs di Tanah Air pada 2015.

Posman Sibuea Dosen di Unika St Thomas SU; Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser) Medan, Sumatera Utara

No comments: